Peran Amerika dan Militerisme Jepang
(last modified Sun, 20 Aug 2017 02:50:34 GMT )
Aug 20, 2017 09:50 Asia/Jakarta

Militerisme Jepang meskipun dirintis kembali oleh Partai Liberal Demokrat (LDP) dan pribadi Shinzo Abe, Perdana Menteri Ultra-nasionalis Jepang, namun tidak ada keraguan bahwa keputusan ini melibatkan kerjasama dan koordinasi dengan Amerika Serikat. Kajian tentang kebijakan AS di wilayah Asia Timur secara jelas akan memperlihatkan bahwa Washington mengejar dua prinsip dasar dengan mengubah strategi militernya.

Pertama, AS ingin memperkuat sekutu regionalnya yaitu Jepang dan Korea Selatan dari aspek militer. AS telah menumpuk peralatan militer canggih dan sistem pertahanan rudal termasuk THAAD di pangkalannya di Korea Selatan dengan alasan melawan ancaman Korea Utara. Dan kedua, Jepang dengan semangat nasionalisme yang tinggi, akan ditugaskan oleh AS untuk menjadi gendarmerie (pasukan polisi militer) regional.

Pasca kekalahan dan kehancuran Jepang di akhir Perang Dunia II, Washington memaksakan sebuah pakta keamanan yang memberi wewenang kepada AS untuk menjamin keamanan Jepang dan melarang negara tersebut memiliki pasukan militer. Namun, AS sekarang merasa hegemoninya berada dalam bahaya di tengah kebangkitan kekuatan militer dan ekonomi Cina dan juga kemampuan rudal dan nuklir Korea Utara. AS ingin mendorong Jepang ke arah militerisme dan menobatkan negara itu sebagai gendarmerie regional.

Washington juga akan mendorong Tokyo untuk berhadap-hadapan dengan Beijing dengan memperhatikan konflik Jepang dan Cina di Laut Cina Timur. Perselisihan negara-negara regional di Laut Cina Selatan dengan Beijing dan juga konflik Cina dengan Jepang tentu akan mengobarkan sentimen nasionalisme, karena isu kedaulatan berhubungan dengan harga diri sebuah negara. Di sini, AS membaca konflik itu sebagai peluang untuk mempertajam perselisihan, mendestabilisasi kawasan, dan menggolkan kontrak-kontrak militer.

Bedanya, semangat nasionalisme di Jepang berpadu dengan kekuatan finansial dan industri negara itu sehingga mereka dengan cepat dapat berubah menjadi sebuah kekuatan efektif di kawasan dan bahkan menjadi sang penakluk.

Perkembangan ini telah memicu kekhawatiran tidak hanya bagi rakyat Jepang, tapi juga bagi negara-negara regional. Militerisme Jepang yang dibangkitkan kembali oleh AS pada akhirnya akan dipakai untuk membendung Cina dan bahkan Rusia di kawasan.

Cadangan energi dan juga kekayaan maritim di Laut Cina Selatan tidak hanya menjadi sebuah godaan besar, tapi juga menciptakan iklim yang tepat untuk membentuk rivalitas dan perseteruan regional di samping isu sengketa perbatasan. Dalam situasi seperti ini, AS menghembuskan kebijakan Cinaphobia dan Koreaphobia untuk membantu Partai Liberal Demokrat (LDP) Jepang dalam mencapai supremasi militer di kawasan. Oleh karena itu, isu keamanan sekarang telah menjadi salah satu kekhawatiran utama bangsa-bangsa regional.

Mengenai krisis di wilayah Asia Timur, seorang analis kantor berita IRNA mengatakan, "Ketidakpedulian para pemimpin Tokyo terhadap implikasi dari kebijakan militeristik pemerintahan Abe, telah menjadi alasan utama langgengnya sentimen anti-Jepang di Cina dan Korea Selatan."

Situasi ini memiliki dampak ganda bagi pemerintah Jepang sendiri. Pertama, setengah dari warga Jepang mengkhawatirkan pecahnya perang di kawasan dan konfrontasi negara mereka. Jadi, mereka menentang kebijakan militeristik dan amandemen konstitusi Jepang. Dan kedua, aroma Perang Dingin di Asia Timur telah menghidupkan nasionalisme setengah dari warga Jepang dan membuat mereka mendukung program-program ambisius PM Shinzo Abe.

Kondisi seperti ini muncul karena dipicu oleh kebijakan-kebijakan provokatif AS dan memiliki dampak serius di kawasan terutama bagi masa depan hubungan Jepang dengan Cina, Korea Selatan, dan Rusia.

