Keteladanan Akhlak Imam Ridha as
Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa yang ingin bertemu Tuhan (di hari kiamat) dengan wajah berseri-seri, maka ia harus memiliki kecintaan kepada Imam Ali bin Musa al-Ridha as."
Imam Ali Ridha as, imam kedelapan mazhab Syiah Imamiah dan cicit Rasulullah Saw, dilahirkan ke dunia pada 11 Dzulkaidah tahun 148 Hijriyah di kota Madinah. Ayahnya adalah Imam Musa al-Kadzim as dan ibunya seorang wanita mukmin dan berakhlak mulia bernama Najmah Khatun.
Sepanjang hidupnya, Imam Ridha as memperlihatkan kasih sayang yang paling indah dalam ucapan dan tindakan. Setelah kesyahidannya, kompleks makam Imam Ridha menjadi rumah untuk hati yang terluka dan para pecinta. Karamah dan kasih sayang mutiara Ahlul Bait ini menarik orang-orang dari semua mazhab dan etnis datang ke sana untuk berkeluh kesah, meneteskan air mata, dan menenangkan hatinya.
Di makam Imam Ali Ridha as, para peziarah melakukan munajat kepada Allah Swt dan meninggalkan tempat itu dengan hati yang tentram. Seakan tempat ini menjadi samudera tak bertepi dari kasih sayang dan cinta yang membuat jiwa-jiwa tersirami dengan cinta.
Yurgin Yourfsky, seorang pegiat wisata dan orientalis Rusia, telah melakukan tour ke Iran bersama keluarganya, termasuk mengunjungi makam Imam Ridha as di kota Mashad. Dia mengatakan, "Di Rusia, spiritualitas ini tidak ditemukan dan kita tidak bisa merasakan pengalaman ini. Sangat sulit untuk menjelaskan pengalaman spiritual dan irfani di tempat suci ini. Saat-saat kehadiran di tempat itu memberikan ketenangan kepada saya dan saya ingin berkunjung kembali ke Mashad."
Kasih sayang adalah sifat Jamaliyah Tuhan dan merupakan sifat baik pertama yang termanifestasi dalam wujud para imam maksum as. Kasih sayang dan cinta dalam wujud Imam Ridha as sungguh sangat besar, di mana tidak hanya menganjurkan masyarakat untuk memiliki sifat ini, tetapi ia sendiri mempraktikkan sifat tersebut dalam hidupnya.
Selama hidupnya, Imam Ridha as menjadi magnet kasih sayang dan cinta bagi masyarakat. Kasih sayang dapat dilihat dari cara ia bergaul dengan semua individu masyarakat pada masa itu. Menurutnya, imam dan pemimpin adalah teman yang penyayang, ayah yang pengasih, kakak yang ramah, dan ibu yang selalu menginginkan kebaikan untuk anaknya yang kecil. Ini adalah indikasi dari puncak hubungan kasih sayang antara pemimpin agama dan masyarakat. Oleh karena itu, Imam Ridha dikenal sebagai Imam ar-Rauf (pemimpin yang penyayang).
Seorang warga Prancis keturunan Aljazair, Profesor Rashid bin Isa mengisahkan, "Aku telah kehilangan keponakanku selama 12 tahun dan aku tidak tahu apakah ia masih hidup atau sudah tiada. Dari setiap orang yang aku tanya dan setiap tempat yang aku susuri, aku tidak menemukan jawabannya, hingga salah satu temanku berkata, "Mengapa engkau tidak mendatangi Imam Ridha as dan menceritakan masalahmu kepadanya?"
"Aku datang ke kota Mashad, Iran dan berziarah ke makam Imam Ridha. Aku tidak tahu apa-apa tentang tata cara ziarah dan lain-lain, tapi dengan penuh kepolosan dan cinta aku berkata kepadanya, "Permisi Imam Ridha, salam atasmu, aku meminta syafaatmu. Tolonglah aku atas kebenaran kakekmu Rasulullah Saw, bantulah aku untuk menemukan kemenakanku, berilah aku petunjuk sehingga aku tahu apakah ia hidup atau sudah meninggal."
