Mengapa Syuhada dan Mengenang Perjuangannya Penting?
Aug 17, 2024 17:07 Asia/Jakarta
Parstoday – Kesyahidan adalah terbunuh di jalan Tuhan, dan terbunuh dalam membantu masyarakat yang disebut di dalam hadis sebagai kebaikan tertinggi, dan kematian paling terhormat.
Di ayat Al Quran dan hadis, disebutkan sejumlah dampak keyahidan seperti di antaranya adalah tetap hidup, mendapatkan hak syafaat, dan diampuni dosa-dosa. Di Iran, perhatian terhadap syuhada merupakan salah satu kebijakan terpenting Revolusi Islam.
Jurnalis Iran, Jafar Aliannejad, di surat kabar Vatan, menulis, "Mengenang syuhada bahkan dapat mencegah munculnya sikap reaksioner taktis dalam menghadapi ketakutan, kesedihan, dan putus asa. Maka dari itu mengenang syuhada berarti memperkuat perlawanan dan menjaga berlanjutnya independensi nasional melawan upaya membangun pola hubungan dominasi."
Ia menambahkan, "Penjelasan Imam Khamenei, di hadapan kongres syuhada Provinsi Kohgiluyeh va Boyer-Ahmad, sarat dengan poin mencerahkan terkait operasi psikologis musuh yang sepertinya dengan memperhatikan atmosfir politik dan sosial Iran, saat ini, menarik untuk dianalisa dan berharga."
Mungkin bisa dikatakan bahwa salah satu teknik membangun pola hubungan dominasi, adalah menciptakan sikap reaksioner di dalam mesin kalkulasi pihak lawan, serta sikap reaksioner yang berujung dengan kalkulasi keliru, dan salah dari kemampuan diri sendiri dan musuh. Artinya, menilai kemampuan diri sendiri lemah, dan menganggap kemampuan musuh dominan.
Gairah Jiwa, di tubuh sebuah komunitas akan muncul ketika mereka ketakutan, sedih dan putus asa. Ketiga masalah negatif ini jika masuk ke dalam tubuh masyarakat, dan berubah menjadi faktor-faktor analisa, dan kesadaran masing-masing anggota masyarakat, maka hasilnya adalah sikap reaksioner, ketergantungan, pasif, dan menurunnya perlawanan.
Dari sini, independensi setiap masyarakat sangat tergantung pada keberadaan indikasi-indikasi nyata dari keberanian, kegembiraan dan harapan. Para pahlawan dari setiap masyarakat memenuhi seluruh syarat ini. Dari satu sisi, mereka bisa disebut sebagai pemenang di medan tempur yang tidak takut menghadapi kerasnya situasi dan kuatnya lawan, dan mempertaruhkan seluruh hidupnya.
Meski demikian, terdapat bangsa-bangsa dunia yang sekalipun memiliki pahlawan, tapi tunduk pada ketakutan yang disuntikkan para penguasa, mengapa demikian? Karena para pahlawan mereka tertinggal di jantung sejarah, dan dikecualikan, mereka tidak mampu menciptakan penerus sejarah yang membanggakan.
Sebaliknya jika para pahlawan dari sebuah tanah air, jumlahnya banyak, tersambung, berlanjut, dan hidup, maka bangsa itu akan mendapatkan sebuah budaya heroisme yang melahap seluruh ketakutan, rasa putus asa, dan kesedihan, dan sesuai janji Tuhan, mereka menanti kedatangan para pahlawan berikutnya.
Syuhada mengubah perimbangan ketakutan seperti ini, dan membatalkan aturan "tersambung pada ketakutan musuh", pasalnya ketika kesyahidan telah menjadi budaya kepahlawanan dari sebuah tanah air, dan tentunya sebuah bangsa yang memiliki kesyahidan tidak akan memiliki tawanan, maka ia tidak akan mengenal rasa takut, dan tidak akan mengendurkan perlawanannya di hadapan operasi psikologis musuh.
Mengenang terus menerus syuhada, bahkan dapat mencegah munculnya sikap reaksioner taktis dalam menghadapi ketakutan, kesedihan, dan keputusasaan. Maka dari itu mengenang syuhada berarti mengukuhkan perlawanan dan menjaga independensi nasional di hadapan upaya membangun pola hubungan dominasi. (HS)