Sham-e Ghariban di Mashhad
Kompleks makam Imam Ali bin Musa as, cicit Rasulullah Saw di kota Mashhad, timur laut Republik Islam Iran penuh dengan para pecinta Ahlul Bait as yang mengikuti acara "Sham-e Ghariban" (malam orang-orang yang terasing).
Ribuan peziarah dari berbagai kota di Republik Islam Iran, memenuhi kompleks tersebut pada Minggu malam, 30 Agustus 2020 atau 10 Muharam 1442 H.
Mereka datang untuk berziarah, berdoa dan berpartisipasi dalam acara Sham-e Ghariban memperingati malam pertama kesyahidan Imam Husein as, keluarga dan para sahabat beliau di Karbala.
Sham-e-Ghariban merupakan sebuah acara yang ditandai pada malam kesebelas Muharram setelah hari Asyura dan malam-malam berikutnya untuk mengenang kesyahidan Cucu Tercinta Rasulullah SAW.
Pada tahun ini, masyarakat Iran mengadakan acara duka Muharam lebih banyak di tempat-tempat terbuka dengan tetap mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus Corona, COVID-19.
Imam Hussein as adalah simbol perlawanan terhadap penindasan. Pilihan yang dibuat oleh Imam Hussein dan sekelompok kecil anggota keluarga serta sahabatnya, telah menjadi sumber inspirasi bukan hanya bagi Muslim tetapi untuk seluruh umat manusia, sepanjang sejarah.
Asyura adalah puncak dari 10 hari masa berkabung tahunan di bulan Muharram untuk kesyahidan Imam Hussein as bersama 72 anggota keluarga dan sahabatnya pada tahun 680 M (61 H) di Karbala setelah mereka menolak untuk bersumpah setia kepada penguasa lalim, Yazid.
Kebangkitan Imam Hussein melawan pemerintahan tiran Yazid bertujuan untuk menjaga kelangsungan agama Islam yang terkena erosi kerusakan di berbagai sendi kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, motivasi perjuangan Imam Husein demi menjaga kesucian Islam dari berbagai penyimpangan yang dilakukan penguasa lalim di masanya. Imam Husein bangkit melawan Yazid bin Muawiyah bukan karena menghendaki kekuasaan, tapi karena ketulusannya membela ajaran agama Islam dan mengembalikan umat Islam dari berbagai penyimpangan.
Imam Hussein dalam salah satu munajatnya berkata,"Ya ilahi, Engkau tahu tujuan kebangkitanku bukan bersaing untuk meraih kekuatan politik atau merebut kekayaan dan kemegahan dunia. Tetapi motif utama kebangkitanku demi menghidupkan kembali ajaran-Mu, mengibarkan tanda-tanda keagungan agama-Mu dan memperbaiki urusan di muka bumi. Kami akan membela hak-hak mereka yang dilanggar dan mengembalikannya kepada mereka. Kami akan mengikuti aturan yang telah Engkau wajibkan kepada para hamba-Mu untuk mengikutinya..."
Imam Husein dalam munajatnya ini dan berbagai perkataannya yang lain memiliki motif ketuhanan yang terlihat jelas di berbagai bidang, termasuk dalam gerakan perlawanannya menghadapi rezim lalim Yazin bin Muawiyah. Salah satu rahasia lain dari keabadian Asyura, karena setiap tindakan Imam Husein yang diikuti para pengikut setianya di Padang Karbala mengambil warna ilahiah, sehingga terbentuk totalitas dalam gerakannya demi memperjuangkan nilai-nilai Islami, sebagaimana dalam surat Ar Rahman ayat 26 dan 27 yang menegaskan, "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan".
Para wali Allah SWT dan ulama yang meneruskan jejak para Nabi berperan besar dalam menjaga obor petunjuk kebenaran petunjuk supaya tetap menyala untuk menerangi umat. Demikian juga yang dilakukan Imam Hussein dengan menyampaikan pidato penyadaran kepada para ulama dan tokoh masyarakat di zaman dengan mengatakan, "Jika Anda tidak membantu kami dan tidak bergabung dengan kami dalam memperjuangkan kebenaran, maka para penindas akan memiliki lebih banyak kekuatan untuk melawanmu dan akan menjadi lebih aktif dalam memadamkan sinar matahari yang bersinar dari Nabi kalian."
Melanjutkan pidatonya, Imam Husein bersandar pada prinsip ketauhidan dengan menjelaskan, "(jika Anda tidak membantu kami) Tuhan cukup bagi kami, dan kami bertawakal kepada-Nya, sebab takdir kita ada di tangan-Nya. Kita semua akan kembali pada-Nya". Selain menjelaskan prinsip ketauhidan, Imam Hussein setiap pidatonya, Imam Hussein mengajak orang lain dengan cara yang baik dalam memperjuangkan nilai-nilai ketauhidan.
