Krisis Venezuela dan Masa Depan yang Menanti
(last modified Wed, 13 Mar 2019 18:06:50 GMT )
Mar 14, 2019 01:06 Asia/Jakarta
  • Krisis Venezuela
    Krisis Venezuela

Krisis politik di Venezuela telah menyebar luas. Krisis yang di satu sisinya adalah oposisi dalam negeri yang didukung oleh Washington dalam upaya untuk menjatuhkan Nicolas Maduro, Presiden Venezuela yang berhaluan kiri, dan di sisi lain, Maduro dan pendukung sipil dan militer kebijakan politiknya.

Venezuela adalah negara yang kaya dan berpengaruh dalam geografi politik Amerika Latin. Hal itu membuat Venezuela selalu menjadi perhatian Amerika Serikat dan sekutunya, dan telah didominasi oleh kebijakan Washington selama beberapa dekade. Dengan berkuasanya Hugo Chavez Presiden Venezuela yang beraliran kiri pada tahun 1999 dan dimulainya gerakan Bolivarian, kepentingan dan pengaruh Amerika Serikat di negara Amerika Latin yang kaya minyak mendapat tantangan serius. Dengan munculnya Chauvinisme di negara ini dan perjuangan anti-imperialisnya, pengaruh Amerika Serikat terputus, tetapi para pejabat Amerika Serikat selalu berusaha untuk menghidupkan kembali hubungan masa lalu dan kembali ke negara itu.

Dalam beberapa tahun terakhir, dengan meningkatnya masalah ekonomi dan perubahan politik di Venezuela, Washington telah berusaha untuk menghidupkan kembali pengaruhnya terhadap negara Amerika Latin yang kuat ini. Oleh karena itu dukungan oposisi domestik Maduro, infiltrasi organisasi dan institusi regional Amerika Latin untuk membawa negara-negara kawasan melawan Caracas, ibukota Venezuela untuk memperburuk krisis dan masalah domestik dan perbedaan politik, dan juga menggunakan instrumen tekanan seperti sanksi, termasuk kebijakan Washington untuk menggulingkan pemerintah Maduro dan mengembalikan kembali pengaruh dan dominasinya atas negara itu. John Bulton, Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat, merujuk pada apa yang disebut "Doktrin Monroe", secara eksplisit  menyebut Amerika Latin sebagai ruang pengaruh khusus Washington. Dia mengatakan bahwa Amerika Serikat memiliki hak untuk mencapai tujuan-tujuan Doktrin Monroe dengan mencapuri urusan dalam negeri negara-negara di Amerika Latin.

Nicolas Maduro, Presiden Venezuela

Untuk pertama kalinya pada abad kesembilan belas, Doktrin Monroe dirancang oleh James Monroe, Presiden Amerika Serikat waktu itu untuk menangkal diseretnya konflik kekuatan-kekuatan kolonial Eropa ke benua Amerika, tetapi doktrin ini, dalam beberapa dekade terakhir, memberi para pejabat Amerika wewenang untuk campur tangan dalam urusan tetangganya dan menaikkan para penguasa di negara-negara ini yang sesuai dengan kebijakan Amerika Serikat. Dalam keadaan seperti ini, krisis ekonomi Venezuela membuka jalan bagi Washington untuk secara terbuka dan diam-diam melakukan intervensi di negara itu.

Awal krisis ekonomi di Venezuela kembali pada beberapa tahun lalu dan ketergantungannya pada pendapatan minyak. Selama beberapa tahun terakhir, naik turunnya harga minyak di pasar energi global, terutama penurunan tajam harga minyak, telah mengurangi pendapatan Caracas dan, akibatnya, proyeksi dan target ekonomi Venezuela tidak tercapai. Begitu juga, ketika dana yang dibutuhkan tidak tersedia, negara ini terpaksa mengurangi beberapa layanan sosial. Selain pendapatan minyak berkurang, kebijakan ekonomi yang tidak efisien dan korupsi di beberapa sektor telah menyebabkan lebih banyak masalah ekonomi di Venezuela, termasuk meningkatnya pengangguran, kemiskinan, kenaikan inflasi dan harga tinggi. Meningkatnya masalah ekonomi memicu ketidakpuasan sosial di negara itu dan ini menjadi alasan bagi oposisi pemerintah Maduro untuk melancarkan gelombang protes di Venezuela, menyalahkan dia dan kebijakan pemerintah sayap kirinya. Dengan cara ini, mereka menindaklanjuti tuntutan politiknya dan meminta pengunduran diri Maduro dari kekuasaan. Dari sini, krisis ekonomi di negara ini berubah menjadi krisis politik yang komprehensif.

