Diplomasi Trump yang Menjual Kekacauan: Dari The Art of the Deal ke The Art of Shock
https://parstoday.ir/id/news/world-i177812-diplomasi_trump_yang_menjual_kekacauan_dari_the_art_of_the_deal_ke_the_art_of_shock
“Trump menjalankan diplomasi seperti menjual badai. Setiap kesepakatan meninggalkan reruntuhan yang harus ditata ulang oleh dunia.”
(last modified 2025-10-07T09:39:18+00:00 )
Okt 05, 2025 14:18 Asia/Jakarta
  • Diplomasi Trump yang Menjual Kekacauan: Dari The Art of the Deal ke The Art of Shock

“Trump menjalankan diplomasi seperti menjual badai. Setiap kesepakatan meninggalkan reruntuhan yang harus ditata ulang oleh dunia.”

Oleh Purkon Hidayat

Ketika Donald Trump menulis The Art of the Deal bersama Tony Schwartz  pada 1987, tampaknya ia ingin dikenang sebagai sosok yang mampu menegosiasikan apa saja, dari bisnis properti hingga politik global. Di kepala Trump, kepemimpinan adalah soal insting dan transaksi. Namun, begitu ia memasuki Gedung Putih tiga dekade kemudian, seni bernegosiasi itu berubah menjadi seni mengguncang. Diplomasi digantikan dengan tekanan, dan kesepakatan diubah menjadi tontonan. Dari sinilah lahir The Art of Shock: politik yang menjual kekacauan dengan mengatasnamakan kepemimpinan kuat.

Trump tampil sebagai presiden yang menolak pola lama. Ia menggugat multilateralisme, menyerang lembaga internasional, dan menjanjikan kebijakan luar negeri “America First”. Tetapi di balik retorika itu, hampir semua inisiatif besarnya tersendat, terbentur realitas politik, dan memunculkan resistensi yang meluas. Kebijakan Trump memperlihatkan pola khas: mulai dengan gegap gempita, berakhir tanpa arah yang jelas.

Salah satu contohnya adalah perang dagang dengan Cina. Diumumkan pada 2018 sebagai strategi untuk menekan Beijing dan mengembalikan industri Amerika, kebijakan ini justru menimbulkan dampak sebaliknya. Data dari US Bureau of Economic Analysis menunjukkan defisit perdagangan Amerika dengan Cina tetap tinggi, bahkan mencapai 382 miliar dolar pada 2020. Harga produk impor naik, rantai pasok terganggu, dan petani Amerika kehilangan pasar ekspor. Strategi yang dimaksudkan untuk menyeimbangkan hubungan justru memperburuk posisi ekonomi domestik. 

Hal serupa terjadi dalam kebijakan Timur Tengah. Ketika Trump menarik Amerika keluar dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2018, ia menyebut perjanjian nuklir Iran sebagai “kesepakatan buruk”. Sanksi maksimum kembali diberlakukan dengan harapan Iran akan menyerah. Namun Tehran justru memperkaya uranium hingga tingkat tertinggi sejak 2015. Alih-alih melemahkan, kebijakan itu memperkuat posisi Iran di kawasan dan memperlemah kredibilitas diplomasi Amerika di mata sekutu Eropa, yang memilih tetap bertahan dalam perjanjian tersebut.

Trump juga mengklaim keberhasilan besar lewat Abraham Accords, kesepakatan normalisasi Israel dengan sejumlah negara Arab. Meski tampak monumental di atas kertas, perjanjian itu lebih bersifat pragmatis ekonomi dan keamanan, bukan solusi politik yang menyentuh akar persoalan Palestina. Konflik Gaza yang kembali memanas pada 2024 membuktikan bahwa kesepakatan itu gagal membangun perdamaian jangka panjang. Ia menjadi simbol perdamaian semu—lebih banyak menenangkan investor daripada orang yang berperang.

Kegagalan demi kegagalan itu menyingkap kelemahan mendasar dalam cara Trump memandang dunia. Ia melihat hubungan internasional sebagai transaksi jangka pendek, bukan tata kelola jangka panjang. Diplomasi dalam pengertian klasik membutuhkan konsistensi, kredibilitas, dan rasa saling percaya. Tiga hal itu tidak tumbuh dari ancaman atau cuitan yang mengundang kehebohan. Dalam banyak hal, Trump memimpin seperti mengelola acara televisi—setiap kebijakan harus dramatis, setiap keputusan harus menciptakan efek kejut.

Namun dunia modern bergerak lebih kompleks daripada logika panggung. Ketika Amerika menarik diri dari lembaga internasional dan perjanjian multilateral, negara-negara lain justru mengisi ruang kosong yang ditinggalkannya. Cina memperluas pengaruh lewat Belt and Road Initiative, Rusia meningkatkan kehadiran militernya di Timur Tengah, sementara Uni Eropa mulai berbicara tentang “otonomi strategis”. Alih-alih memperkuat kepemimpinan global Amerika, kebijakan Trump justru mempercepat munculnya dunia multipolar yang lebih beragam dan sulit dikendalikan.

