Akar Krisis Korea dan Pengkhianatan AS (1)
Dalam mengalisa seputar akar krisis bersejarah di Semenanjung Korea, jejak kaki Amerika Serikat dan pengkhianatan negara itu, akan tampak sangat jelas.
Keterlibatan Amerika dalam Perang Korea, yang berlangsung dari 25 Juni 1950 hingga 27 Juli 1953, dan berujung dengan pecahnya negara itu menjadi dua bagian, Utara dan Selatan di garis lintang 38 derajat, telah menjerumuskan Semenanjung Korea ke dalam api permusuhan.
Korea Utara yang menempatkan dirinya dalam kubu komunis bersama Cina dan Rusia, atau Blok Timur, membuat negara itu berhadap-hadapan dengan Amerika yang berada di Blok Barat.
Dari sini, kita bisa membaca bahwa krisis di Semenjung Korea berakar dari persaingan yang terjadi di Perang Dingin antara kubu komunis dan kapitalis. Dalam kerangka persaingan ini, Korea Utara secara militer dan nuklir didukung dan diperkuat oleh Beijing dan Moskow.
Di sisi lain, untuk mencegah penyebarluasan komunisme, Amerika merekonstruksi Korea Selatan dan Jepang pasca perang dan menjaga keamanan kedua negara tersebut.
Namun demikian, alasan terbesar kemajuan teknologi rudal dan nuklir Korea Utara sebagai komponen defensif menghadapi ancaman Amerika, terjadi setelah runtuhnya Uni Soviet.
Di saat Cina dan Rusia memilih kerja sama untuk menggantikan ketegangan dan rivalitas destruktif dengan Amerika, maka dukungan Moskow atas Pyongyang mulai mengalami penurunan.
Vassily Kashin, peneliti senior di Institut Timur Jauh, Akademi Sains Rusia mengatakan, berdasarkan sejumlah evaluasi yang dilakukan, Korea Utara memiliki 10-20 hulu ledak nuklir.
Sampai sekarang masih belum jelas apakah negara ini berhasil membuat hulu ledak untuk rudal-rudal balistik jarak menengah dan jauhnya atau tidak. Jika dikatakan berhasil, sumber independen dan bisa dipercaya terkait masalah ini, belum dapat dikonfirmasi.
Saat ini, Korea Utara menjadi satu-satunya negara dunia yang tersisa sejak Perang Dingin dan masih berhaluan komunis. Meski sekarang Cina dan Rusia yang telah melakukan reformasi terutama di bidang ekonomi, tampak bergerak ke arah sistem kapitalis. Oleh karena itu, dalam menganalisa akar krisis di Semenanjung Korea ada beberapa poin yang harus diperhatikan.
Pertama, ketika Cina hampir berputus asa atas masalah Taiwan dan selangkah lagi kepulauan itu jadi pangkalan militer Amerika di kawasan, Beijing mulai memperkuat dukungan atas Korea Utara sebagai rival militer Amerika dan ancaman bagi kepentingan Washington di kawasan.
Kedua, karena Amerika terus memperkuat Pakta Pertahanan Atlantik Utara, NATO dan memperluas cakupan geografisnya hingga ke dekat perbatasan Rusia dan Cina, maka Beijing dan Moskow berusaha menggunakan Korea Utara dalam perang proxy melawan Amerika. Pasalnya, Korea Utara memiliki posisi paling tepat untuk menyerang pangkalan-pangkalan militer Amerika di Korea Selatan, Jepang, bahkan kepulauan Guam.
Ketiga, kebijakan militer provokatif Amerika di kawasan Asia Timur yang sebenarnya menyasar Cina namun berkedok anti-Korea Utara, memaksa petinggi Pyongyang memperkuat kemampuan pencegahannya untuk menghadapi kebijakan-kebijakan agresif Amerika.
Hal itu, terutama setelah keruntuhan Uni Soviet, Moskow mengganti "Traktat Persahabatan, Kerja sama dan Bantuan Timbal balik" yang ditandatangani pemerintah Uni Soviet kala itu dengan Korea Utara, dengan "Traktat Pertemanan, Tetangga perbatasan yang baik dan kerja sama" pada tahun 2000.
