Zohran Mamdani dan Politik yang Kembali Bernurani
https://parstoday.ir/id/news/opini-i179644-zohran_mamdani_dan_politik_yang_kembali_bernurani
Keadilan bukan sekadar hukum yang tertulis, melainkan cahaya yang menuntun manusia agar tidak kehilangan arah
(last modified 2025-11-16T08:51:54+00:00 )
Nov 05, 2025 14:22 Asia/Jakarta
  • Zohran Mamdani dan Politik yang Kembali Bernurani

Keadilan bukan sekadar hukum yang tertulis, melainkan cahaya yang menuntun manusia agar tidak kehilangan arah

Oleh: Purkon Hidayat, Direktur Eksekutif Middle East Foresight

Ada momen-momen dalam sejarah ketika politik tidak berhenti menjadi hanya sekadar urusan angka dan mulai berbicara dengan suara hati. Saat-saat langka ketika kekuasaan tidak lagi diukur dari besarnya modal, tapi dari keberanian menegakkan nurani. Kemenangan Zohran Mamdani sebagai wali kota New York menandai salah satu momentum itu.

Di kota yang sering disebut sebagai jantung kapitalisme dunia, terpilihnya seorang Muslim muda keturunan India–Uganda bukan hanya kejutan politik, tetapi pernyataan moral. Mamdani bukan sekadar menang dalam kontestasi elektoral; ia memenangkan pertarungan yang lebih dalam dari pertarungan antara politik yang dingin tanpa nilai dan politik yang berkarakter.

New York, sebagaimana banyak kota besar lain, lama hidup dalam paradoks: ia menjadi lambang kemajuan, tetapi juga simbol ketimpangan. Di bawah sinar neon Manhattan, jutaan orang hidup dalam ketidakpastian, terhimpit oleh harga sewa yang tak masuk akal dan pekerjaan yang menelan seluruh waktu tanpa jaminan masa depan. Dalam lanskap seperti inilah Mamdani tumbuh  bukan di menara kekuasaan, tapi di lorong sempit Queens tempat bus datang terlambat dan hidup berjalan di bawah tekanan.

Dari sana ia belajar bahwa keadilan tidak datang dari statistik, tetapi dari pengalaman nyata manusia. Maka ketika ia berbicara tentang “kota yang bisa ditinggali”, itu bukan jargon kampanye, melainkan kesaksian hidup. Ia tidak menjanjikan kemewahan, tetapi hak dasar untuk tetap tinggal di kota tempat seseorang bekerja dan membesarkan anak-anaknya.

Mamdani menawarkan arah politik baru: politik keseharian yang berlandaskan kasih dan keberanian moral. Ia menyebut transportasi publik sebagai hak, bukan privilese. Ia mendorong pembangunan rumah publik agar orang miskin tidak terusir oleh pasar. Ia memperjuangkan pajak progresif agar keadilan tidak berhenti di pidato. Dalam pandangannya, kota tidak boleh hanya menjadi tempat bagi yang mampu membeli ruang, tetapi bagi setiap manusia yang berkontribusi atas kehidupannya.

Namun, keberanian seperti itu selalu datang bersama ujian. Di tingkat nasional, Presiden Donald Trump mencoba menjadikannya simbol lawan: seorang “sosialis Muslim” yang dianggap mengancam tatanan lama. Ancaman pemotongan dana federal, serangan retoris, hingga kampanye kebencian muncul seolah hendak menakut-nakuti. Tetapi justru di tengah tekanan itu, sosok Mamdani menunjukkan keteguhan yang khas: tenang, tegas, dan tanpa kebencian. Ia menanggapi cemooh dengan kerja nyata, seolah ingin membuktikan bahwa politik yang berlandaskan kasih tidak akan kalah oleh politik yang bersandar pada ketakutan.

Lebih dari sekadar reformis kota, Mamdani membawa napas baru dalam spiritualitas politik. Sebagai Muslim pertama yang memimpin New York, ia menolak menjadikan identitasnya sebagai alat pencitraan. Ia memandang iman bukan sebagai dinding pemisah, melainkan sumber nilai kemanusiaan universal. Dalam banyak pidatonya, ia menegaskan bahwa tugas pemimpin bukan mengubah keyakinan orang lain, tapi memastikan setiap warga hidup dalam martabat yang sama. Itulah politik dalam arti yang sejati: politik yang merawat kemanusiaan.

Sikap itu mengingatkan kita pada makna kepemimpinan yang kian langka di zaman modern. Di tengah dunia yang terobsesi pada pertumbuhan ekonomi, Mamdani berbicara tentang pertumbuhan jiwa masyarakat. Di saat kebanyakan politisi berbicara tentang efisiensi, ia berbicara tentang keadilan. Ia tidak menolak kemajuan, tapi menolak kemajuan yang membunuh hati nurani.

Barack Obama menyebut kemenangan Mamdani sebagai “gempa moral baru” dalam politik Amerika. Terdengar laksana gema dari harapan yang dulu pernah mengguncang dunia pada 2008. Namun kali ini, getarannya berbeda. Obama dulu datang dengan pesan persatuan dalam sistem yang mapan; Mamdani datang dengan pesan pembebasan dari sistem yang menindas. Ia tidak berjanji menghapus perbedaan, melainkan menjadikannya kekuatan untuk menata ulang kota yang lelah oleh keserakahan.

Di tangan Mamdani, New York berpotensi menjadi laboratorium keadilan sosial. Ia ingin membuktikan bahwa kota metropolitan pun bisa hidup dalam nilai kemanusiaan, bahwa transportasi gratis dan perumahan publik bukan mimpi, melainkan ekspresi kasih yang rasional. Namun sejarah juga mengajarkan, idealisme selalu menuntut keteguhan. Banyak pemimpin progresif yang jatuh bukan karena lemah, tapi karena sendirian. Dan Mamdani tahu, untuk menjaga idealisme, ia harus membangun solidaritas, bukan hanya antara kaum miskin dan pekerja, tetapi juga antara hati dan akal.

Pada akhirnya, kemenangan Mamdani tidak bisa dibaca semata sebagai kemenangan politik kiri. Ia adalah kemenangan akal sehat di tengah kebisingan dunia yang semakin kehilangan empati. Ia menandai bahwa harapan belum mati; bahkan di pusat kapitalisme, manusia masih bisa memilih keadilan daripada ketamakan.

Mungkin inilah pesan yang hendak disampaikan sejarah: kekuasaan, tanpa nurani, hanyalah pengulangan dari penindasan lama dengan wajah baru. Tampaknya, Zohran Mamdani tidak sedang berusaha menjadi pahlawan. Ia hanya ingin memastikan bahwa di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, nurani manusia tidak ikut tertidur. Tapi sejarah masih terus menulis, apakah Mamdani akan tetap mengusung nurani dalam politiknya ketika berkuasa sebagai wali kota New York, ataukah akan tenggelam dalam lautan hingar-bingar kekuasaan yang dulu dikritiknya sendiri.(PH)