Dalam konteks domestik, warisan politik Trump juga menunjukkan paradoks. Pemotongan pajak besar-besaran pada 2017 sempat mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi manfaatnya lebih banyak dirasakan oleh korporasi besar. Laporan Congressional Budget Office tahun 2020 menunjukkan defisit anggaran federal naik hingga 3,1 triliun dolar—tertinggi dalam sejarah Amerika Serikat saat itu. Janji “menghidupkan kembali manufaktur” tak terwujud; sebaliknya, pandemi COVID-19 memperlihatkan lemahnya infrastruktur sosial akibat deregulasi dan pemangkasan anggaran publik. 

Bagi banyak pihak, Trump bukan sekadar pemimpin kontroversial, tetapi juga gejala dari kelelahan sistem demokrasi Amerika. Ia memanfaatkan kekecewaan masyarakat terhadap elit politik, namun tidak pernah menawarkan solusi yang berkelanjutan. Politik kejutan mungkin efektif untuk memenangkan perhatian, tetapi gagal dalam membangun kepercayaan. Inilah ironi terbesar dari The Art of the Deal: seni yang menjanjikan kesepakatan justru melahirkan lebih banyak kebuntuan.

Namun, di balik kekacauan itu, muncul fenomena menarik: resistensi. Dunia tidak pasif di hadapan politik kejutan. Eropa, Asia, dan bahkan sebagian masyarakat Amerika mulai membangun imun terhadap retorika ekstrem. Kritik media, keputusan hukum, dan gerakan masyarakat sipil menjadi penyeimbang baru terhadap gaya kepemimpinan yang berbasis sensasi. Dari berbagai arah, muncul kesadaran bahwa kekacauan tidak bisa dijadikan strategi permanen.

Trump mungkin akan selalu menjadi figur yang memecah opini: dikagumi oleh sebagian karena keberaniannya mengguncang tatanan lama, namun dikritik oleh banyak pihak karena tak pernah menawarkan jalan keluar. Dalam hampir semua kebijakan besarnya, terutama di Timur Tengah, ia terus berjudi dengan instabilitas. Ia mengira bahwa dengan mengguncang, dunia akan tunduk pada irama yang ia mainkan. Namun setiap “guncangan” justru menimbulkan gelombang balik yang lebih kuat.

Kebijakan Trump terhadap Gaza menjadi contoh paling nyata dari kegagalan politik kejutan itu. Ia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan besar Amerika ke sana—sebuah langkah yang menimbulkan euforia di Tel Aviv, tetapi luka mendalam di dunia Arab. Janji “Deal of the Century” yang digadang-gadang sebagai terobosan damai justru menyingkirkan pihak Palestina dari meja perundingan. Proyek itu kini tinggal dokumen yang tak berpengaruh, terkubur di bawah reruntuhan perang Gaza yang terus menyala. Alih-alih membangun perdamaian, Trump meninggalkan kawasan itu dalam pusaran kekerasan yang lebih dalam dan legitimasi moral Amerika yang semakin tipis.

Trump memperlakukan kebijakan luar negeri seperti perjudian: setiap keputusan adalah taruhan untuk perhatian publik, bukan strategi jangka panjang. Namun politik internasional tidak tunduk pada logika kasino. Berbagai pihak di Timur Tengah menolak dipertaruhkan berkali-kali. Iran bertahan, Palestina tidak menyerah, dan bahkan sekutu-sekutu Amerika kini mulai berhitung ulang. Inilah titik di mana The Art of Shock menemukan kebuntuannya. Strategi mengguncang dunia untuk menegaskan dominasi justru berakhir pada isolasi moral dan diplomatik.

Krisis demi krisis yang ditinggalkan Trump membuktikan satu hal: kekacauan bukanlah bahasa universal yang bisa dipakai untuk mengatur dunia. Kejutan mungkin memikat kamera, tetapi tidak membangun legitimasi. Dunia kini bergerak mencari keseimbangan baru—lebih banyak mendengar, lebih berhati-hati, dan lebih sadar bahwa kepemimpinan sejati tidak lahir dari ancaman, tetapi dari kemampuan menata ulang harapan. 

Trump memang pernah menjual gagasan bahwa keberanian mengguncang adalah bentuk kekuatan. Tetapi sejarah menunjukkan, yang bertahan bukan mereka yang paling keras, melainkan yang paling bijak membaca arah badai. The Art of Shock telah menunjukkan batasnya: tanpa visi, guncangan hanya meninggalkan debu. Implementasi rencana perdamaian Gaza ala Trump akan menjadi sebagian buktinya. Bukan perdamaian yang dhasilkan, tapi menebar benih kekacauan baru.