Cina, Trump, dan Seni Strategi Timur Mengatur Napas Kekuasaan
“Kekuatan sejati bukanlah yang paling keras, tetapi yang paling mampu menahan diri.” — Strategi timur diadaptasi dari prinsip pepatah klasik Cina, Rou Neng ke Gang
Oleh: Purkon Hidayat, Direktur Eksekutif Middle East Foresight
Busan menjadi panggung diam tempat dua kekuatan besar dunia beradu nalar: Amerika yang tergesa membuktikan kejayaan, dan Cina yang sabar menunggu lawan kehabisan napas. Pertemuan Xi Jinping dan Donald Trump di kota pelabuhan Korea Selatan itu seolah sederhana, sekadar penurunan tarif dan pembelian kedelai. Namun di balik angka dan pernyataan pers, tersimpan pelajaran besar tentang bagaimana peradaban Timur mengelola kekuasaan dengan kesenyapan.
Menang dengan Kesabaran, Bukan Dengan Tekanan
Dalam perundingan itu, Washington mengumumkan penurunan tarif atas barang-barang Cina dari sekitar 57 persen menjadi 47 persen. Tampak seperti konsesi teknis, tetapi di baliknya Beijing menegosiasikan waktu—sesuatu yang jauh lebih berharga dari uang. Selama satu tahun ke depan, Cina hanya akan menangguhkan sebagian kontrol atas ekspor rare earths, unsur logam strategis yang menopang seluruh peradaban teknologi modern, dari ponsel hingga satelit militer.Itu bukan penyerahan. Itu adalah pengaturan ritme: Beijing memberi jeda bagi lawannya agar percaya diri, sembari tetap memegang napas panjang rantai pasok global.
Amerika yang Berteriak, Cina yang Mengatur
Perang dagang ini, seperti banyak babak lain dalam sejarah modern, memperlihatkan perbedaan karakter dua kekuatan besar. Amerika adalah bangsa yang terbiasa berteriak: menegaskan hegemoninya lewat tarif, sanksi, dan tekanan diplomatik. Cina justru bermain di wilayah tak terlihat yang mengatur aliran material, memanfaatkan psikologi pasar, dan menjadikan rare earths sebagai pedang yang tersarung.
Dominasi Beijing dalam sektor ini hampir absolut: sekitar 60–70 persen tambang dunia dan lebih dari 90 persen proses pemisahan serta produksi magnet berasal dari Cina. Dengan menutup sedikit saja katup ekspor, harga global bisa melonjak. Dengan membukanya, tensi bisa turun. Itulah kekuatan yang tak perlu diumumkan, hanya dijalankan.
Trump dan Politik Cermin
Trump, dengan naluri dagangnya yang teatrikal, membaca kesepakatan Busan sebagai kemenangan. Ia pulang ke Washington menulis di media sosial: “Petani kita akan bahagia!” Namun kebahagiaan itu lebih seperti bayangan di cermin. Sejak perang dagang 2018, porsi kedelai Amerika di pasar Cina telah anjlok dari 41% menjadi sekitar 20%. Cina kini punya mitra lain—Brasil, Argentina, Rusia—dan bisa kembali menutup keran kapan saja. Dengan kata lain, Trump menukar konsesi struktural dengan ilusi politis. Ia menang di panggung domestik, tapi kehilangan pijakan strategis di medan global.Busan dan
Lahirnya Tata Dunia Baru
Dari Busan, kita melihat gejala dunia baru yang sedang menata ulang dirinya. Pertama, hegemoni tidak lagi tunggal. Tidak ada satu negara pun yang mampu memonopoli kekuatan penuh—setiap langkah harus dinegosiasikan di bawah bayangan saling ketergantungan. Kedua, sumber daya strategis kini menggantikan senjata konvensional. Jika abad ke-20 diatur oleh minyak dan kapal induk, maka abad ke-21 ditentukan oleh litium, semikonduktor, dan rare earths. Ketiga, narasi menjadi alat kekuasaan baru. Siapa yang mengendalikan persepsi, dialah yang memenangkan opini publik global.Di ketiga bidang inilah Beijing unggul: ia tidak berperang dengan Amerika, ia mengarahkan Amerika ke arah yang diinginkannya—sebuah permainan reflektif yang lebih mirip Go ketimbang catur.
Politik Kesabaran dan Peradaban Timur
Dalam diplomasi Timur, kemenangan tidak selalu berarti menjatuhkan lawan. Terkadang, ia berarti membiarkan lawan merasa menang sambil mengubah struktur permainan dari dalam. Xi Jinping memahami bahwa ekonomi global adalah organisme yang kelelahan; terlalu banyak konflik akan membuat seluruh sistem runtuh. Karena itu, ia memilih strategi pengendalian napas: bukan menyerah, tapi menunda benturan. Sementara Washington masih menimbang untung rugi elektoral, Beijing membangun architecture of influence, yang mengikat Asia Tengah dengan sabuk infrastruktur, Afrika dengan kredit, dan Eropa dengan investasi teknologi bersih. Inilah diplomasi yang berlangsung di bawah radar tapi membentuk masa depan.
Menatap ke Depan
Kesepakatan Busan mungkin hanya gencatan senjata ekonomi satu tahun, tetapi cukup untuk menandai pergeseran sejarah: bahwa Cina kini tidak lagi sekadar reaktor terhadap tekanan Amerika, melainkan arsitek ritme global baru. Ketika Trump bermain di layar televisi, Xi menulis ulang skenario di ruang belakang. Dalam politik jangka pendek, Amerika mungkin masih terlihat berkuasa. Tapi dalam horizon panjang sejarah, Cina tengah mengajarkan kepada dunia bahwa kekuasaan terbesar bukan teriakan di podium, melainkan kemampuan untuk menentukan kapan dunia boleh bernapas dan kapan harus menahan napas. Sebagaimana prinisip pepatah kuno Cina yang menjadi sumber adaptasi dari kutipan di awal tulisan,"Rou neng ke gang, yang lembut menaklukan yang keras".