Masa Depan Karir Politik Trump yang Semakin Suram
Jan 19, 2021 18:07 Asia/Jakarta
Persetujuan DPR Amerika Serikat atas draf pemakzulan kedua Donald Trump, membuat masa depan politik Presiden Amerika itu semakin suram. DPR Amerika baru-baru ini meloloskan draf pemakzulan Trump yang dituduh melakukan sejumlah pelanggaran termasuk melawan pemerintah federal.
Sebelum voting pemakzulan Trump di DPR Amerika sebagai reaksi atas pendudukan gedung Kongres oleh pendukung Presiden Amerika itu pada 6 Januari 2021 lalu, Ketua DPR Amerika Nancy Pelosi meminta Wakil Presiden Mike Pence untuk memberhentikan Trump sesuai Amandemen ke-25 UUD Amerika.
Amandemen ke-25 memberi wewenang kepada Wapres Amerika atas dukungan mayoritas anggota kabinet, untuk memberhentikan sementara atau selamanya Presiden lalu mengambilalih kekuasaan, karena sejumlah alasan seperti tidak bisa melaksanakan tugas konstitusional. Namun hal ini belum pernah terjadi sepanjang sejarah politik Amerika.
Mike Pence yang sebelumnya menolak tekanan Trump untuk mengubah hasil pemilu presiden kontroversial Amerika 3 November 2020, kini juga menolak permintaan Nancy Pelosi untuk melengserkan Trump, dan dalam suratnya ia berkata, Amandeman ke-25 UUD Amerika bukan sarana untuk menghukum atau merampok.
Wapres Amerika percaya, bersandar pada Amandemen ke-25 untuk melengserkan Trump, akan menciptakan jejak yang mengerikan. Menurut keyakinan Pence, memecat Trump dengan menggunakan Amandemen ke-25 akan menciptakan tradisi baru di Amerika, yaitu presiden-presiden berikutnya negara ini akan terancam bahaya pemecatan yang sama oleh Kongres, dan kekuatan lembaga kepresidenan akan jatuh ke dalam pembagian faksi politik di Kongres.
Seiring dengan penolakan usul pelengseran Trump oleh Wapres Amerika, Partai Demokrat semakin geram dan karena jumlahnya mayoritas di DPR, ditambah dukungan sebagian anggota Partai Repubik, mereka berhasil mempercepat upayanya memakzulkan Presiden Amerika.
Jason Crow, salah satu anggota DPR Amerika terkait dukungan koleganya di Partai Republik atas upaya ini menuturkan, dalam sejumlah dialog yang dilakukan dengan rekan-rekan dari Republik, beberapa dari mereka meneteskan air mata dan mengaku tidak berani memberi suara mendukung pemakzulan Trump, karena nyawa mereka taruhannya.
Lebih penting dari masalah pengesahan draf pemakzulan Trump di DPR Amerika, adalah pengadilan Trump di Senat. Berdasarkan UUD Amerika, tugas menyusun dakwaan terhadap pejabat pemerintah federal termasuk presiden berada di tangan DPR, sementara proses pengadilan dilakukan di Senat.
Proses pengadilan di Senat dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung Amerika dan seluruh senator berperan sebagai Jaksa dan Dewan Juri. Jika tuduhan pelanggaran dikonfirmasi oleh duapertiga senator, maka tertuduh secara otomatis dicopot dari jabatannya.
Saat ini masalah yang menjadi kendala pemakzulan kedua Trump adalah terbatasnya waktu yang tersisa dari masa jabatan Presiden Amerika itu. Tanggal 20 Januari 2021 acara pelantikan Joe Biden sebagai Presiden baru Amerika akan dihelat, dan masa pemerintahan Trump akan berakhir. Padahal sidang pertama Senat setelah disahkannya draf pemakzulan Trump di DPR jatuh pada tanggal 19 Januari 2021.
Di sisi lain karena proses pengadilan Senat terkait pemakzulan pertama Trump memakan waktu sekitar 20 hari, maka dapat dipastikan proses pemakzulan kedua akan berlangsung sampai Trump sudah tidak menjabat lagi sebagai Presiden Amerika. Maka dari itu, sekalipun Trump terbukti bersalah di Senat, hal itu tidak akan menyebabkannya dicopot dari jabatan.
Akan tetapi bagi kubu Demokrat dan beberapa Republik yang menyimpan dendam kesumat pada Trump, pemecatan Presiden Amerika itu bukan prioritas utamanya, mereka berusaha mencegah kemungkinan berkuasanya kembali Trump. Salah satu pasal pemakzulan Trump bersandar pada Amandemen ke-14 UUD Amerika yang disahkkan pada akhir Perang Saudara di pertengahan kedua abad ke-19.
Amandemen ke-14 melarang para pejabat Amerika yang sudah disumpah namun melawan pemerintah federal, untuk menduduki kembali jabatan pemerintahan. Jika kubu Demokrat bersama beberapa sekutunya dari Republik mampu membuktikan tuduhan pemberontakan Trump terhadap pemerintah federal di pengadilan Senat, maka Trump selain akan kehilangan uang pensiun dan fasilitas sosial pasca menjabat Presiden Amerika, ia juga tidak akan diizinkan ikut serta dalam pemilu presiden tahun 2024 mendatang.
Namun kendala yang saat ini sedang dihadapi Demokrat adalah bersamaannya waktu persidangan Trump di Senat dengan dimulainya masa pemerintahan baru Amerika di bawah Joe Biden, dan hal ini dapat mengganggu proses uji kompetensi kabinet dan pengesahan beberapa program mendesak untuk memulihkan perekonomian dan penanganan wabah virus Corona.
Kubu Republik yang mengetahui kendala ini, memaksa untuk segera menyelesaikan proses pemakzulan di Senat sehingga hasilnya dapat segera diketahui di hari-hari pertama Joe Biden menjabat Presiden Amerika. Pada saat yang sama, beberapa anggota kubu Demokrat mengatakan mungkin berkas pemakzulan Trump baru akan diserahkan ke Senat setelah 100 hari pemerintahan Presiden baru Amerika.
Terlepas dari masalah kapan pengadilan kasus Trump di Senat akan digelar, yang terpenting adalah Trump akan menghadapi banyak pembatasan pasca lengser dari jabatan presiden, dan akan sangat kesulitan untuk bertahan di pusaran politik Amerika.
Ditutupnya seluruh akses ke media sosial dan permusuhan mendalam Trump dengan media arus utama Amerika, telah mempersulit dibukanya hubungan Trump dengan publik Amerika. Kondisi ini secara bertahap dapat menyebabkan Trump sama sekali dilupakan oleh publik Amerika, terutama karena setiap upaya untuk kembali berkuasa akan mengaktifkan kekuatan besar politik-keamanan untuk membendung Trump.
Kemungkinan tersingkirnya Trump dari arena perpolitikan Amerika bukan berarti bahwa gelombang protes pendukungnya akan berhenti, dan dalam beberapa bulan ke depan kelompok pro-Trump ini diprediksi akan terjun aktif dalam transformasi sosial-politik Amerika.
Kevin McCarthy, Ketua Minoritas Republik di DPR Amerika memperingatkan pelengseran Trump akan menyulut api perpecahan di negara ini. (HS)
Tags