Dmirty Kornev, editor situs Militaryrussia menuturkan, Korea Utara siap memberikan perlawanan gigih menghadapi segala bentuk serangan dari Amerika. Jika terjadi perang, pasukan Korea Utara mampu menerobos wilayah Korea Selatan.
Statemen George W. Bush, mantan Presiden Amerika menyebut Korea Utara sebagai salah satu dari tiga negara "Poros Kejahatan" selain Iran dan Irak, semakin mendesak petinggi Pyongyang untuk menjadikan sekutu-sekutu Amerika di kawasan sebagai target kebijakan keamanannya.
Leon Panetta, salah satu mantan politisi kawakan Amerika dalam wawancara dengan CBS News mengatakan, strategi Amerika terkait isu nuklir Korea Utara pada akhirnya dapat berujung dengan perang nuklir yang mengancam nyawa jutaan orang.
Akan tetapi Korea Utara bukannya tidak berminat untuk berdamai dan bekerjasama dengan Amerika, tapi pengkhianatan yang kerap dilakukan negara itu terkait sejumlah perjanjian, menyebabkan Pyongyang semakin bertekad memperkuat kemampuan pencegahan di bidang rudal dan nuklirnya.
Amerika dan Korea Utara pernah mencapai kesepakatan terkait nuklir Pyongyang dalam sebuah kerangka kerja yang mewajibkan negara itu mengganti pusat pembangkit listrik tenaga nuklirnya, dengan kompensasi bantuan makanan dan bahan bakar.
Kesepakatan yang ditandatangani tahun 1994 itu dianggap sebagai upaya paling serius Korea Utara dalam menyelesaikan krisis nuklirnya. Menyusul kegagalan perjanjian itu, Korea Utara menyatakan menarik diri dari Traktat Non-Proliferasi Nuklir, NPT pada tahun 2003 dan memulai kembali aktivitas nuklirnya.
Setelah itu di tahun 2006, 2009 dan 2013, Korea Utara melakukan serangkaian uji coba nuklir dan menunjukkan dirinya terus memperkuat kemampuan pencegahan dalam menghadapi kemungkinan serangan Amerika.
Kebijakan Amerika di kawasan berlandaskan pada upaya menciptakan gangguan keamanan, memberikan bantuan regional anti-Korea Utara, meningkatkan kerja sama militer dengan Korea Selatan dan Jepang, dan menggelar manuver-manuver militer gabungan terutama dengan Korea Selatan.
Viktor Ozerov, analis masalah keamanan Rusia mengatakan, Amerika saat ini sudah menempatkan pasukan dan peralatan perang dalam jumlah banyak di Asia Timur, sehingga kapanpun negara itu bisa melancarkan serangan mematikan ke Korea Utara.
Pilar kekuatan militer Amerika adalah Armada Ketujuh, Angkatan Darat dan Angkatan Udara yang ditempatkan di Jepang dan Korea Selatan. Jumlah mereka jika ditambah dengan pasukan maritim mencapai lebih dari 70.000 personil.
Di sisi lain perundingan segienam terkait krisis nuklir Korea Utara yang digagas Cina dan melibatkan Rusia, Korea Selatan, Jepang, Amerika, Korea Utara dan Cina sendiri, diharapkan dapat membantu menyelesaikan krisis ini lewat dialog dan partisipasi negara-negara berpengaruh.
Akan tetapi Amerika sebenarnya tidak ingin menyelesaikan krisis nuklir Korea Utara dan terus menghambat upaya penyelesaian krisis ini termasuk dengan menggagalkan perundingan segienam tersebut.
Sementara Rusia melalui pernyataan menteri luar negerinya meyakini bahwa Amerika tidak akan berani menyerang Korea Utara. Hal itu dikarenakan Washington tahu Korea Utara punya senjata atom dan mungkin saja itu digunakan untuk membalas serangan Amerika.
Sergei Lavrov mengatakan, saya tidak sedang membela Korea Utara, saya menyampaikan sebuah analisa yang hampir disetujui oleh semua pihak. Amerika, katanya, berani menyerang Irak karena negara itu tahu pasti bahwa Baghdad tidak memiliki senjata pemusnah massal.