Kemiskinan dan Pengangguran, Kendala baru Jepang
Perdana menteri Jepang saat jumpa pers di Tokyo berkomitmen untuk menyelesaikan kesulitan rakyat. Yoshihide Suga sebelumnya di hari pertama tugasnya juga berjanji untuk memenuhi tuntutan dan harapan rakyat Jepang dan menghidupkan kembali perekonomian nasional serta mengontrol penyebaran wabah Corona.
Kini muncul pertanyaan, apa sebenarnya kesulitan yang tengah dihadapi kekuatan ketiga ekonomi dunia ini sehingga perdana menteri baru ini dua kali menekankan untuk menyelesaikan kendala ekonomi negaranya?
Penekankan berulang Suga untuk menyelesaikan kendala ekonomi Jepang dirilis di saat Tokyo sebagai kekuatan ketiga ekonomi besar dunia menghadapi isu kemiskinan dan lonjakan angka pengangguran di antara warganya.
Berdasarkan data terbaru Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), angka kemiskinan di Jepang sebesar 15,7 persen. Berdasarkan indeks ini, kemiskinan di keluarga ditetapkan ketika pendapatan mereka separuh dari rata-rata pendapatan total penduduk sebuah negara. Sejatinya data yang dirilis tahun lalu terkait angka kemiskinan dan pengangguran di Jepang telah membuat takjub opini publik.
Data ini menunjukkan bahwa dari setiap enam warga Jepang, satu orang hidup di bawah garis kemiskinan. Yakni pendapatan mereka di bawah rata-rata setiap keluarga, namun pertanyaannya adalah siapa di antara masyarakat Jepang yang menghadapi kemiskinan dan kesulitan ekonomi?
Mayoritas warga Jepang yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah keluarga tanpa kepala keluarga, manula dan mereka yang kehilangan pekerjaan akibat krisis ekonomi. Namun demikian banyak kaum buruh yang tidak memiliki keamanan pekerjaannya dan dengan demikian mereka juga terancam masuk ke kelompok miskin di negara ini.
Pekerjaan paruh waktu dan kontrak jarak pendek kian marak di Jepang dan separuhnya adalah pekerja di bawah usia 39 tahun. Dengan demikian ada jurang perbedaan pekerjaan di antara pekerja yang direkrut di dekade 90-an dan pekerja setelahnya.
Sejumlah lainnya juga kehilangan dukungan keluarga ketika mereka bergantung pada jaringan keamanan sosial dan dengan demikian mereka juga jatuh ke kelompok miskin. Ini artinya sistem keluarga dan urgensitas kehidupan bersama di Jepang mulai pudar dan pemerintah tidak melakukan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya fenomena ini.
Di samping itu, peningkatan pajak selama 20 tahun lalu di Jepang juga berperan besar dalam merebut simpanan keluarga dan jatuhnya anak-anak ke garis kemiskinan. Pemerintah Jepang sebagai imbalan dari pajak tinggi yang diterima dari masyarakat, hanya menyediakan fasilitas sedikit bagi mereka. Metode ini marak di negara-negara maju.
Tentu saja, meskipun pemerintah Jepang berusaha meyakinkan orang-orang bahwa tidak ada yang mengemis di Jepang dan tingkat kejahatan di masyarakat Jepang rendah, statistik lembaga penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan tersembunyi sedang meningkat di negara itu. Sampai-sampai sebagian orang awam di Jepang sudah mengurangi satu kali makan sehari untuk menyesuaikan dengan pengeluaran lainnya.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka bunuh diri di Jepang telah meningkat tajam sejak tahun 1990-an menjadi lebih dari 25 kasus per 100.000 orang. Rata-rata global adalah 16 per 100.000 orang.
Seiring dengan kemiskinan, masalah pengangguran menjadi salah satu permasalahan pemerintah Jepang. Di bulan Maret, tingkat pengangguran Jepang mencapai level tertinggi satu tahun di 2,5 persen. Meningkatnya pengangguran di Jepang disebabkan oleh penurunan tajam permintaan dan keluarnya sejumlah besar lansia dari sektor layanan sosial.
