Kisah Lain Bencana Nuklir: Laboratorium Manusia ala Amerika di Jepang
Delapan dekade tragedi Hiroshima dan Nagasaki mengungkapkan fakta baru dari motif tersembunyi Amerika Serikat di balik serangan bom atom yang dilancarkannya.
Pada peringatan 80 tahun pengeboman atom Hiroshima dan Nagasaki, dokumen serta laporan sejarah terbaru mengungkap motif tersembunyi dan kelam Amerika Serikat — bahwa serangan mematikan terhadap dua kota padat penduduk Jepang itu bukanlah keharusan militer untuk mengakhiri perang, melainkan keputusan strategis untuk unjuk kekuatan di ambang lahirnya tatanan dunia baru, bahkan menjadikan manusia sebagai objek “uji coba” senjata baru.
Delapan dekade setelah pagi-pagi kelam pada Agustus 1945 itu, ingatan atas kehancuran Hiroshima dan Nagasaki tak kunjung pudar. Dengan terbukanya dokumen-dokumen baru, dimensi mengerikan tragedi ini justru semakin jelas.Jumlah korban dua serangan tersebut kini diperkirakan telah melampaui setengah juta jiwa, dan efek mematikan radiasi nuklir masih dirasakan oleh generasi penerus hingga tahun 2025. Namun, pertanyaan mendasar yang terus menghantui para sejarawan adalah: “Apakah tragedi tak berperikemanusiaan ini sebenarnya bisa dihindari?”
Kesadaran Akan Keinginan Jepang untuk Menyerah: Jalur Perdamaian yang Sengaja Diabaikan
Pada Juli 1945, tepat saat Washington memutuskan penggunaan bom atom, Jepang sebenarnya tengah mencari jalan untuk menyerah secara terhormat. Komunikasi diplomatik rahasia antara Tokyo dan Moskow — yang disadap oleh Amerika Serikat — dengan jelas menunjukkan bahwa pemerintah Jepang siap mengakhiri perang, bahkan bila Kaisar Hirohito harus turun tahta. Satu-satunya syarat yang mereka minta hanyalah jaminan keberlanjutan sistem kekaisaran dalam struktur politik baru.Namun, pemerintahan Harry Truman menolak upaya tersebut dengan menafsirkan tawaran Jepang sebagai penolakan terhadap Deklarasi Potsdam.
Alasannya bukan karena kepentingan militer, melainkan pertimbangan geopolitik strategis: Amerika berusaha mencegah pengaruh Uni Soviet di Asia Timur.Stalin telah berjanji akan menyerang Jepang pada 15 Agustus 1945, tetapi dengan keberhasilan uji coba bom atom pertama AS pada 16 Juli, Washington tidak lagi memerlukan bantuan Moskow dan tidak ingin Soviet ikut menentukan tatanan dunia pascaperang. Maka, pengeboman Hiroshima dan Nagasaki menjadi demonstrasi kekuatan nuklir Amerika untuk menegaskan dominasi tunggalnya di panggung global.
Manusia Dijadikan Objek Uji Coba Senjata Baru
Bagian paling mengejutkan dari laporan The Japan Times adalah alasan pemilihan kota sasaran. Hiroshima, Kokura, Niigata, dan Nagasaki tidak dipilih karena nilai strategis militernya, melainkan karena kota-kota tersebut belum pernah dibom sebelumnya, sehingga kondisi infrastrukturnya masih utuh dan cocok untuk mengamati dampak destruktif bom baru secara ilmiah.
Laporan itu menegaskan bahwa Amerika secara sengaja menggunakan dua jenis bom berbeda — Little Boy berbasis uranium dan Fat Man berbasis plutonium — untuk mengetes efektivitas masing-masing pada populasi manusia nyata. Dengan kata lain, warga sipil dijadikan “kelinci percobaan” bagi senjata pemusnah massal baru tersebut. Perubahan target bom kedua dari Kokura ke Nagasaki pun terjadi hanya karena kondisi cuaca, semata agar “eksperimen” itu tetap berjalan sesuai jadwal — tanpa memperhitungkan puluhan ribu nyawa manusia yang akan melayang.
Warisan Penderitaan dan Dunia yang Terbelah Dua
Akibat dari keputusan tersebut sangatlah tragis. Hingga kini, jumlah korban tercatat mencapai 349.246 orang di Hiroshima dan 198.785 orang di Nagasaki. Namun, penderitaan tidak berhenti di sana — penyakit kanker, cacat lahir, dan gangguan genetik akibat radiasi terus menghantui generasi penerus.
Lebih jauh, peristiwa ini mengubah arah sejarah dunia. Pengeboman atom bukan hanya mengakhiri Perang Dunia II, tetapi juga memulai perlombaan senjata nuklir dan melahirkan dunia bipolar pada era Perang Dingin. Amerika, dengan senjata barunya, mendefinisikan kekuasaan global melalui ancaman pemusnahan total umat manusia.
Narasi “Kebutuhan Militer” yang Runtuh
Delapan puluh tahun setelah tragedi itu, narasi resmi Amerika tentang “keharusan militer” kian dipertanyakan. Dokumen sejarah kini menunjukkan bahwa menjelang akhir perang, ada berbagai opsi damai yang mungkin ditempuh, namun Washington lebih memilih menjadikan bom atom sebagai alat unjuk kekuatan dan sarana menahan pengaruh Soviet.
Dengan demikian, pengeboman Hiroshima dan Nagasaki bukanlah tindakan heroik untuk menyelamatkan nyawa, melainkan keputusan tragis dan tidak manusiawi yang mengubah wajah dunia selamanya — meninggalkan noda hitam di lembaran sejarah kemanusiaan.(PH)