Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (21)
(last modified Sat, 13 Oct 2018 03:29:51 GMT )
Okt 13, 2018 10:29 Asia/Jakarta
  • Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam sebuah kegiatan di Tehran. (Dok)
    Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam sebuah kegiatan di Tehran. (Dok)

Salah satu prestasi besar selama 40 tahun kehidupan sistem politik Republik Islam adalah tegaknya demokrasi. Selama 40 tahun terakhir, Iran menyelenggarakan sejumlah pemilu dan mengantar berbagai tokoh dengan orientasi politik yang berbeda untuk memimpin pemerintahan.

Edisi kali ini akan mengkaji tentang infrastruktur demokrasi di bawah sistem Republik Islam.

Dari segi sejarah dan studi sosiologi politik, faktor utama yang membuat pembangunan politik di Iran stagnan selama satu abad lalu adalah karena konsentrasi kekuasaan dalam genggaman penguasa dan kurangnya peran partai-partai dan lembaga-lembaga sipil sebagai lembaga distribusi kekuasaan di masyarakat.

Sebelum kemenangan revolusi, sejarah politik Iran mencatat bahwa struktur kekuasaan politik dikuasai oleh suku dan kabilah tertentu dan mereka mempraktekkan sistem monarki. Namun, masyarakat akhirnya kehilangan kepercayaan pada sistem tersebut.

Konsentrasi kekuasaan di tangan kelompok tertentu membuat masyarakat kehilangan sikap kritis. Mereka sudah tidak percaya lagi pada mekanisme politik dan partai-partai juga kehilangan basis massa karena ketidakpercayaan tadi. Setelah partai kehilangan pengaruhnya sebagai lembaga distribusi kekuasaan, maka kekuasaan penguasa sudah mulai kehilangan legalitas hukum yang kuat.

Pasca kemenangan Revolusi Islam, muncul sebuah era baru dari partisipasi politik masyarakat dengan bersandar pada peran rakyat. Penyelenggaraan referendum pemilihan sistem Republik Islam merupakan pengalaman pertama rakyat dalam proses demokratisasi ini. Setelah referendumlah, rakyat Iran menganggap partisipasi di arena pemilu sebagai sebuah tanggung jawab sosial dan kewajiban agama dalam menentukan masa depan politiknya.

Para intelektual Islam memaparkan pandangan yang berbeda tentang partisipasi masyarakat dalam menentukan nasib sebuah bangsa. Secara umum, ada dua teori yang berbicara tentang kedudukan suara rakyat dalam sistem demokrasi religius.

Teori pertama memandang partisipasi masyarakat dan suara mayoritas untuk menentukan semua hal yang ada kaitannya dengan politik sebagai sebuah kewajiban agama. Berdasarkan teori ini, dalam kasus tertentu, pemilihan langsung didelegasikan melalui perwakilan, seperti pemilihan Pemimpin Besar Revolusi Islam (Rahbar).

Imam Khomeini ra.

Karena posisi yang begitu penting dan demi memastikan kapasitas pemimpin besar, Rahbar dipilih oleh Dewan Ahli Kepemimpinan di mana para anggotanya dipilih langsung oleh rakyat. Sebagaimana pemilihan para menteri dan banyak pejabat penting lainnya, di mana tidak mungkin meminta pendapat rakyat secara langsung. Pemilihan mereka diserahkan ke parlemen atau pemerintah.

Poin penting dari teori ini adalah bahwa suara rakyat dan partisipasi masyarakat (baik langsung atau melalui perantara) selalu dipertimbangkan dalam sistem demokrasi religius. Ini termasuk salah satu bukti penting dari pembangunan politik di Iran.

Bapak Pendiri Republik Islam Iran, Imam Khomeini ra meyakini bahwa Islam pada dasarnya sebuah agama demokrasi, Islam juga tidak menolak demokrasi. Di dalam ajaran Islam, perhatian besar terhadap suara rakyat dan urgensitas demokrasi bukan sekedar seremonial, tapi sebuah realita yang memiliki akar di agama Islam.

Sementara pandangan kedua mengatakan partisipasi politik masyarakat dan landasan suara mayoritas dalam sistem pemerintahan Islam, terbatas dan dalam banyak kasus, tidak melibatkan partisipasi publik. Menurut teori ini, para ulama dan intelektual Muslim mampu menentukan perilaku politik yang tepat dan sesuai dengan ajaran Islam. Untuk itu, tidak perlu melakukan pemungutan suara berulang dalam banyak kasus.