Belum genap dua bulan dari ziarah itu, istri dari keponakanku menghubungi dari London ke rumahku di Paris dan berkata kepada anak-anakku bahwa kami sekarang tinggal di London. Untuk itu, aku kembali berziarah ke makam Imam Ridha as untuk berterima kasih. Aku menyaksikan karamah Imam Ridha dalam kasus ini, sebab aku sudah bertahun-tahun mencari keponakanku dan tidak menemukannya, Imam Ridha as memenuhi hajatku di puncak keputusasaan."
Berbicara tentang pengalaman spiritualnya berziarah ke makam Imam Ridha, Profesor Rashid menuturkan, "Makam Imam Ridha as adalah darussyifa' di mana engkau bisa datang dengan hati yang polos dan berkeluh kesah dengan Imam. Engkau bisa menangis tanpa perlu malu sama sekali, semua orang menangis dan tangisan ini karena rasa cinta. Setelah berziarah, orang merasakan kondisinya membaik, berbeda dengan para psikiater di mana engkau datang menemuinya dengan seribu dolar dan ketika pulang, rasa frustasimu bertambah besar, karena engkau telah kehilangan seribu dolar dan tidak memperoleh hasil apapun."
Sikap ramah Imam Ridha as di masa hidupnya tidak hanya untuk kaum Muslim, tetapi orang-orang non-Muslim juga menikmati kasih sayang dan cinta beliau. Pesona cinta Imam Ridha akan menarik semua hati dan membangunkan fitrah manusia.
Akhlak, perilaku, kasih sayang, kerendahan hati (tawadhu'), dan keramahan yang dimiliki Imam Ridha as membuat masyarakat sangat tertarik kepadanya. Dalam pandangan Imam Ridha, tawadhu' berarti berbuat baik kepada masyarakat. Saat ia ditanya tentang batas kerendahan hati, Imam Ridha as menjawab, "Hendaknya engkau memberikan dari dirimu sendiri kepada orang lain apa yang engkau suka untuk diberikan kepadamu oleh mereka."
Dalam sebuah pesan kepada Muhamamd bin Sinan, salah satu sahabat ayahnya, Imam Ridha menulis, "Tawadhu' memiliki beberapa derajat antaranya seseorang harus mengetahui kapasitasnya dan secara tulus menempatkan itu pada posisinya, perlakukan orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan seperti itu, jika seseorang berbuat buruk kepadamu, balaslah ia dengan kebaikan, kendalikanlah amarahmu, mintalah maaf kepada masyarakat, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik."
Di samping sifat kasih sayang dan kerendahan hati, Imam Ridha as juga memiliki kedudukan ilmu yang tinggi. Di masa itu, kegiatan ilmiah, acara diskusi, penulisan dan penerjemahan buku-buku berkembang dengan pesat di tengah masyarakat. Berbagai faham dan aliran pemikiran dan filsafat muncul pada masa itu.
Ruang kuliah dipenuhi oleh para guru dan siswa untuk mengajar dan menimba berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bersamaan dengan perkembangan ilmiah dan budaya, gelombang pemikiran yang menyimpang juga bermunculan dan ibarat jamur beracun yang tumbuh di taman ilmu dan makrifat.
Di masa genting itu, Imam Ridha as menjadi tempat rujukan para pemikir dan ilmuwan. Ia melakukan diskusi dan perdebatan dengan para ulama dari berbagai mazhab dan aliran pemikiran untuk mengungkap kebenaran. Imam Ridha menunjukkan kesalahan aliran-aliran pemikiran sesat dan memberikan dukungan kepada para fuqaha. Ia menjelaskan dan membuktikan kebenaran hukum syariat dan landasan akidah dengan metode yang indah.
Di tengah meningkatnya popularitas Imam Ridha as, penguasa Dinasti Abbasiyah, Ma'mun Abbasi mengadakan acara diskusi dan mengundang para ulama untuk berdebat dengan Imam.
Ma'mun berniat mempermalukan Imam Ridha sehingga popularitasnya menurun. Tetapi ia selalu unggul dalam menjawab setiap pertanyaan dan membuat para ulama takjub kepadanya.
Penguasa Abbasiyah setelah menanyakan beberapa pertanyaan kepada Imam Ridha as, berkata, "Demi Allah, ilmu yang benar tidak akan ditemukan kecuali di dekat Ahlul Bait Nabi. Sungguh engkau telah mewarisi ilmu para kakekmu dan semua ilmu mereka ada bersamamu." (RM)