Menanti Pertemuan Trump dan Kim
Rencana pertemuan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dengan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un pada Mei 2018, telah menyita perhatian banyak kalangan dan media-media dunia, dan mereka berusaha mencari tahu alasan di balik rencana itu. Meski terlalu cepat untuk berbicara tentang agenda dan hasil dari pertemuan ini, namun masih ada ruang untuk mengkaji alasan di balik agenda besar ini, seperti yang dipaparkan oleh para pengamat politik dan lembaga-lembaga think-tank.
Para pejabat Korut sudah beberapa kali menyerukan pembicaraan dengan AS. Jadi, sinyal positif dari Gedung Putih untuk pertemuan dengan pemimpin Korut dapat dikaji dari beberapa sudut. Pertama, Trump selama satu tahun terakhir tidak memiliki prestasi apapun untuk ditawarkan kepada publik Amerika menjelang pemilu sela Kongres. Kedua, dia ingin mengalihkan perhatian publik Amerika dari skandal dengan bintang porno Hollywood.
Dan ketiga, Presiden Trump menyetujui pertemuan dengan Kim Jong-un, tanpa mempertimbangkan pandangan Departemen Luar Negeri AS, dan hanya berkonsultasi dengan tim keamanan Gedung Putih. Trump tampaknya ingin menjadi Person of the Year 2018 di AS dan tetap mempertahankan kesan sebagai sosok yang tidak bisa ditebak.
Mantan Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton mengatakan, "Pemerintah Trump tidak melihat bahaya apapun dalam perundingan dengan Pyongyang. Jika Anda ingin bernegosiasi dengan Kim Jong-un terkait senjata nuklir, Anda memerlukan para diplomat yang berpengalaman."
Di sini, ada beberapa alasan yang mendorong pemimpin Korut untuk bertemu dengan presiden AS. Pertama, kalangan tertentu percaya bahwa permintaan ini untuk memenuhi harapan pemerintah Pyongyang di sektor nuklir dan rudal, dan sekarang Kim mencoba berbicara dalam posisi yang setara dengan Trump. Karena, senjata nuklir dan rudal adalah satu-satunya kartu truf pemimpin Korut untuk mendapatkan konsesi dari AS.
Kedua, beberapa pihak berpendapat sanksi ekonomi AS yang terus meningkat telah mendorong pemimpin Korut untuk berjabat tangan dengan Trump. Mereka percaya bahwa sanksi AS yang menargetkan lalu lintas ekspor-impor Korut membuat negara itu mau berkompromi dengan Washington. Dan ketiga, beberapa pengamat menilai permintaan pemimpin Korut hanya sebagai upaya untuk mengulur waktu sambil menyempurnakan program nuklir dan rudalnya, pihak lain melihat hal itu sebagai cara untuk menghindari sanksi tambahan dari AS.
Seorang pengamat politik, Joseph DeTrani menuturkan, "Perubahan penting terlihat pada perilaku pemimpin Korut. Dia tampaknya sudah sadar akan kerugian sanksi internasional yang telah menjerat negara dan rakyatnya."
Tidak diragukan lagi bahwa ada beberapa faktor lain yang ikut mempengaruhi keputusan pemimpin AS dan Korut untuk bertatap muka, dan tentu saja peran penting yang dimainkan oleh Korea Selatan, Cina, dan Rusia. Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah Beijing mengingatkan AS agar tidak mengaitkan krisis Korut dengan kebijakan regional Cina. Pemerintah Cina mengatakan bahwa isu Korut adalah sebuah masalah bilateral antara negara itu dan AS, dan mereka harus menyelesaikannya secara bilateral.
Cina juga meminta AS untuk menyingkirkan mentalitas Perang Dingin dan memperingatkan negara itu tentang dampak-dampak dari krisis di Semenanjung Korea. Di sisi lain, pemerintah Cina mendesak Korut untuk menahan diri dan tidak melakukan provokasi demi menyelesaikan konfliknya dengan AS. Menurut Beijing, AS mencoba memanfaatkan krisis nuklir dan rudal Korut untuk menekan Cina. Oleh sebab itu, Cina selalu berusaha untuk memanajemen krisis di Semenanjung Korea.
