AS dan Sanksi Maksimun terhadap Iran
Amerika Serikat di era kepemimpinan Donald Trump memilih kebijakan represi maksimun terhadap Republik Islam Iran. Sekaitan dengan ini, setelah keluar dari JCPOA pada Mei 2018, AS menerapkan sanksi paling keras terhadap Iran.
Sementara itu, meski sanksi keras ini tidak membuahkan hasil, tapi Washington masih tetap bersikeras untuk melanjutkan pendekatannya ini.
Dalam hal ini, Brian Hook, Utusan khusus Amerika untuk Iran Senin (30 Desember 2019) mengatakan, Amerika di tahun depan (2020) akan tetap melanjutkan sanksi terhadap Iran dan akan meningkatkan sanksi tersebut.
Seraya menjelaskan bahwa Washington berpotensi meningkatkan sanksi terhadap Iran, Hook mengatakan, Amerika puas dengan dampak sanksi terhadap perekonomian Iran. Ia mengklaim bahwa ekonomi Iran mulai melemah dan seiring dengan peningkatan sanksi Kami di tahun 2020, ekonomi Iran juga akan semakin lemah.
Ia juga menjelaskan bahwa laju ekonomi Iran saat ini negatif dan mengklaim jika Iran tidak mengubah kebijakannya maka Tehran akan mengalami keterpurukan ekonomi.
Amerika berulang kali menyatakan bahwa tujuan kampanye represi maksimum terhadap Iran adalah untuk mencapai kesepakatan baru dengan Tehran, sebuah kesepakatan yang mengadopsi seluruh pandangan Amerika. Pemerintah Amerika berulang kali menekanan bahwa mereka telah menerapkan sanksi luar biasa sepanjang sejarah untuk memaksa Iran bertekuk lutut di hadapan tuntutan mereka.
Amerika tanpa mengindahkan kesia-siaan sanksinya untuk mengubah perilaku Tehran atau menuruti keinginan Washington, masih tetap menabuh genderang sanksi dan meningkatkan represi terhadap Iran. Di sisi lain, meski mendapat perlakuan jahat dan permusuhan dari Amerika, Iran berulang kali menekankan bahwa Tehran tidak akan tunduk terhadap tekanan AS untuk menyerah dihadapan tuntutan kubu arogan.
Selain itu, lembaga internasional termasuK Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) di laporan terbaru mereka menyatakan bahwa dampak sanksi terhadap ekonomi Iran telah pudar dan ekonomi Tehran mulai tahun depan (2020) akan pulih ke kondisi normal.
Washington sebelumnya mengklaim bahwa mereka memperhatikan pertimbangan Hak Asasi Manusia (HAM) di sanksi terhadap Iran, namun kini terkuak bahwa pertimbangan tersebut diabaikan. Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif seraya mengisyaratkan bahwa presiden AS berbicara mengenai perang ekonomi menyatakan, "Saya menyebutnya terorisme ekonomi, karena menarget warga sipil."
Departemen Keuangan AS di agenda kerjanya yang diriilis di laman instansi ini pada pertengahan Desember 2019 mengakui bahwa salah satu tujuan dari sanksi baru Amerika terhadap sektor navigasi Iran adalah menciptakan pembatasan bagi pertukaran barang dan muatan bantuan kemanusiaan dengan Iran.
Sebelumnya petinggi Amerika mengklaim bahwa produk makanan dan obat-obatan dikecualikan dari sanksi. Meski demikian seiring dengan dirilisnya instruksi terbaru Departemen Keuangan AS, Washington bahkan mengabaikan klaim ini dan secara terang-terangan menekakan eskalasi represi terhadap rakyat Iran dengan menciptakan pembatasan di sektor makanan dan obat-obatan.
Salah satu dimensi nyata anti kemanusiaan dari sanksi Amerika terhadap Iran adalah pembatasan sengaja untuk mencegah akses warga Iran terhadap obat-obatan sensitif dan vital khususnya bagi pasien yang mengidap penyakit khusus. Menurut laman SRF Swiss, Amerika untuk menerapkan represi terhadap Iran, menjatuhkan sanksi kepada Tehran serta seluruh pihak yang terlibat perdagangan dengan negara ini. Namun langkah ini memicu kelangkaan obat-obatan dan makanan di Iran serta mengancam nyawa banyak orang khususnya penderita kanker.
Kemandulan sanksi tak manusiawi Washington untuk memaksa Tehran menerima tuntutan ilegal dan ketamakannya, telah mendorong pemerintah Trump mengabaikan seluruh kepura-puraan terkait Iran serta terang-terangan meningkatkan langkah anti kemanusiaannya terhadap rakyat Iran. (MF)