Baru-baru ini sebuah catatan Siamak Namazi dirilis oleh laman The Guardian yang berusaha mencitrakan langkah Iran dalam melawan aksi spionase dan penangkapan mata-mata Barat sebagai tindakan tidak manusiawi .
Brian P.Walsh dalam tulisannya di situs Washington Post memandang cara narasi kehadiran tentara Amerika di Jepang selama Perang Dunia tidak sesuai dengan citra Amerika dan percaya bahwa narasinya bisa diragukan.
Majalah Amerika Serikat, The Hill memuat opini Shahrazad Ahmadi mengenai sebuah upaya untuk menggambarkan situasi politik di Iran sebagai situasi kritis pasca insiden kecelakaan helikopter presiden Iran.
Negara-negara Barat selama bertahun-tahun tidak merasa bertanggung jawab atas kondisi perempuan di masyarakatnya dan dengan kejam membiarkan mereka berada menghadapi segala macam masalah fisik, psikologis dan ekonomi mereka. Tapi pada saat yang sama mereka mencoba untuk memberikan resep yang tidak efektif untuk wanita di negara lain.
Kolumnis asal Amerika Serikat, Frida Ghitis, dalam salah satu catatannya mengulas masalah gugurnya Presiden Iran, Syahid Ebrahim Raisi, dengan teknik propaganda AS.
Kolumnis New York Times, Bret Stephens dalam kolomnya berjudul "Siapa yang lebih bermasalah: Israel atau Iran?" berupaya menunjukkan superioritas Israel atas Iran, tapi dengan menyajikan hanyalah retorika yang tidak nyata, longgar dan tidak relevan.
Media Amerika Serikat, sebagaimana juga media-media afiliasi Pentagon, lain, menyalahkan Iran, atas krisis-krisis yang terjadi di Afrika.
Sejak awal genosida di Gaza, rezim Zionis telah membunuh sedikitnya 103 jurnalis dan pekerja media.
Industri perfilman setelah insiden 11 September 2001 menemukan strategi baru, strategi gabungan dengan strategi Hollywood sebelumnya. Strategi baru yang mengobarkan kebencian dan Islamofobia.
Komite Status Perempuan PBB, merilis laporan terkait kondisi perempuan di Iran, dan berdasarkan laporan itu mereka mengaku menjadi pembela hak perempuan Iran.