Nov 21, 2020 15:15 Asia/Jakarta
  • Ayatullah Khamenei
    Ayatullah Khamenei

Barat senantiasa berupaya mencitrakan Islam menentang kebebasan berekspresi dan mendiktekan kepada dunia bahwa agama Samawi ini kontradiktif dengan kebebasan ideologi dan ekspresi.

Padahal Islam adalah agama yang menerima kebebasan berekspresi dalam koridor menghormati ideologi lain dan memandang manusia bebas memilih keyakinan dan pandangan kehidupan.

Menyusul surat Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei kepada pemuda Prancis, kami akan menyajikan pandangan dan sikap Islam terhadap kebebasan berpendapat.

Pendapat setiap individu merupakan manifestasi identitas pemikiran dan kepribadiannya serta sarana untuk memaparkan pemikiran, nilai-nilai, emosi dan perasaannya. Kebebasan berekspresi memiliki banyak manfaat bagi individu dan sosial, di mana mengekang kebebasan ini akan menimbulkan kemunduran pemikiran dan sains manusia serta merusak gerakan kesempurnaan masyarakat dan individu.

Menghalangi manusia menikmati nikmat besar Ilahi ini sebuah pelanggaran terhadap hak paling dasar dan nyata manusia, namun akal manusia senantiasa memperingatkan hal ini bahwa kebebasan ini memiliki batasan dan bukannya setiap individu dapat mengungkapkan pendapatnya secara bebas bahkan jika hal itu melecehkan pandangan dan pemikiran pihak lain.

Pesan Rahbar kepada pemuda Prancis juga menekankan hal ini. Rahbar mengatakan, “Apakah arti dari kebebasan berekspresi adalah memburukkan nama dan menghina kepada sosok dan pribadi agung dan suci? Apakah ini bukan tindakan bodoh menghina perasaan sebuah bangsa yang memilihnya menjadi presiden!”

Sejatinya surat Rahbar kepada pemuda Prancis dan rekomendasinya kepada mereka untuk bertanya kepada presiden pilihannya, mengapa kebebasan berekspresi dikategorikan dalam bentuk pelecehan terhadap sosok suci? Tentunya anjuran Rahbar ini ditujukan untuk meyadarkan pemuda Prancis atas masalah ini bahwa hal ini sama halnya penghinaan terhadap perasaan rakyat negara itu sendiri dan setiap manusia yang berakal menyadari bahwa penghinaan terhadap kesucian dan ideologi sebuah komunitas manusia dalam bentuk kebebasan berpendapat tidak dapat diterima.

Sebenarnya setiap akal yang sehat akan mengidentifikasi bahwa kebebasan berpendapat dan berideologi tidak dapat diterima dalam bentuk penghinaan dan pelecehan tehradap idologi dan pandangan orang lain! Hal ini sejatinya sebuah pembatasan akal, bukan kebabasan berekspresi!

Barat senantiasa berusaha mencitrakan Islam menentang kebebasan berekspresi dan mendiktekan kepada dunia bahwa Islam bertentangan dengan kebebasan berideologi dan berkespresi. Sementara Islam menilai ekspresi dan pendapat harus dalam koridor penghormatan terhadap ideologi dan manusia memiliki kebebasan memilih ideologi serta pandangan kehidupan.

Adapun al-Quran, banyak ayat yang menyebutkan kebebasan berpendapat dan dengan menelaah ayat-ayat tersebut, pandangan Islam terkait hak tersebut dengan mudah dapat dipahami. Di ayat 8 dan 9 surah al-Balad, Allah Swt mengisyaratkan penciptaan mata, lidah dan mulut, di mana setiap anggota badan tersebut memiliki tugas tersendiri. Sementara, anggota badan tersebut juga dimiliki baik manusia maupun hewan.

Tak diragukan lagi bahwa lidah dan mulut merupakan alat komunikasi dan berbicara, namun tanpa pengetahuan bicara, anggota badan ini tidak ada bedanya dengan lidah dan mulut hewan. Dengan demikian apa yang membedakan manusia dan hewan adalah ekspresi dan bicara yang diajarkan Tuhan kepadanya. Menurut ayat al-Quran, Allah Swt menjadikan berbicara sebagai sebuah nikmat yang diajarkan-Nya langsung setelah menciptakan manusia. Seperti yang disebutkan di ayat 3 dan 4 surah ar-Rahman: «خَلَقَ الْإِنسَانَ ؛ عَلَّمَهُ الْبَیانَ» (Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara).