Pandangan ini membatasi partisipasi politik masyarakat hanya pada kasus-kasus yang sepenuhnya dianggap umum dan biasa seperti, pemilihan anggota parlemen. Teori ini juga membenarkan kehadiran para wakil yang ditunjuk di samping para wakil hasil pemilu. Peran dan partisipasi politik masyarakat tidak selalu dianggap urgen. Tentu saja pandangan ini bertentangan dengan Konstitusi Republik Islam Iran.

Dari pemikiran dan pandangan Imam Khomeini ra terlihat jelas bahwa beliau adalah pencetus teori pertama dan menekankan partisipasi penuh umat Islam dalam urusan politik. Menurutnya, demokrasi di Islam dan sistem demokrasi religius bukan sebuah isu parsial yang dijiplak dari Barat dan kita mamaksa untuk berkompromi dengannya. Namun, demokrasi dan agama sebuah satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan.

Dalam sistem demokrasi religius, suara dan pandangan rakyat menjadi dasar sebuah pemerintah, namun peran mereka tidak sebatas memilih pemimpin, tapi rakyat juga memainkan peran kental di manajemen pemerintahan.

Ketika ditanya apakah misi perlawanan bangsa Iran untuk memperoleh kebebasan atau menghidupkan Islam, Imam Khomeini berkata, "Tujuan adalah Islam dan tentu saja, Islam mencakup semua makna yang disebut demokrasi." Dari ucapan ini dapat disimpulkan bahwa demokrasi religius dan pembentukan pemerintah bersumber dari ajaran Islam itu sendiri.

Dewan Ahli Kepemimpinan (Majles-e Khobregān-e Rahbari).

Dapat dikatakan bahwa hak setiap orang untuk terlibat dalam pengambilan keputusan tentang urusan publik, merupakan tujuan akhir dari teori demokrasi. Hak ini termasuk membuat keputusan dalam prinsip pemilihan, pembentukan sebuah model sistem politik, penyerahan legitimasi, penyusunan undang-undang, dan pemilihan pemimpin.

Imam Khomeini ra sangat memperhatikan masalah partisipasi rakyat dalam pemilihan pemimpin kaum Muslim. Pada satu kesempatan, beliau berkata, "Jika rakyat memberikan suara kepada Dewan Ahli Kepemimpinan untuk memilih seorang mujtahid yang adil untuk memimpin pemerintahan, maka ketika Dewan memilih seseorang untuk memimpin, tentu ia akan diterima oleh rakyat. Dengan demikian, ia adalah wali pilihan rakyat dan keputusannya wajib ditaati."

Pasal 107 Konstitusi Republik Islam Iran menyebutkan, "Setelah marja' taklid besar dan Pendiri Republik Islam Iran Ayatullah al-Uzma Imam Khomeini ra, yang diakui dan diterima oleh mayoritas rakyat sebagai marja' dan pemimpin, maka tanggung jawab untuk memilih Rahbar berada di tangan Dewan Ahli Kepemimpinan pilihan rakyat."

Para anggota Dewan Ahli Kepemimpinan akan mencari sosok faqih yang adil, bertakwa, berwawasan luas, dan mampu memimpin untuk dipilih sebagai Rahbar. Jika salah satu dari mereka sendiri ada yang lebih menguasai hukum agama, persoalan fiqih, isu-isu politik dan sosial serta diterima oleh publik, maka ia akan dipilih sebagai Rahbar dan diperkenalkan kepada rakyat. Rahbar terpilih akan menjadi pemimpin tertinggi dan memikul semua tanggung jawab yang melekat padanya.

Dewan Ahli Kepemimpinan adalah manifestasi kehadiran dan peran efektif rakyat melalui sebuah pemilu dalam level tertinggi dalam sistem Republik Islam. Dewan ini merupakan salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi religius dan ia menjadi penopang yang kuat bagi pemerintahan Republik Islam.

Dalam sistem demokrasi religius, Rahbar memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Prinsip ini menunjukkan bahwa pemerintahan Islam di Iran sejalan dengan ajaran Islam yang menuntut penegakan keadilan.

Pada dasarnya, kemenangan Revolusi Islam Iran adalah sebuah awal dimulainya upaya bersandar kepada suara rakyat dalam mendirikan pemerintahan Republik Islam Iran. (RM)

Tags