Meskipun lawan-lawan Maduro menempatkan masalah ekonomi sebagai sumber bagi upaya penggulingan Maduro, tapi langkah-langkah yang diambil Maduro, seperti pembentukan Dewan Konstitusi, Amandemen Konstitusi dan penyelenggaraan pemilu agak memperbaiki kondisi politik negara itu. Beberapa pemilihan umum, termasuk pemilihan wali kota dan pilihan luas rakyat kepada wakil-wakil Partai Sosialis menyebabkan kubu oposisi yang didukung oleh AS dan sekutunya mengubah kebijakannya dari protes ekonomi, politik dan sosial menjadi aksi terbuka militer dan keamanan melawan Maduro.

Pemilihan presiden di Venezuela diadakan pada 20 Mei 2018 dengan sejumlah kandidat presiden. Menurut Komisi Pemilihan Nasional Venezuela, Nicolas Maduro memenangkan 68 persen suara dalam pemilihan dan tetap berkuasa untuk untuk enam tahun berikutnya.

Akan tetapi, dimulainya masa jabatan kedua Maduro adalah titik awal kubu oposisi untuk memperburuk tekanan. Terlepas dari semua tekanan internal dan eksternal ini, pengambilan sumpah jabatan presiden Venezuela yang baru diadakan pada 10 Januari 2019. Nicolas Maduro di acara itu memperingatkan bahwa Venezuela telah menjadi titik fokus bagi kekuatan imperialis Amerika Utara. Tak lama setelah sumpah jabatan Maduro, Amerika Serikat mengumumkan tidak mengakui Maduro sebagai presiden Venezuela yang sah. Pengumuman sikap para pejabat Washington itu telah membuat beberapa negara Amerika Latin dan sekutu AS di dunia juga menolak Maduro dan menolaknya sebagai presiden Venezuela. Negara-negara ini dalam kerangka kebijakan intervensi dalam urusan internal negara lain kemudian menuntut diadakannya pemilu dini dan pengunduran diri Maduro.

23 Januari adalah titik balik lain dalam peningkatan krisis di Venezuela. Pemimpin oposisi, Juan Guaido dalam sebuah aksi demo yang dihadiri para pendukungnya mempertanyakan legitimasi Maduro dan menyebut dirinya Presiden Sementara Venezuela. Tindakan Guaido langsung disambut oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Washington mengumumkan Guaido sebagai Presiden Venezuela. Washington juga meminta negara-negara lain di dunia untuk mengakuinya sebagai presiden Venezuela. "Semua negara harus mengakui Guaido yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai presiden," kata Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS dalam pernyataan kontroversial dan intervensi.

Nicolas Maduro dan Juan Guaido

Tindakan Washington dihadapkan pada berbagai reaksi analis dan pejabat negara.

"Keputusan Amerika untuk mengakui Guaido sebagai presiden yang sah adalah langkah yang tidak biasa dan beberapa pengacara internasional percaya itu berpotensi berbahaya," kata David Bosco, asisten dosen di Fakultas Studi Dunia di Universitas Indiana.

Namun demikian, Uni Eropa yang mengikuti langkah Washington, pada awalnya meminta Venezuela untuk memutuskan penyelenggaraan pemilu presiden baru dalam waktu delapan hari. Beberapa negara, termasuk Rusia, Cina, Iran dan Turki, telah menekankan legitimasi pemilihan presiden bulan Mei dan terpilihnya Presiden Maduro kemudian menilai langkah Guaido dan segala bentuk dukungan asing sebagai ilegal.

Hua Chunying, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina menyinggung bahwa urusan dalam negeri Venezuela harus diserahkan kepada pemilihan dan keputusan rakyat negara itu. Ia mengatakan, "Semua negara perlu mengakui Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya prinsip dan tujuannya, khususnya prinsip dan tujuannya mengenai larangan campur tangan dalam urusan internal negara lain."

Venezuela sangat penting bagi Washington. Para pejabat Washington tidak dapat menghentikan kebijakan pemerintah sayap kiri yang didasarkan pada anti kolonialisme dan  imperialisme Amerika. Selain itu, pengaruh Venezuela terhadap negara-negara kawasan dan sumber daya minyaknya serta kekayaannya di negara itu tidak mungkin dikesampingkan bagi para pejabat AS.

Maduro menulis dalam salah satu twittnya, "Washington dan kubu oposisi yang didukung AS mencari kontrol atas sumber daya alam Venezuela. Mereka ingin membuat perang minyak untuk menguasai kita, tetapi mereka akan gagal."

Saat ini, di samping banyak pejabat Venezuela berada dalam daftar hitam Washington dan kesepakatan apa pun dengan mereka dilarang, sektor minyak dan uang serta perbankan Venezuela juga menjadi sasaran sanksi Washington. Ini telah memperburuk akses Caracas ke sumber daya keuangan dan masalah ekonomi Venezuela semakin bertambah. Di sisi lain, para pejabat Washington telah berulang kali berbicara tentang ancaman militer, sesuatu yang telah dihadapkan dengan penentangan luas global, bahkan sekutu Washington.

Sekaitan dengan hal ini, Federica Mogherini, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa mengatakan, "Uni Eropa menentang segala bentuk tindakan militer terhadap Venezuela baik oleh pihak eksternal atau dalam konteks perkembangan domestik."