Al-Quran kitab Samawi dan penuntun agama Islam, bukan saja menolak kebebasan berekspresi, bahkan menyebutnya sebagai hak di antara hak-hak pasti manusia. Islam memandang tinggi kebebasan berekspresi dan menyebutnya sebagai sebuah prinsip dasar serta mengakuinya. Tak hanya itu, Islam memandang kebebasan ini sebagai alat bagi perkembangan ideologi dan sisi materi serta spiritual manusia. Kebebasan berekspresi mendorong manusia meraih kesempurnaan spiritual, ketinggian dan kehidupan manusiawi serta mencegahnya terjerumus ke dalam kebodohan.

Sementara ilmuwan non agama (kafir) di negara-negara Barat dan Timur memandang agama sebagai belenggu manusia dan menghalangi kebebasannya. Dengan menelaah ayat-ayat al-Quran kita dapat menemukan bahwa pembawa pesan kebebasan pertama adalah para rasul dan nabi yang menurut kesaksian al-Quran, kedatangan mereka telah berhasil membebaskan kesulitan dan penderitaan umat manusia.

Allah Swt di ayat 157 surah al-A’raf berfirman:  «... وَ یَضَعُ عَنهُم إِصرَهُم وَ الأَغلال الَّتِی کَانَت عَلَیهِم» (...dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka). Imam Ali as terkait hal ini berkata: «لا تکن عبد غیرک و قد جعلک الله حرا»، jangan menjadi budak orang lain, karena Allah menciptakan kalian dalam kondisi merdeka. Tak diragukan lagi kebebasan berekspresi dan ideologi lebih penting bagi manusia dari kebebasan fisik dan jiwa, karena mungkin fisik dan jiwa bisa terbelenggu, namun kehormatan yang diberikan Allah Swt tidak dapat dipasung.

Allah Swt di ayat ke 64 surah Aali Imran berfirman: «قُل یَأهلَ الکِتابِ تَعَالَوا إِلَی کَلِمَهٍ سَوَاء بَینَنَا وَ بَینَکُم ألاّ نَعبُدَ ‏ ‏إلَّا اللَه وَ لَا نُشرِکَ به شَیئاً وَ لَایَتَّخِذَ بَعضُنَا بَعضًا أربَابًا مّن‏ ‏دُونِ الله» Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah...”

Di ayat ini Allah Swt menyeru Ahlul Kitab untuk bersama-sama dengan Muslimin mengungkapkan pemikiran mereka dan meraih titik temu di antara mereka seperti Tauhid dan penyembahan terhadap Tuhan Yang Maha Esa seperti yang diyakini oleh agama Ibrahim. Sejatinya al-Quran berusaha menciptakan atmosfer yang bebas tanpa kekerasan, di mana setiap Ahlul Kitab dengan bebas dapat mengungkapkan keyakinannya dan membahas bersama kesamaan akidah mereka dengan umat Muslim serta orang-orang yang mengejar kebenaran akan memilih pandangan yang benar.

Allah menyebut orang-orang yang memiliki pendapat terbaik setelah mendengar beragam pandangan sebagai Ulul al-Bab atau orang berakal. Allah Swt di ayat 17 dan 18 surah Az-Zumar berfirman: «...فَبَشِّر عِبَادِ‏ ‏؛ الَّذِینَ یَستَمِعُونَ القَولَ فَیَتَّبِعُونَ أَحسَنَهُ أُولَئِکَ الَّذیِنَ هَداهُمُ اللهُ وَ أُولَئِکَ هُم أُولُوا الألبابِ» (sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, (17) yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal).

Dengan merenungkan ayat ini kita dapat menyadari bahwa orang terbaik adalah mereka yang bersedia mendengarkan pendapat orang lain dan memilih yang terbaik serta mengamalkannya. Jelas bahwa al-Quran menilai kebebasan berekspresi sebagai salah satu hak prinsip umat manusia, karena keharusan dari memilih pendapat yang terbaik adalah adanya beragam pendapat di tengah masyarakat.

