Feb 08, 2016 19:01 Asia/Jakarta

Di tengah kegalauan Dunia Barat dalam menemukan akar penyebab maraknya kekerasan dan ketakutan yang dikobarkan teroris di tengah masyarakat Barat, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Sayid Ali Khamenei menulis surat keduanya untuk pemuda Barat, yang memuat poin-poin penting dan menyinggung penyebab asli berkembangnya tren terorisme di masyarakat Barat.

Serangan teror di Paris pada 13 November 2015 telah menewaskan lebih dari 130 orang. Aksi itu kembali mempertegas bahwa zona operasi teroris tidak hanya terbatas di Timur Tengah atau wilayah tertentu di dunia. Momok terorisme seperti ungkapan Rahbar, merupakan sebuah keprihatinan bersama. Bukan hanya Barat yang merasa tidak aman dari kehancuran akibat pertumbuhan ekstremisme, tapi jelas-jelas menguak sebuah fakta bahwa tanpa menemukan jalan untuk mencegah atau mencerabut akar ekstremisme, maka bangsa-bangsa Barat juga tidak bisa lari dari fenomena mengerikan itu.

Dalam perspektif Ayatullah Khamenei, alasan mendasar terorisme di Barat karena adanya pemikiran berbau kekerasan di tengah masyarakat Barat. Hal ini terbentuk melalui sekumpulan pandangan dan ideologi yang kemudian melahirkan standar ganda dalam kebijakan Barat, membagi teroris dengan baik dan buruk, serta memprioritaskan kepentingan penguasa ketimbang nilai-nilai kemanusiaan dan etika.

Pemikiran seperti itu telah menciptakan kekerasan senyap akibat pemaksaan budaya Barat atas bangsa-bangsa lain. Barat juga melecehkan budaya-budaya yang kaya meskipun mereka tidak memiliki kapasitas untuk menjadi alternatif. Belum lagi, budaya Barat menyimpan dua komponen negatif yakni agresivitas dan amoral. Pemikiran tersebut menyebarkan benih kebencian terhadap komunitas Muslim di Barat sebagai kelompok yang paling rentan.

Pengaruh budaya yang tidak sehat di lingkungan terpolusi dan penuh kekerasan di Barat. Ditambah lagi, kebencian akut yang tertanam dalam benak satu lapisan masyarakat Barat akibat berbagai ketimpangan serta diskriminasi hukum dan struktural, semua ini merupakan bukti kegagalan Barat dalam menegakkan kesetaraan di mata hukum. Ketimpangan ini menstimulasi sejumlah warga Eropa ke arah kekerasan dan kelompok-kelompok teroris.

Selain ketimpangan sosial dan dampak-dampak pelecehan budaya suku bangsa lain oleh negara-negara Barat, surat kedua Ayatullah Khamenei juga menyoroti dimensi lain terbentuknya kekerasan senyap di tengah masyarakat Barat. Kekerasan senyap ini berakar pada kebijakan era imperialisme, konspirasi, dan intervensi asing di negara-negara Islam pada abad ke-19 dan 20. Pada masa imperialisme, Barat menyemai benih-benih ekstremisme di tengah suku Badwi Arab dan di era modern, mereka membentuk kelompok ISIS untuk menciptakan kehancuran di negara-negara Muslim.

Barat juga mengadopsi standar ganda terhadap gerakan kebangkitan di Dunia Islam dan memberi dukungan mutlak kepada rezim Zionis Israel meskipun terlibat pembantaian di Palestina. Surat Ayatullah Khamenei memperingatkan bahwa langkah-langkah reaktif, tidak akan membuahkan hasil apapun kecuali peningkatan polarisasi yang telah ada, sekaligus membuka pintu bagi munculnya berbagai krisis baru di masa mendatang. Sejauh ini korban terbesar aksi tergesa-gesa menyikapi isu terorisme adalah warga Muslim, terutama yang berdomisili di negara-negara Barat.

