Perkembangan Asia Timur di Tahun 2017
Transformasi di wilayah Asia Timur selama tahun 2017 banyak dipengaruhi oleh kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Baik menjelang pemilu presiden maupun setelah terpilih, Trump mengadopsi kebijakan agresif terhadap Cina dan Korea Utara. Tahun lalu, militer Amerika mengerahkan beberapa kapal induk, termasuk USS Carl Vinson di dekat perairan Korea Utara. Armada kapal perang Amerika sengaja dikirim ke kawasan untuk menciptakan ketakutan dan menggertak Pyongyang.
Cina dan Korea Utara mengutuk ambisi perang Amerika, namun Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe justru mengatakan, Tokyo menyambut baik komitmen kuat Washington terhadap perdamaian dan keamanan sekutu-sekutunya. Padahal, tindakan Amerika merupakan ancaman terhadap keamanan Asia Timur.
Dalam satu tahun terakhir, Trump memperlihatkan gelagat bahwa ia tidak memiliki strategi yang konkret untuk menghadapi apa yang disebut AS sebagai ancaman. Senator Chirs Murphy mengatakan strategi Presiden Donald Trump atas Korea Utara terburuk dalam sejarah Amerika. "Ini tidak mengejutkan, strategi negosiasi Presiden Trump terburuk dalam sejarah Amerika," kata Murphy, Senator dari Connecticut.
Menanggapi tekanan militer AS terhadap negara-negara Asia Timur termasuk Korea Utara, Pyongyang menembakkan beberapa rudal, termasuk sebuah rudal balistik ke arah Laut Jepang. Korea Utara menyatakan, program rudal dan nuklirnya bertujuan untuk mencegah ancaman AS. Negara itu menunjukkan bahwa pihaknya tak gentar terhadap gertakan Amerika dan akan memaksa Trump untuk mundur dari kebijakannya.
Jeffrey Lewis, Direktur Program Non-Proliferasi Senjata dari AS mengatakan, "Serangan terbatas oleh Amerika bahkan akan mendorong Korea Utara untuk percaya bahwa ada serangan lanjutan yang lebih besar, dan mereka mungkin memilih untuk menggunakan senjata nuklirnya."
Korea Utara mengumumkan bahwa pengembangan program senjata nuklirnya bertujuan untuk menanggapi ancaman nuklir Amerika. "Akses Korea Utara untuk senjata nuklir bukanlah sebuah ancaman, tetapi opsi bela diri di hadapan AS," kata pemerintah Pyongyang dalam sebuah pernyataan. Para pejabat Pyongyang menegaskan mereka akan terus memperkuat kemampuan nuklirnya untuk mencegah agresi dan perang.
Hubungan Amerika dengan Cina dan Korea Utara sepanjang tahun 2017 banyak dipengaruhi oleh penyebaran sistem pertahanan rudal Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) AS di Korea Selatan. Beijing menentang penempatan sistem tersebut di wilayah Korea Selatan, tapi Seoul percaya bahwa langkah ini bertujuan untuk menangkal ancaman rudal dan senjata nuklir Korea Utara.
Dalam merespon penyebaran sistem THAAD AS, Cina telah menerapkan serangkaian langkah untuk menghukum Korea Selatan. Pemerintah Cina mencegah masuknya sebagian produk dari Korea Selatan dan melarang penayangan program budaya negara itu di stasiun televisinya. Cina juga melarang warganya berwisata ke Korea Selatan sebagai hukuman atas penempatan THAAD.
Hampir separuh dari total wisatawan yang mengunjungi Korea Selatan selama setahun berasal dari Cina. Penghentian ini akan melipatgandakan tekanan terhadap ekonomi Korea Selatan dan sektor pariwisata mereka. Seluruh operator tur di Cina telah menangguhkan pemberangkatan wisatawan ke Korea Selatan sebagai protes atas penyebaran sistem THAAD.
Peter Spina, pengamat isu-isu Asia Timur dari Universitas Yonsei Korea Selatan menuturkan, "Cina memandang sistem rudal THAAD sebagai ancaman bagi keamanan nasionalnya dan Beijing tidak akan pernah berkompromi dengan sistem ini. Cina baru-baru ini juga terlibat perang verbal dengan Amerika terkait Laut Cina Selatan. Jadi, Korea Selatan perlu menganalisa dengan baik lingkungan sekitarnya dan tidak meningkatkan manuver."
