Mengapa Perdamaian Melalui Kekuatan Model Trump Gagal?
https://parstoday.ir/id/news/world-i181824-mengapa_perdamaian_melalui_kekuatan_model_trump_gagal
Pars Today - Perdamaian melalui kekuatan dalam model Trump telah mengubah Amerika Serikat menjadi kekuatan yang tidak bisa dipercaya, tidak stabil, dan bahkan suka memeras. Sebuah kebijakan yang melemahkan Eropa, memperkuat Tiongkok, dan membuat negara-negara Arab tidak percaya.
(last modified 2025-12-08T07:41:20+00:00 )
Des 08, 2025 14:39 Asia/Jakarta
  • Presiden AS Donald Trump
    Presiden AS Donald Trump

Pars Today - Perdamaian melalui kekuatan dalam model Trump telah mengubah Amerika Serikat menjadi kekuatan yang tidak bisa dipercaya, tidak stabil, dan bahkan suka memeras. Sebuah kebijakan yang melemahkan Eropa, memperkuat Tiongkok, dan membuat negara-negara Arab tidak percaya.

Menurut laporan Pars Today, model kebijakan luar negeri Presiden AS Donald Trump didasarkan pada "perdamaian melalui kekuatan," yang berarti bahwa unjuk kekuatan militer, tekanan ekonomi, dan ancaman yang terus-menerus dapat menghalangi musuh dan memaksa sekutu untuk patuh.

Namun, pengalaman praktis menunjukkan bahwa kebijakan ini bukan hanya tidak membawa perdamaian, tetapi juga mengubah Amerika Serikat menjadi kekuatan yang tidak bisa dipercaya, tidak stabil, dan bahkan suka memeras.

Menurut laporan Mehr, tentu saja ada konsekuensi dari pendekatan ini terlihat jelas di tingkat ekonomi, keamanan, dan regional, serta melemahkan posisi global Amerika.

1. Pengkhianatan terhadap sekutu dan erosi kepercayaan

Tekanan dan paksaan mungkin membuahkan hasil dalam jangka pendek, tetapi menghancurkan kepercayaan dalam jangka panjang. Bahkan sekutu dekat AS pun menyadari bahwa Washington mengkhianati sahabat-sahabatnya.

Dukungan tanpa syarat terhadap rezim Zionis, mengobarkan perang untuk minyak dan mineral, serta menyebarkan krisis ke Amerika Latin adalah contoh ketidakpercayaan ini. Perilaku-perilaku ini menyebabkan banyak negara, termasuk di Asia Barat, menganggap AS sebagai mitra yang tidak dapat diandalkan.

2. Kegagalan ekonomi; memperkuat Tiongkok dan melemahkan Eropa

Analisis oleh lembaga pemikir Barat menunjukkan bahwa kebijakan perdagangan Trump secara efektif menyerahkan pasar Eropa kepada Tiongkok. Eropa, sekutu lama AS, menghadapi banjir barang-barang Tiongkok dan ketergantungan pada mineral langka Tiongkok.

Proses ini menyebabkan penurunan daya saing Eropa dan peningkatan pengaruh Tiongkok yang justru bertolak belakang dengan klaim Trump bahwa ia akan menciptakan perdamaian dan stabilitas global melalui kekuatan. Hasilnya adalah penguatan rival strategis Amerika dan melemahnya salah satu fondasi tatanan yang berpusat pada AS.

3. Kegagalan keamanan: aliansi menjadi ladang pemerasan

Kebijakan luar negeri Trump, menurut majalah Foreign Policy, memiliki logika mafia. Alih-alih memimpin, AS justru memeras sekutu-sekutunya. NATO dan sekutu lainnya terpaksa meningkatkan anggaran pertahanan mereka, bukan karena rasa percaya, melainkan karena ketidakpercayaan terhadap Washington.

4. Kegagalan regional, ketidakpercayaan Arab

Dalam Perang 12 Hari antara rezim Zionis dan Iran serta serangan Israel terhadap Qatar, AS tidak mampu melindungi sekutunya. Kegagalan ini memberikan pukulan telak bagi kredibilitas Washington di mata negara-negara Arab di Teluk Persia.

Pesan yang jelas bagi kawasan ini adalah kekuatan yang tidak dapat mengendalikan rezim Zionis yang dilanda krisis tidak dapat menjamin keamanan sekutunya. Kegagalan regional ini mendiskreditkan klaim Trump tentang perdamaian melalui kekuatan di wilayah paling sensitif di dunia.

5. Konflik antara citra media dan realitas lapangan

Media pro-Trump mencoba menciptakan citra Amerika sebagai kekuatan yang menentukan dan berjaya dengan bingkai-bingkai seperti "penangkalan", "penghormatan global", dan "hukuman bagi para agresor", tetapi kenyataan menunjukkan bahwa Eropa semakin lemah, Tiongkok semakin kuat, sekutu-sekutu menjadi tidak percaya, dan tatanan global runtuh. Konflik antara narasi media dan realitas inilah yang menjadi alasan utama runtuhnya model "perdamaian melalui kekuatan".

Pada akhirnya, kita dapat mengatakan bahwa model Trump tidak membangun perdamaian maupun menghasilkan kekuatan yang berkelanjutan. Sebaliknya, model ini justru memperparah ketidakstabilan, ketidakpercayaan, dan mengikis posisi Amerika. Jika krisis seperti Venezuela menyebabkan perang, akan kembali menjadi jelas bahwa kebijakan tekanan dan paksaan justru membawa ketidakstabilan, alih-alih perdamaian.

Tugas media pencari kebenaran dalam situasi ini adalah mengkritik kerangka kerja yang penuh kekerasan, mengungkap ketidakabsahan kebijakan AS, dan menyajikan gambaran akurat tentang kegagalan strategis model ini. Perang narasi akan menentukan apakah opini publik dunia melihat kebijakan ini sebagai unjuk kekuatan atau runtuhnya suatu kekuatan.(sl)