“Setiap gerakan sensasional dan tergesa-gesa yang membuat masyarakat Muslim Eropa dan Amerika Serikat – yang terdiri dari jutaan manusia aktif dan bertanggung jawab – menjadi terisolasi maupun khawatir dan gelisah, membuat mereka terhalang dari hak-hak asasinya serta menjadikan mereka terkucil dari ranah sosial, bukan hanya tidak menyelesaikan masalah, tapi justru akan semakin memperlebar jarak dan meningkatkan permusuhan,” tulis Ayatullah Khamenei dalam suratnya kepada pemuda Barat.

Dalam dua dekade lalu, para dosen dan peneliti Barat fokus mengkaji masalah akar terorisme di dunia. Para pakar ekonomi menganggap terorisme sebagai jawaban atas kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi kekayaan di tengah masyarakat negara-negara berkembang. Kelompok lain secara bias berusaha menghubungkan akar terorisme dengan agama Islam. Kajian yang bias, sepihak, dan tidak matang ini telah mengundang kelompok peneliti lain untuk menyajikan analisa yang kritis dan membantah klaim-klaim yang dangkal tersebut.

Profesor Louise Richardson dari Universitas Oxford, percaya bahwa bukti-bukti tentang hubungan erat antara terorisme dengan Islam, kemiskinan, dan kesenjangan ekonomi di masyarakat, sangat lemah. Meskipun bisa dianggap bahwa kemiskinan atau bahkan interpretasi distorsif tentang Islam, berperan dalam menumbuhkan motivasi sekelompok pemuda untuk bergabung dengan teroris. Namun, persoalan ini dengan sendirinya tidak bisa menjelaskan mengapa kecendrungan ekstrim hanya rame dalam beberapa dekade terakhir, sementara kemiskinan dan penafsiran radikal tentang Islam sudah ada sejak berabad-abad lalu?

Dosen ilmu politik di Universitas Chicago, Robert Pape dalam sebuah kajiannya, menemukan bahwa tidak ada korelasi antara Islam dan terorisme bunuh diri. Menurutnya, penyebab utama terorisme adalah pendudukan oleh militer asing. Ia telah mengkaji lebih dari 462 kasus terorisme bunuh diri antara tahun 1980-2003 dan menyimpulkan bahwa 95 persen serangan terorisme tidak ada hubungannya dengan motivasi agama atau ideologi, tapi dilakukan atas dorongan politik. Robert Pape juga mengatakan, kebanyakan kasus bom bunuh diri merupakan respon atas invasi yang dilakukan militer asing.

Atas dasar logika ilmiah ini, Ayatullah Khamenei juga menegaskan bahwa invasi militer ke Dunia Islam dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan korban yang tidak terhitung jumlahnya. Negara-negara yang menjadi target serangan, selain mengalami kerugian manusia, juga kehilangan infrastruktur ekonomi dan industrinya, gerakan mereka menuju kemajuan dan pembangunan terhenti atau melambat, dan dalam sebagian kasus malah mundur hingga puluhan tahun. Meski demikian, dengan congkak mereka dituntut untuk tidak mendeklarasikan diri sebagai pihak yang tertindas.

Amerika Serikat dan kekuatan-kekuatan Eropa selama bertahun-tahun mendukung rezim diktator Arab. Dukungan ini menyulut sentimen anti-Barat di tengah bangsa-bangsa Arab dan Muslim di kawasan yang menuntut kebebasan. Pada Desember 2015, ketua Partai Buruh Inggris Jeremy Corbyn mengatakan bahwa ia menentang pemboman Irak dan Suriah. Menurutnya, kelompok ISIS bukan muncul dari tempat yang tak jelas, mereka mendapat suplai dana dari sekutu-sekutu Barat semisal Turki dan Arab Saudi.

Arab Saudi merupakan mitra strategis AS dan Inggris di wilayah Timur Tengah. Gerakan radikal dan terorisme di kawasan, tidak mungkin mampu memporak-porandakan stabilitas dan keamanan Timur Tengah seperti saat ini jika tanpa dukungan rezim Al Saud. Barat sendiri mengetahui tentang peran desktruktif Saudi dalam mendanai kelompok-kelompok teroris. Kontradiksi ini mengundang sebuah pertanyaan yaitu, bagaimana Barat akan menjaga keamanannya dan mencegah para pemuda bergabung dengan kelompok teroris, sementara tidak ingin meninjau ulang kebijakan-kebijakan kelirunya yang telah menciptakan ancaman?

Tags