Selain itu, menurut statistik pemerintah, sekitar 13 persen angkatan kerja berusia di atas 65 tahun. 9 persen dari mereka telah kembali bekerja setelah tahun 2012 dengan kebijakan "Abe Nomik". Lebih dari tiga perempat pekerja yang lebih tua adalah pekerja informal, paruh waktu dan kontrak. Mereka kehilangan pekerjaan pertama kali ketika ada tekanan ekonomi pada perusahaan.
Faktanya, Jepang berada dalam resesi pasca perang terburuk akhir-akhir ini. "Sangat sulit bagi para lansia untuk menemukan dan memulai kembali," kata Taro Saito, direktur eksekutif NLI Research Institute. Pengangguran di Jepang tidak setinggi atau setajam di Amerika Serikat. Kenaikan 1 persen pengangguran di Jepang sangat besar dan memiliki dampak negatif yang luas.
Yang pasti, tren ini terus berlanjut di Jepang, selain jutaan orang miskin di negara ini, jutaan orang lainnya berjuang untuk memenuhi kebutuhan dan dengan sedikit masalah karena kurangnya pekerjaan dan jaminan sosial, bayangan kemiskinan yang tersembunyi akan membayangi mereka.
Ekonom Oxford Shegito Nagai telah memperingatkan bahwa kelas menengah Jepang perlahan-lahan menghilang seiring dengan meningkatnya kemiskinan. "Setelah meledaknya gelembung investasi Asia di dekade 1990-an, pendapadan di berbagai kelas masyarakat mulai menurun dan jumlah warga berpendapatan rendah meningkat. Sementara saham warga kelas menengah dan kaya juga menurun,” paparnya.
Pemaparan gambaran kemiskinan di masyarakat Jepang terjadi ketika negara ini sebelum pandemi Corona juga ekonominya mengalami gangguan, untuk triwulan kedua tahun 2020 laju PDB negara ini mencapai minus 28,1 persen di mana berdasarkan data ekonomi Jepang, sejak tahun 1980 hingga kini Tokyo mengalami penurunan laju ekonomi terparah.
Sementara itu, Bank Sentral Jepang juga mengumumkan ekonomi negar aini di tahun finansial Maret 2021 semakin mengecil sekitar 4,7 persen. Dengan demikian ekonomi Jepang untuk pertama kalinya sejak tahun 2015 secara praktis memasuki resesi dan kedalamannya sejak tahun 2011 hingga kini belum pernah terjadi.
Selain itu, hasil survei juga menunjukkan bahwa perekonomian Jepang pada tahun fiskal yang berakhir Maret 2021 akan menyusut lebih cepat dari pada dekade terakhir. Menurut jajak pendapat Reuters, dua pertiga ekonom yang disurvei memperkirakan bahwa Jepang akan menyiapkan paket stimulus berikutnya tahun ini untuk mengatasi masalah perusahaan dan rumah tangga.
Jepang sampai saat ini telah menggulirkan dua paket stimulus ekonomi senilai lebih dari 2,2 triliun dolar.
Namun yang jelas, perekonomian Jepang baru pertama kali memasuki resesi dalam empat tahun pada kuartal pertama tahun ini. Ini adalah resesi terdalam di Jepang sejak Perang Dunia II karena krisis virus Corona telah mempengaruhi bisnis dan konsumen.
Data PDB Jepang untuk kuartal pertama tahun ini menunjukkan dampak meluasnya epidemi virus Corona. Ekspor telah turun paling tajam sejak gempa besar pada Maret 2011 karena penutupan global merusak rantai pasokan dan mengganggu pengiriman barang Jepang.
Ekspor ke China mulai menurun pada Februari, setelah itu pengiriman barang Jepang ke Eropa dan Amerika Serikat menurun," kata Takashi Minami, ekonom senior di Jepang.
