Lintas Warta 2 Mei 2022
Mungkinkah Eropa Bisa Lepas dari Ketergantungan Gas Rusia ?
Berlanjutnya perang di Ukraina, telah menyebabkan masalah pemenuhan kebutuhan energi Eropa dari Rusia, berubah menjadi masalah yang semakin pelik.
Sejumlah banyak negara Eropa menganggap pemutusan pasokan gas dan minyak dari Rusia, sebagai instrumen untuk menghukum Moskow karena telah menyerang Ukraina, namun sebagian negara Eropa lain tidak setuju.
Komisioner Pasar Internal Eropa Thierry Breton mengumumkan, program pemutusan ketergantungan Uni Eropa atas gas Rusia sudah siap.
Akan tetapi pada saat yang sama Breton menegaskan bahwa melepaskan ketergantungan pada energi impor dari Rusia, tidak bisa dilakukan dalam sekejap.
Negara-negara anggota Uni Eropa selama lebih dari dua bulan melancarkan perang ekonomi dengan Rusia, untuk membantu Ukraina.
Selain mengirim berbagai jenis persenjataan ke Ukraina, mereka juga menerapkan sanksi luas terhadap Moskow. Di sisi lain, sebagian besar kebutuhan energi negara-negara Eropa, dipasok dari Rusia.
Deputi Perdana Menteri Rusia Alexander Novak mengatakan, "Kecil kemungkinannya negara-negara Eropa dalam rentang waktu lima hingga 10 tahun, bisa menemukan pengganti minyak dan gas Rusia."
Rusia memenuhi 30 persen kebutuhan minyak, dan 40 persen kebutuhan gas Uni Eropa, dan tanpa memperhatikan sumber energi Rusia, tidak mungkin untuk berbicara tentang keamanan energi di Eropa.
Deputi PM Rusia juga memperingatkan, sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap Moskow, akan menaikan harga-harga secara luar biasa.
Kepala Dana Moneter Internasional, IMF Divisi Eropa, Alfred Comer sehubungan dengan hal ini menyinggung dampak mendalam penghapusan total impor gas alam Rusia, terhadap perekonomian Eropa.
"Penggunaan cadangan, dan solusi-solusi alternatif hanya dapat membantu untuk jangka waktu enam bulan saja," tegasnya.
Masalah ini realitasnya telah berubah menjadi konflik di antara negara-negara Uni Eropa. Negara-negara Barat sebenarnya takut, peningkatan sanksi atas Rusia, akan menyebabkan kelangkaan bahan bakar di Eropa, dan hal itu menyebabkan gangguan pada rantai ekonomi negara-negara ini.
Tidak bisa dipungkiri, peningkatan harga bahan bakar, telah menjerumuskan sejumlah banyak negara Eropa, ke dalam inflasi akut.
Majalah Prancis, Le Figaro menulis, "Beberapa negara seperti Polandia dan Prancis berusaha memboikot total migas Rusia, tapi di saat yang sama, beberapa negara lain seperti Jerman, Austria dan Hongaria menentangnya."
Bank Sentral Jerman memperingatkan resesi ekonomi yang mengancam negara ini jika impor gas dari Rusia dilarang.
"Pelarangan segera impor gas dari Rusia, oleh Uni Eropa akan membawa kerugian setara 165 miliar euro di bidang produksi Jerman," katanya.
Menanggapi ancaman pemutusan impor gas dari Rusia oleh negara-negara Eropa, Presiden Rusia Vladimir Putin beberapa waktu lalu menandatangani sebuah perintah eksekutif, dan mengumumkan negara-negara non-sahabat pembeli gas Rusia harus membayar dengan mata uang rubel.
Keputusan Putin ini semakin menambah masalah bagi kebanyakan negara-negara Eropa, terbukti dengan penentangan yang ditunjukan Polandia dan Bulgaria. Sehingga akhirnya Gazprom secara resmi memutus total pasokan gas ke negara-negara itu.
Sekarang perseteruan di Uni Eropa terkait berlanjutnya impor gas dari Rusia, dan penerimaan syarat yang ditetapkan Moskow untuk membayar dengan rubel, semakin tajam.
Kenyataannya, negara-negara Eropa sejak awal krisis Ukraina, berusaha mengambil kebijakan politik yang selaras, dan menjadi pendukung Ukraina, namun sekarang mereka bertikai soal masalah ekonomi.
Bukan rahasia lagi bahwa pemutusan total impor gas Rusia, bagi sejumlah negara Eropa akan menjadi sebuah bencana.
Wakil Presiden Komisi Eropa Věra Jourová memperingatkan, pemutusan total impor gas alam dari Rusia akan menciptakan krisis energi serius di sejumlah negara Uni Eropa.
Sepertinya meski seluruh upaya sudah dikerahkan oleh negara-negara Barat untuk menerapkan tekanan pada Rusia, di bidang ekonomi, namun kepentingan nasional tetap menjadi perhatian utama negara-negara itu.
Pasalnya setiap peningkatan harga bahan bakar bukan hanya akan diikuti dengan peningkatan inflasi, juga membawa imbas politik dan sosial. (HS)