Federica Mogherini, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa

Terlepas dari semua ancaman Amerika Serikat dan penggunaan berbagai senjata, Maduro terus bergantung pada dukungan sebagian besar warga negaranya serta tentara Venezuela. Sementara Guaido telah berulang kali meminta dukungan dari militer untuk menggulingkan Maduro. Tentara Venezuela telah menyatakan bahwa mereka akan tetap loyal kepada konstitusi dan Maduro sebagai presiden sah negara itu, yang terpilih lewat pemilihan presiden dan pemungutan suara.

Vladimir Padrino Lopez, Menteri Pertahanan Venezuela mengatakan, "Para perwira dan prajurit Venezuela taat dan berkomitmen untuk Maduro dan pemerintahnya serta akan tetap pada pendiriannya sampai mati."

Pengiriman bantuan kemanusiaan, skenario lain Amerika Serikat untuk mendukung Guaido dan melakukan intervensi di Venezuela ternyata berujung kegagalan. Menanggapi kegagalan yang disebut skenario bantuan kemanusiaan, kali ini sikap pemerintah Venezuela yang tidak mengizinkan masuknya kargo-kargo bantuan ini, dijadikan alasan Washington untuk menabuh genderang perang.

Delcy Rodriguez, Wakil Presiden Venezuela menekankan, "Venezuela tidak membutuhkan bantuan asing meskipun ada masalah sosial dan ekonomi. Bantuan kemanusiaan adalah kebohongan besar Amerika Serikat, karena masalah sosial Venezuela adalah hasil dari blokade ekonomi Amerika."

Dalam hal ini, tentara Venezuela mencegah kedatangan pengiriman kargo-kargo bantuan ini ke Venezuela dengan menempatkan pasukannya di perbatasan-perbatasan, khususnya perbatasan Kolombia.

Dalam langkah lain selama beberapa minggu terakhir, Washington mencoba mengusulkan draf resolusi Dewan Keamanan PBB, selain meminta dukungan global untuk pemimpin oposisi dan presiden Venezuela dukungan AS, Juan Guaido tujuan utamanya menuntut penyelenggaraan pemilu presiden dini di negara ini. Tetapi draf itu mendapat veto Rusia dan Cina dan menjadi kegagala lain bagi pemerintah Trump di kancah internasional.

Vassily Nebenzia, Wakil Tetap Rusia di PBB menekankan bahwa Washington sedang mencoba untuk memperburuk ketegangan di Venezuela dan menerapkan skenario perubahan rezim kali ini di Caracas.

Amerika Serikat bahkan telah memulai tindakan subversif terhadap pemerintah yang sah di Venezuela, bahkan melakukan aksi-aksi perusakan di dalam negara ini, sebagaimana aksi sabotase di pembangkit listrik tenaga air terbesar di negara ini yang menyebabkan pemadaman besar-besaran di Caracas, ibukota Venezuela dan 15 provinsi lain di negara itu. Pemadaman listrik di berbagai bagian Venezuela telah memicu kekhawatiran dan ketegangan di negara itu. Meskipun oposisi telah berusaha untuk menghubungkan masalah ini dengan pemerintah, karena administrasi yang buruk dan kurangnya investasi dalam masalah infrastruktur, termasuk pembangkit listrik, dengan demikian dapat memperburuk krisis dan ketidakpuasan warga, tapi pihak berwenang Venezuela mengumumkan penyebab pemadaman itu adalah serangan siber.

Menteri Komunikasi Venezuela Jorge Rodriguez mengumumkan, pemadaman listrik di negara itu adalah hasil dari serangan siber. Dalam serangan siber ini, sistem kontrol listrik untuk pembangkit listrik menjadi target serangan dan aktivitas pembangkit listrik ini terputus sementara.

Menteri Komunikasi Venezuela Jorge Rodriguez

Ketegangan politik di Venezuela terus berlanjut dan Amerika Serikat beserta sekutunya bersikeras pada opsi penggulingan Maduro. Sementara itu Maduro tetap mendapat dukungan rakyat dan tentara Venezuela. Maduro mengatakan dalam pidatonya pada peringatan enam tahun wafatnya mendiang Presiden Venezuela Hugo Chavez, "Kita menghadapi imperialisme terkuat selama 200 tahun terakhir. Negara dan bangsa kita menghadapi agresi ekonomi, politik dan diplomatik serta sabotase dan upaya untuk mengganggu kehidupan normal di negara ini, tetapi pada akhirnya kita akan mengatasi "minoritas gila" yang bertekad untuk mengguncang Venezuela.

Terlepas dari apa masalah internal Venezuela dan bagaimana kinerja pemerintah Maduro, terutama di sektor ekonomi, Venezuela sekarang tampaknya menghadapi masa depan yang ambigu dan penuh ketegangan dan telah memasuki arena lain dalam "pertempuran" antara tuntutan kemandirian bangsa-bangsa Amerika Latin dengan imperialisme Barat-Amerika di kawasan ini.