Gambaran seperti itu tentang ekonomi terbesar ketiga dunia muncul pada saat beberapa ahli dan analis melihat prospek ekonomi Jepang suram untuk beberapa waktu. Atsushi Takeda, kepala ekonom di Itochu Research Institute, yakin akan butuh waktu lama bagi Jepang untuk kembali ke masa jayanya: "Dengan penyebaran virus ini, mereka akan menjadi lunak."
Secara keseluruhan, para analis memperkirakan bahwa ekonomi Jepang akan menyusut 22 persen tahun-ke-tahun di kuartal kedua tahun ini, sebuah rekor. Selain itu, tingkat pengangguran Jepang mencapai level tertinggi tahunan di bulan Maret, dan para ekonom memperkirakan akan dibutuhkan setidaknya dua tahun untuk pulih dari krisis.
Gambaran masa depan ekonomi terbesar ketiga di dunia tersebut muncul di saat mantan Perdana Menteri Jepang Abe sempat memperingatkan sebelum mengundurkan diri bahwa pemerintah tidak bisa begitu saja menyelamatkan perekonomian negara dari kondisi yang diciptakan oleh Corona. Namun terlepas dari usahanya untuk menyelamatkan perekonomian Jepang, Abe gagal mengambil langkah efektif untuk menyelesaikan permasalahan negaranya, dan akhirnya, setelah sekitar 8 tahun berkuasa atas Jepang, kelanjutan permasalahan ekonomi Jepang akhirnya menyebabkan pengunduran dirinya.
Yang pasti sekarang, dengan pengunduran diri Abe dan naiknya Perdana Menteri baru Jepang, Suga telah menekankan setidaknya dua kali dalam periode singkat pemerintahannya bahwa menyelesaikan masalah ekonomi bersama dengan menghadapi Corona adalah prioritas rencananya? Pertanyaannya adalah, sejauh mana Suga dapat mengatasi banyak tantangan ekonomi yang dihadapinya?
Namun, yang jelas, terlepas dari upaya Abe untuk mengatasi masalah dan tantangan ekonomi Jepang, perekonomian negara tersebut sudah berada dalam kesulitan dengan merebaknya penyakit Corona. Ekonomi terbesar ketiga di dunia itu saat ini berada dalam situasi yang sulit karena masalah terkait penyakit Corona dan penurunan ekspor, sementara Jepang telah kehilangan sumber pendapatan utama karena tidak diselenggarakannya Olimpiade 2020.
Di sisi lain, persaingan dan perselisihan ekonomi antara Amerika Serikat dan China terus berlanjut, dan konsekuensi global dari hal ini terus berlanjut. Kombinasi kondisi tersebut, menurut beberapa peneliti, akan membatasi kelanjutan tren saat ini di lapangan bagi pembuat kebijakan Jepang. Dengan kata lain, Perdana Menteri Jepang yang baru mewarisi tantangan makroekonomi. Menurut para ahli, jika Suga gagal menyelesaikan masalah ekonomi Jepang, ekonomi Jepang yang rapuh akan semakin terancam punah, dan ini menjadi alarm bagi partai yang berkuasa, yang berniat untuk terus mengandalkan kekuatan Jepang.
Dengan kata lain, dalam beberapa bulan terakhir, karena kesulitan ekonomi Jepang dan kebijakan Abe yang gagal selama wabah Corona, popularitas mantan Perdana Menteri Jepang Abe telah turun ke level terendah dalam delapan tahun, dan beberapa ahli mengaitkan pengunduran diri Abe dengan masalah ekonomi dan penurunan popularitasnya. Itulah mengapa penerus Abe memiliki waktu hingga September tahun depan untuk membangun kembali partai yang berkuasa, dan jika ia gagal mengatasi masalah Jepang saat ini, bukan tidak masuk akal untuk mengharapkan bahwa Suga akan menghadapi nasib serupa dengan Abe.