Direktur Program Asia di Center Wilson, Abraham Denmark mengatakan, "Ini adalah pekerjaan yang sangat besar dan saya optimis tentang hal itu. Diplomasi dengan Korut selalu akan menjadi sesuatu yang baik. Terlepas dari semua tantangan di depan, keinginan tulus kita untuk berbicara dengan Korut sangat menjanjikan."
Korea Selatan juga ikut mendorong Korut untuk berunding dengan AS demi mengurangi krisis di kawasan. Korsel saat ini sedang menghadapi banyak masalah, terutama anjloknya pertumbuhan ekonomi, naiknya angka pengangguran, dan turunnya peringkat kredit. Presiden Korsel, Moon Jae-in selama pertemuan dengan delegasi Korut di sela-sela pelaksaan Olimpiade Musim Dingin, tampaknya berhasil meyakinkan para petinggi Pyongyang bahwa Trump adalah tipe kompromis dan Korut bisa memanfaatkan peluang ini untuk memperoleh konsesi.
Selain itu, Moon Jae-in – keturunan imigran asal Korut – bertekad untuk meredam ketegangan dengan Pyongyang sehingga dapat memulihkan kondisi ekonomi Korsel. Gubernur Bank Sentral Korsel, Lee Ju-yeol mengatakan, sebuah pertemuan yang sukses antara Presiden Donald Trump dan Kim Jong-un akan membantu menstabilkan pasar keuangan Korsel dan meningkatkan sentimen bagi konsumen dan investor.
Menurut Lee, sebuah pertemuan sukses antara Trump dan Kim akan mendatangkan sentimen positif untuk menaikkan peringkat kredit Korsel dan mengurangi risiko arus keluarnya modal. Pertemuan yang sukses juga bisa memperkuat won di pasar mata uang, meskipun Lee mengatakan terlalu dini untuk membahas dampak yang tepat terhadap perekonomian.
Peran Rusia – sebagai salah satu negara kunci dalam perundingan enam negara – tidak boleh diabaikan, karena Moskow termasuk salah satu pendukung Pyongyang dan ikut mendorong pemimpin Korut untuk berbicara dengan Trump.
Menjelang pemilu presiden di Rusia, negara itu tampaknya ingin membantu mewujudkan kondisi untuk perundingan antara Presiden Donald Trump dan pemimpin Korut Kim Jong-un, demi memulihkan posisinya di tengah publik Amerika, dan juga menyelenggarakan pemilu dengan baik.
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov mengatakan, Moskow menyambut baik pengumuman kemungkinan pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, karena (pertemuan ini) diperlukan untuk penyelesaian krisis nuklir di Semenanjung Korea. Menurut Lavrov, ini adalah sebuah langkah ke arah yang benar dan saya berharap ini akan dilaksanakan.
Menlu Rusia menekankan bahwa seharusnya tidak berakhir dengan sebuah pembicaraan saja, namun membuka jalan menuju dialog politik komprehensif yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah nuklir di Semenanjung Korea, berdasarkan prinsip-prinsip yang disetujui dalam perundingan enam negara dan di Dewan Keamanan PBB.
Namun, ada perbedaan serius jika pertemuan Trump dengan Kim dilakukan di AS, dan beberapa pihak memandang hal ini semacam usaha untuk merendahkan posisi presiden AS, dan pada saat yang sama akan memperkuat posisi Korut.
Sue Mi Terry dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington, mengatakan, "Para pejabat tinggi AS kemungkinan akan menasihati Trump untuk tidak melakukan perjalanan ke Pyongyang. Alasan utamanya adalah; jika pemimpin negara adidaya dunia mengunjungi Pyongyang, ini dapat secara internal dan eksternal memperkuat legitimasi dan kekuatan pemimpin Korut. Jadi, pertemuan di Korsel atau negara ketiga yang netral seperti, Swiss, Swedia, atau Singapura mungkin merupakan kompromi yang masuk akal."