Sep 16, 2024 14:23 Asia/Jakarta
  • Pemilu AS dan protes mahasiswa
    Pemilu AS dan protes mahasiswa

Parstoday - Mengabaikan tuntutan masyarakat Amerika, khususnya mahasiswa muda, menunjukkan betapa sistem politik negara tersebut telah menjadi proses yang sudah ditentukan sebelumnya bagi banyak mahasiswa tanpa ada harapan akan perubahan nyata.

Di universitas-universitas Amerika, bersamaan dengan dimulainya musim pemilu, telah tercipta suasana yang menurut Howard Zinn disebut dengan “kegilaan pemilu”. Kegilaan ini tidak lepas dari budaya universitas dan kita melihat diadakannya acara-acara seperti debat pemilu, aktivitas kelompok Republik dan Demokrat, dan mendorong mahasiswa untuk berpartisipasi dalam pemilu.

Menurut Parstoday, selama ini, memilih telah diajarkan kepada siswa sebagai puncak partisipasi politik, sebuah tugas suci yang tertanam di benak mereka sejak bangku sekolah. Namun, saat ini proses tersebut menghadapi krisis serius yang menantang sistem pemilu dan kepercayaan mahasiswa terhadap proses tersebut.

Mahasiswa yang melakukan aksi protes, yang sudah terbiasa dengan sistem pemilu, kini menghadapi keraguan yang serius. Peristiwa masa lalu dan penindasan terhadap protes anti-perang dan genosida di Palestina telah memberikan pukulan berat terhadap keyakinan mereka. Banyak dari protes ini ditanggapi dengan intervensi polisi yang berat dan penindasan yang meluas.

Para mahasiswa yang berada di garis depan protes ini menyaksikan pengusiran, penyensoran atau hukuman terhadap para profesor yang mendukung mereka. Suasana seperti itu, khususnya di perguruan tinggi, menyebabkan mahasiswa meragukan pengaruh politik dan intelektual sistem akademik.

Krisis ini juga terwujud dalam lingkungan pemilu Amerika. Melihat kesenjangan yang kecil antara posisi partai-partai besar Amerika mengenai isu-isu terkait genosida dan perang, para mahasiswa merasa bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara pilihan-pilihan pemilu. Pada salah satu kampanye Kamala Harris pada bulan Agustus, pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan seperti “Kamala, kami menuduh Anda melakukan genosida”. Namun tanggapan Harris adalah, “Jika Anda ingin Trump menang, teruslah katakan itu”.

Reaksi ini menunjukkan betapa dalamnya krisis dan kesenjangan antara tuntutan mahasiswa dan politisi. Sementara itu, Donald Trump telah mengumumkan bahwa untuk mendukung Benjamin Netanyahu, dia akan memberinya semua alat yang diperlukan untuk “menyelesaikan pekerjaan yang dia mulai”.

Tuntutan utama para pengunjuk rasa di universitas-universitas Amerika adalah diakhirinya dukungan senjata kepada Israel. Namun tuntutan ini tidak mungkin dilakukan oleh para elit politik di negara ini dan tidak mempunyai tempat bahkan dalam lingkungan pemilu. Pengabaian terhadap tuntutan masyarakat, terutama mahasiswa muda, menunjukkan betapa sistem politik Amerika telah menjadi proses yang sudah ditentukan sebelumnya bagi banyak mahasiswa dan tidak ada harapan akan perubahan nyata.

Nazia Kazi, profesor antropologi di Stockton University juga mengemukakan isu yang sama dalam penelitiannya tentang perilaku elektoral Muslim Amerika. Dia mengatakan bahwa banyak politisi Muslim di Amerika memandang pemilu ini dengan cemas. Karena kedua kubu politik mendukung kebijakan penghasutan perang dan pengawasan keamanan. Pandangan ini umum di antara banyak pelajar masa kini yang bertanya, “Bagaimana seseorang dapat berpartisipasi dalam pemilu yang kedua partainya mewakili wajah imperium Amerika?”

Mahasiswa kini menghadapi krisis kepercayaan terhadap kotak suara. Mereka percaya bahwa alat ini, bukannya memberdayakan masyarakat, malah menjadi alat untuk mengendalikan dan membungkam protes rakyat. Menurut Kazi, pemungutan suara telah menjadi tes pilihan ganda yang sangat terbatas dan tidak adil sehingga tidak ada profesor terhormat yang bersedia memberikannya kepada mahasiswanya. Mereka juga menyamakan situasi ini dengan apa yang Aijaz Ahmad sebut sebagai “pelukan erat antara liberalisme dan sayap kanan”.

Krisis ini tidak hanya menciptakan peluang bagi siswa tetapi juga tantangan besar bagi dosen. Kazi menegaskan, Momen ini bisa menjadi kesempatan untuk mengajarkan sejarah gerakan dan perjuangan sosial di luar konteks pemilu. Mahasiswa dapat diperlihatkan bahwa perubahan nyata dalam sejarah dicapai bukan melalui kotak suara tetapi melalui protes yang terorganisir dan kolektif. Momen ini merupakan kesempatan untuk menghilangkan prasangka mitos yang selama ini diajarkan kepada siswa tentang memilih sebagai bentuk tertinggi partisipasi politik.

Dengan cara ini, setelah penindasan terhadap protes dan kekecewaan terhadap pemilu, tantangan besar telah muncul bagi generasi muda dan sistem akademik Amerika, “generasi yang kecewa dengan sistem saat ini dan mencari cara baru untuk melakukan perubahan sosial”.(sl)

Tags