Berkenaan dengan Cina, banyak pihak percaya bahwa kondisi yang sama juga tengah tumbuh di Negeri Tirai Bambu tersebut dan wilayah Asia Timur sedang bergerak ke arah kebangkitan ultra-nasionalisme. Hal ini dengan memperhatikan kerugian besar yang akan diderita Cina jika pecahnya perang di kawasan. Rivalitas yang ketat berpotensi menyeret kawasan ke dalam sebuah perang habis-habisan, terlebih Cina dan Jepang terlibat sengketa atas kepemilikan gugusan pulau di Laut Cina Timur.

Selain itu, campur tangan Tokyo di Laut Cina Selatan tentu akan memangkas batas kesabaran Beijing, di mana pemerintah Cina berkali-kali memperingatkan dampak intervensi Jepang di kawasan.

Seorang analis kantor berita Xinhua mengatakan, "Amandemen Undang-Undang Dasar Jepang dan perluasan wewenang Shinzo Abe merupakan sebuah alarm peringatan kepada negara-negara tetangga Jepang dan bahkan negara itu sendiri. Oleh karena itu, militerisme Jepang tidak menguntungkan siapa pun."

Pemerintah Jepang juga terlibat perselisihan dan sengketa wilayah dengan Korea Selatan meskipun keduanya sekutu AS. Kedua negara sama-sama memiliki klaim atas kepemilikan Pulau Dokdo yang juga dikenal sebagai Takeshima di Jepang. Meskipun Pulau Dokdo dikontrol oleh pemerintah Seoul, tapi Tokyo memiliki klaim atas kepemilikan wilayah itu dan pada Januari 2014, Jepang mengubah materi pelajaran sejarah Kepulauan Dokdo di buku-buku sekolahnya.

Tindakan tersebut memicu protes dari pemerintah Korea Selatan dan mereka menganggap Jepang masih berpegang pada kebiasaan buruk masa lalu, mendistorsi sejarah, dan bernostalgia dengan imperialisme masa silam. Oleh karena itu, kebijakan militeristik Jepang juga membuat Korea Selatan khawatir atas perkembangan keamanan regional.

Pemerintah Cina juga langsung mengeluarkan pernyataan sikap setelah Shinzo Abe membacakan sebuah pesan pada upacara untuk menghormati pasukan korban Perang Dunia II di Kuil Yasukuni, Tokyo. Kementerian Luar Negeri Cina menyatakan bahwa Jepang harus mengambil jarak dari masa lalunya yang disertai dengan agresi dan perang serta menjauhi pendekatan konfrontatif dan militerisme.

Para pejabat Jepang pada waktu tertentu mengunjungi Kuil Yasukuni yang menjadi tempat pemakaman bagi tentara korban perang untuk melaksanakan ritual agama. Namun, Cina menganggap kegiatan itu tidak memiliki dimensi spiritual dan semata-mata sebuah langkah politik dan bertujuan untuk melecehkan Cina, Korea Selatan, Indonesia, Myanmar, Filipina, dan bangsa-bangsa Asia lainnya.

Militerisme Jepang juga akan mempengaruhi hubungan negara itu dengan Rusia. Kedua negara terlibat sengketa atas kepemilikan Kepulauan Kuril yang juga dikenal sebagai Hokkaido di Jepang. Rencana pemerintah Rusia untuk membangun pangkalan militer di Pulau Kuril mengundang kegusaran Jepang. Sebagian pengamat percaya bahwa gerakan ekstrim akan tumbuh di Jepang yang menganggap satu-satunya cara merebut Pulau Kuril dari Rusia adalah lewat aksi militer. Tapi, semangat militerisme para penguasa Jepang akan memiliki implikasi yang sangat berbahaya bagi kawasan.

Kantor berita resmi Korea Utara dalam sebuah editorialnya dengan judul, "Apakah ini kemunculan Hitler Asia?" menuduh Shinzo Abe melakukan konfrontasi dengan Korea Utara untuk membenarkan demam militerismenya. "Tidak ada perbedaan antara maniak fasis Hitler, yang melakukan pertempuran melawan komunis untuk membenarkan perang lain, dan Abe yang sembrono menggunakan konfrontasi dengan Korea Utara untuk membenarkan ambisi militer Jepang," tulis kantor berita KCNA.

Surat kabar People's Daily milik Komite Sentral Partai Komunis Cina mengkritik kinerja pemerintah Tokyo dan menulis, "Agenda militerisme pemerintah Jepang merupakan sebuah pukulan besar bagi perdamaian dan stabilitas di Asia. Padahal, isu-isu regional tidak boleh berdampak negatif pada hubungan negara-negara tetangga."

Cina dan beberapa negara Asia percaya bahwa kebijakan pemerintahan Abe semakin mendekatkan Jepang dalam sebuah kontrontasi militer.