Islam selalu mengimbau para pengikutnya untuk terlibat dalam debat yang baik dan diskusi ilmiah mereka sehingga kebenaran dapat diungkapkan kepada semua dengan cara yang jelas dan transparan. Allah Swt di ayat 125 surah al-Nahl berfirman yang artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik....” Selain itu, ayat ke 46 surah al-Ankabut disebutkan, “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik...” Tak diragukan lagi dorongan dan motivasi ini dikarenakan syariat Islam memberi kesempatan kepada pihak lain menyampaikan ideologi dan pandangan yang bertentangan dan memberi mereka kebabasan untuk menyampaikan pandangannya.

Ungkapan "Ahsan" adalah tafsir yang komprehensif yang mencakup semua metode debat dan debat yang benar dan tepat, baik dalam kata atau dalam isi pidato atau dalam irama pidato dan gerakan lainnya. Poin penting di sini adalah bahwa salah satu contoh "debat yang baik" yang telah diperintahkan dalam beberapa ayat adalah pencegahan penodaan dan penghancuran nilai-nilai pihak lain, yang sayangnya pemerintah Prancis adalah contoh lengkap dan pelanggaran total terhadap prinsip moral ini.

Sikap permusuhan dan menghina pemerintah Prancis bukan saja menyakiti hati umat Muslim dan komunitas ulama Islam, bahkan memaksa pemimpin seluruh agama lainnya menyuarakan protes. Rabi Younes Hamami, pemimpin komunitas Yahudi Kalimian di Iran dalam protesnya atas sikap presiden Prancis mengatakan, “Penghinaan dan pelecehan sebuah sikap irasional dan indikasi kelemahan kepribadian. Metode yang mereka pilih bukan kebebasan berekspresi, tapi pelanggaran terhadap batas-batas kemanusiaan serta menyakiti pihak lain. Kebebasan tidak boleh menghina kehormantan manusia. Oleh karena itu, aksi presiden Prancis menurut kami tidak pantas.”

Mar Narsai Benyamin, uskup agung Gereja Ashuri Iran saat merespon penghinaan pemerintah Prancis terhadap kesucian Nabi Muhammad Saw menyatakan, “"Apakah hasil dari perilaku semacam itu adalah kebebasan atau apakah itu penyalahgunaan konsep kebebasan?" Harus dikatakan bahwa kebebasan penuh hanya dari Tuhan dan kebebasan relatif bagi rakyat. Setiap manusia memiliki kewajiban untuk menghormati sesamanya. Jika kebebasan untuk menghancurkan orang lain, itu tidak benar”.

Ia juga menyinggung aksi penghinaan terhadap al-Quran tahun 1389 oleh seorang pendeta dan mengatakan,"Memang mungkin untuk membakar sebuah Al-Quran, tetapi tidak mungkin untuk membakar iman orang dan merusaknya! Menurut Injil Matius, kita harus memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan. Al-Masih ingin orang-orang yang menghormati, bukan merusak.”

Meski Presiden Emmanuel Macron tidak mengindahkan ucapan Imam Ali as, “Apa yang kamu sukai, juga terapkan bagi orang lain. Dan apa yang tidak kamu sukai, juga lakukan hal sama,” tetapi mungkin untuk berbicara dengannya tentang gagasan universal Immanuel Kant, filsuf abad kedelapan belas dan kesembilan belas, yang menyatakan sebagai aturan emas: "Bertindak sedemikian rupa sehingga Anda ingin semua orang bertindak seperti itu sebagai aturan umum."

Tak diragukan lagi petinggi Barat termasuk Prancis bukan saja menolak setiap penghinaan terhadap negaranya, bahkan tidak mengijinkan penyidikan dan riset ilmiah terkait holocaust dan serta garis merah rezim Zionis Israel. Presiden Prancis telah mempertanyakan hati nurani rakyatnya sedemikian rupa sehingga dia memberanikan prinsip-prinsip moral dan kemanusiaan dan menghina nilai-nilai agama tidak hanya dari warganya, tetapi juga sesama manusia di belahan dunia lain.