Apr 25, 2021 08:34 Asia/Jakarta

Presiden Prancis Emmanuel Macron sekali lagi menodai perasaan Muslim di seluruh dunia dengan menghubungkan terorisme dengan Islam. "Kami tidak akan menyerah dalam perang melawan terorisme Islam," kata Macron dalam pesan Twitter Jumat (23/04/2021) malam, merujuk pada serangan terhadap seorang petugas polisi wanita di sebuah kota dekat Paris.

Pada Jumat sore, seorang pria menyerang seorang polisi wanita dengan pisau di pintu masuk kantor polisi Rambouillet, yang terletak di 60 km barat daya Paris. Menurut polisi Prancis, penyerang berasal dari Tunisia dan meninggal karena luka-lukanya saat ditahan. Media-media Prancis bermaksud untuk mengaitkan insiden tersebut dengan Muslim, mengklaim bahwa penyerang meneriakkan Allah Akbar selama serangan itu.

Emmanuel Macron, Presiden Prancis

Ini bukan pertama kalinya presiden Prancis menyalahkan Islam dan Muslim atas insiden mematikan dan mencoba menghubungkan Islam dan terorisme. Sejatinya, Emmanuel Macron telah mengambil pendekatan yang keras kepala dan irasional dalam konteks "sekularisme agresif" dalam mendukung penuh tindakan anti-Islam, perang melawan Islam dan penghinaan terhadap kesucian Islam, serta hanya berusaha untuk meningkatkan tekanan terhadap Muslim di Prancis dan melanjutkan aksi anti-Islam.

Rujukan Macron pada "kebebasan berekspresi" di negaranya untuk menghina kesucian Islam oleh majalah Charlie Hebdo telah memicu banyak kritik bahkan di dalam Prancis. Macron secara terbuka menyebut Islam sebagai agama dalam krisis, dan dalam sebuah pernyataan pada tanggal 2 Oktober 2020, menggambarkan Islamisme sebagai ideologi yang mematikan. Menurutnya, "Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia saat ini, kami tidak hanya melihatnya di negara kami."

Dengan demikian, jelas bahwa pada dasarnya Presiden Prancis tidak memiliki pandangan positif tentang Islam dan dalam hal ini, secara praktis ia mendukung segala tindakan di bidang anti-Islam serta pelemahan Islam dan Nabi Saw. Langkah-langkah ini berkisar dari membela penghinaan terhadap pribadi suci Nabi Muhammad Saw hingga mengusir Muslim dari Prancis dan menutup masjid dan pusat Islam, serta mengajukan RUU untuk memperkuat sekularisme, yang tujuan utamanya adalah untuk melemahkan Islam di masyarakat Prancis.

Massoud Shajareh, ketua Komisi Hak Asasi Manusia Islam, mengatakan, "Macron telah secara terbuka menargetkan Islam dan mengatakan bahwa Islam sedang dalam krisis, padahal sebenarnya kebijakan Prancis dan para politisi Eropa yang setuju dengannya sedang dalam krisis."

Masalah lainnya adalah bahwa dengan pemilihan presiden Prancis pada April 2022, Macron, untuk kembali ke Istana Elysee, telah menemukan cara dengan mengambil sikap yang lebih keras daripada Marine Le Pen, politisi sayap kanan Prancis yang menjadi saingan seriusnya di pemilu yang akan datang dalam melawan Islam dan Muslim. Macron tampaknya yakin dengan cara ini dia akan mampu menarik suara warga Prancis yang memiliki pandangan anti-imigran.

Marine Le Pen, politikus partai sayap kanan Prancis

Massoud Shajareh dalam hal ini mengatakan, "Macron telah dipaksa untuk beralih ke rasisme dan Islamofobia lebih dari sebelumnya untuk dipilih kembali dengan menarik suara kelompok dan individu ekstremis dan populis."

Menurut jajak pendapat baru-baru ini oleh lembaga think tank IFOP, Emmanuel Macron dan Marine Le Pen akan setara dan berada di atas para pesaing lain di putaran pertama pemilu 2022, sehingga Macron akan dapat mencalonkan diri di putaran kedua pemilu 2022. Dengan demikian, untuk memenangkan putaran kedua pemilu 2022, Macron telah mengambil pendekatan populis dan mencoba menggunakan alat yang sama yang digunakan oleh Marine Le Pen, terutama pernyataan dan tindakan anti-Islam dan anti-Muslim yang berhasil meningkatkan popularitas dirinya di tengah kelompok-kelompok sayap kanan Prancis.(SL)

Tags