May 09, 2024 20:59 Asia/Jakarta
  • Belajar Sistem Kecerdasan Buatan dari Ibnu Sina

Ilmuwan terkemuka Iran, Ibnu Sina, hidup di Abad ke-10 Masehi, jauh sebelum ditemukannya mesin cetak apalagi Kecerdasan Buatan, AI. Walaupun demikian ia memikirkan banyak pertanyaan-pertanyaan yang dipikirkan para pakar etika hari ini.

Pertanyaannya adalah apa yang menyebabkan seseorang dapat disebut sebagai manusia, dan bukan binatang?
 
Dalam beberapa tahun terakhir banyak filsuf yang berargumen bahwa apa yang membuat kita menjadi manusia adalah kapasitas kita untuk memperoleh pengalaman secara sadar. Tapi bagaimana kita mendefinisikan kesadaran?
 
Objek-objek eksternal apa yang dapat kita gunakan untuk menentukan apakah sebuah eksistensi memiliki kesadaran atau tidak. 
 
Tidak adanya kesepakatan atas jawaban dari pertanyaan ini menjadi salah satu alasan mengapa pembahasan apakah Kecerdasarn Buatan memiliki identitas atau tidak, sekian lama belum juga menemukan hasilnya.
 
Sebagaimana para peneliti Kecerdasarn Buatan kontemporer tertarik membandingkan proses yang melandasi respons manusia dan Kecerdasan Buatan terhadap perintah yang sama, Ibnu Sina, juga tertarik membandingkan proses internal manusia dan binatang yang menciptakan perilaku yang sama.
 
Menurut Ibnu Sina, salah satu kemampuan kunci yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah pemahaman atas hal-hal yang bersifat universal. Oleh karena itu manusia dapat berargumen menggunakan kaidah-kaidah universal. Sementara binatang hanya mampu memikirkan hal-hal yang parsial (sesuatu yang khusus dan tepat berada di hadapan mereka).
 
Ibnu Sina dalam bukunya Al Nafs, mengemukakan contoh yang terkenal di zaman kuno yaitu tentang kambing yang berbicara dengan serigala. Menurut Ibnu Sina, ketika manusia menggunakan prinsip universal bahwa serigala secara umum berbahaya, dan binatang khusus di hadapannya adalah serigala, maka ia harus lari. Tapi binatang berpikir dengan cara yang berbeda.
 
Binatang tidak berpikir dengan kaidah universal, mereka hanya melihat serigala, dan tahu harus lari. Alih-alih menggunakan argumen terkait karakteristik universal serigala, mereka hanya sebatas memikirkan hal parsial.
 
Perbedaan yang diyakini Ibnu Sina, soal psikologi manusia dan binatang, sangat mirip dengan perbedaan yang diyakini oleh para ilmuwan kontemporer terkait dengan Kecerdasan Buatan, yang sedang mereka kaji. Para peneliti kontemporer menunjukkan bahwa jaringan saraf buatan tidak memiliki kemampuan "generalisasi sistematik". 
 
Di saat manusia memahami sesuatu yang abstrak dari rangkaian kata-kata yang kemudian dapat disusunnya menjadi bentuk ide-ide yang lebih kompleks, AI, mencari kumpulan data-data statistik untuk memasukkan data-data spesifik yang sesuai dengan tugas khusus. Perbedaan kognisi manusia dengan kognisi buatan, benar-benar sesuai dengan penjelasan Ibnu Sina, terkait keunikan penalaran manusia.
 
Di dalam bukunya Al Syifa, Ibnu Sina, menjelaskan bagaimana makhluk berakal mempelajari segala sesuatu yang memiliki kesamaan, dan tidak memiliki kesamaan. Oleh karena itu, mereka mampu memahami substansi segala sesuatu yang memiliki kesamaan dalam berbagai bentuk.
 
Menurut Ibnu Sina, salah satu karakteristik yang membedakan manusia dengan yang lainnya adalah kemampuan memahami segala sesuatu yang universal. Manusia memisahkan karakteristik mendasar sesuatu dari karakteristik yang tidak terlalu penting sehingga mencapai pemahaman general. Kemudian dengan bantuan pemahaman ini kita berargumen, dan menerapkannya di berbagai masalah.
 
Salah satu perbedaan asasi antara kambing dan jaringan saraf buatan adalah, jaringan saraf buatan mempunyai akses ke sumber hal-hal parsial yang jauh lebih besar dalam bentuk kumpulan data komprehensif.
 
Kriteria utama Ibnu Sina, terkait penalaran universal memiliki banyak kesamaan dengan generalisasi sistematik. Kriteria ini kemungkinan dapat digunakan untuk menguji apakah sebuah sebuah eksistensi memiliki identitas atau tidak. Sampai sekarang AI, selalu gagal dalam uji coba ini. (HS)