Pada April 2017, Presiden Cina Xi Jinping mengunjungi AS untuk mengelola krisis dan mengendalikan kebijakan agresif Presiden Donald Trump. Pertemuan kedua pihak dilangsungkan di Mar-a-Lago, Florida. Banyak media dunia melihat hasil kunjungan tersebut menguntungkan pihak Beijing. Dalam kunjungan itu, Xi berhasil mengurangi kebijakan agresi AS terhadap Cina dan Korea Utara.
Media-media Barat juga melaporkan bahwa Trump memberi Cina waktu 100 hari untuk menghentikan program nuklir dan rudal Korea Utara. Namun, Beijing tidak mematuhi tuntutan Trump, dan memperingatkan Amerika agar tidak mengaitkan krisis Korea Utara dengan kebijakan regional Cina. Pemerintah Cina mengatakan, isu Korea Utara adalah sebuah isu bilateral antara negara itu dan AS, dan mereka harus menyelesaikannya secara bilateral.
Seorang pengamat politik, Eric Gomez mengatakan, Cina tidak memiliki banyak kemampuan untuk mempengaruhi para pemimpin Korea Utara, seperti yang dibayangkan Trump.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe bertemu Presiden AS Donald Trump di Washington pada Februari 2017. Ia adalah pejabat asing kedua yang bertemu dengan Trump setelah Perdana Menteri Inggris Theresa May. Dalam pertemuan tersebut, Abe mengatakan perluasan perdagangan bebas dan investasi akan menciptakan sebuah peluang besar bagi kedua pihak.
Sebelumnya, Trump mengancam akan memberlakukan bea masuk yang tinggi untuk barang-barang ekspor ke Amerika guna menyeimbangkan neraca perdagangan dengan Cina. Tentu saja, ancaman ini berimbas pada Jepang dan Korea Selatan, dimana Shinzo Abe berhasil mengeluarkan Jepang dari kebijakan agresif Trump dengan menjanjikan investasi yang besar di Amerika.
Setelah dijanjikan investasi oleh Jepang, Trump mulai melunak dan mengatakan bahwa Washington dan Tokyo akan mengejar hubungan perdagangan yang bebas, adil dan timbal balik, yang menguntungkan kedua negara. Di bagian lain, Trump menuturkan, "Sangat penting bagi Jepang dan AS untuk terus membangun pertahanan dan kemampuan pertahanan kita sehingga ia tidak akan bisa ditembus."
Tahun lalu, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe meraih kemenangan besar dalam pemilu dini parlemen. Partai Liberal Demokrat (LDP) pimpinan Abe sekarang menguasai 312 dari 465 kursi di Parlemen Jepang. Kemenangan besar ini telah memuluskan langkah Abe untuk mengamandemen konstitusi Jepang dan memiliki militer yang kuat.
Militerisme Jepang meskipun dirintis kembali oleh LDP dan pribadi Shinzo Abe, namun tidak ada keraguan bahwa keputusan ini melibatkan kerjasama dan koordinasi dengan AS. Pasca kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Washington memaksakan sebuah pakta keamanan, dimana AS akan menjamin keamanan Jepang dan melarang negara itu memiliki pasukan militer. Akan tetapi, AS sekarang merasa hegemoninya berada dalam bahaya di tengah kebangkitan kekuatan militer dan ekonomi Cina dan juga kemampuan rudal dan nuklir Korea Utara.
Militerisme Jepang yang dibangkitkan kembali oleh AS pada akhirnya akan dipakai untuk membendung Cina dan bahkan Rusia di kawasan. Dalam situasi seperti ini, AS menghembuskan kebijakan Cinaphobia dan Koreaphobia untuk membantu Jepang mencapai supremasi militer di kawasan.
Seorang analis kantor berita Xinhua mengatakan, "Amandemen Undang-Undang Dasar Jepang dan perluasan wewenang Shinzo Abe merupakan sebuah alarm peringatan kepada negara-negara tetangga Jepang dan bahkan negara itu sendiri. Oleh karena itu, militerisme Jepang tidak menguntungkan siapa pun."
Surat kabar People's Daily milik Komite Sentral Partai Komunis Cina mengkritik kinerja pemerintah Tokyo dan menulis, "Agenda militerisme pemerintah Jepang merupakan sebuah pukulan besar bagi perdamaian dan stabilitas di Asia. Padahal, isu-isu regional tidak boleh berdampak negatif pada hubungan negara-negara tetangga." Cina dan beberapa negara Asia percaya bahwa kebijakan pemerintahan Abe semakin mendekatkan Jepang dalam sebuah kontrontasi militer.