Para pencari kebenaran sejati memandang seluruh kehidupan manusia dilakukan demi meraih ridha Allah swt. Sebab, dalam posisi tinggi ini, manusia menyerahkan seluruh keberadaannya kepada Tuhan dalam menghadapi semua peristiwa terjadi. demikian juga dengan Imam Hussein yang menyampaikan khutbah di Mekah, termasuk menyinggung peristiwa getikyang diprediksi akan terjadi padanya. Beliau dengan totalitas ketakwaan dan ketawakalannya berkata: "Apapun yang Allah tetapkan, aku ridha, dan aku akan bersabar dalam menghadapi kesulitan dan rintangan yang menghadang".
Menghadapi pihak-pihak yang menentang perjalanan Imam Hussein ke Karbala, beliau mengajak orang-orang yang tulus berjuang demi meraih ridha Alalh dengan sebagai prinsip utama perjuangannya dengan mengatakan, "Ketahuilah, siapa pun yang siap berjuang di jalan ilahi ini, maka bersiaplah untuk berangkat bertemu Allah (menjemput kesyahidan)..."
Manifestasi lain dari ketauhidan sebagai poros perjuangan Hussein ibn Ali dapat dilihat dengan jelas dalam tanggapan Imam terhadap surat perlindungan yang diberikan 'Umar ibn Sa'id, penguasa Mekah yang disampaikan Abd al-Ja'far, suami Sayidah Zainab, dengan yang mengatakan, "Orang yang beramal salih dan berserah diri kepada-Nya, niscaya tidak akan menentang Allah dan Rasul-Nya ..... Namun mengenai surat perlindungan yang telah kalian bawa, ketahuilah bahwa jaminan keselamatan terbaik hanya dari Allah swt. Keamanan dari Allah berada dalam agama. Jika tidak takut kepada Allah, maka tidak akan aman di akhirat. Dalam pandangan ilahi, takut kepada Allah di dunia ini, akan menyelamatkan kita di akhirat nanti".
Imam Hussein berkata, "Aku bersumpah demi Tuhan, jika aku terbunuh sejengkal lebih jauh dari Mekah, maka lebih aku sukai dari pada darahku tumpah di tempat suci ini, dan jika aku terbunuh dua kali lebih jauh dari Mekah, maka lebih baik bagiku.". Pernyataan ini disampaikan Imam Husein sebagai reaksi atas kelaliman Yazid dan kerusakan yang dilakukannya dengan mengatasnamakan sebagai khalifa Muslim. Imam Husein bersedia sayahid demi menjaga kesucian Kabah yang berusaha dinodai oleh penguasa lalim semacam Yazid.
Tidak seperti dinasti Umayah yang duduk di atas takhta kekuasaan dengan menghancurkan nilai-nilai Islam yang diperjuangkan oleh Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Baitnya, Hussein bin Ali yang dibesarkan di tengah keluarga Nubuwah dan Imamah sangat prihatin menyaksikan penodaan terhadap ajaran Islam dan berupaya mengembalikan umat menuju jalan kebenaran.
Oleh karena itu, Imam Hussein menyampaikan seruannya,"Sadarilah bahwa mereka adalah orang-orang mengikuti setan dan telah meninggalkan ketaatan kepada Tuhan, menyebarkan kerusakan dan kehancuran, serta melanggar syariat Allah, juga menjarah properti umum dan memonopolinya, dan menghalalkan yang diharamkan oleh Allah swt maupun sebaliknya. Sementara aku akan datang untuk mencegah berlanjutnya situasi ini dan mengubahnya."
Dukungan terbesar dari para pejuang yang mengorbankan dirinya demi mengharapkan ridha Allah swt merupakan hasil dari ketauhidan sebagai prinsip paling utama dalam hubungan antara Imam Husein dengan Allah swt, yang menginspirasi para pengikutnya untuk berjuang demi mempertahankan nilia-nilai agung dan luhur.
Pada malam Asyura, ketika pasukan musuh mengepung tenda-tenda Imam Husein dan pengikutnya, Imam Hussein sedang tenggelam dalam munajat dan doa. Di hadapan pengikutnya, beliau berkata "... Aku ingin menunaikan shalat dan marilah kita memohon ampunan ilahi. Allah tahu bahwa aku menyukai doa, membaca al-Quran, shalat dan manajat serta banyak beristigfar".
Dengan ketauhidan yang begitu kuat terhunjam, Imam Hussein dan para sahabatnya yang setia tenggelam doa dan ibadah yang sangat khusuk. Mereka hidup seolah-olah tidak memiliki kekhawatiran sedikitpun tentang peristiwa Asyura dan kesyahidan yang akan menimpanya, meskipun musuh sedang mengepung mereka di luar.
Sebelum peristiwa Asyura terjadi, salah seorang sahabat bernama Abu tsamamah bin Saidi mengingatkan waktu shalat segera tiba kepada Imam Hussein. Ketika itu Imam Hussein kepada pengikutnya berkata, "Kamu sudah mengingatkan kami akan waktu sholat. Allah menjadikanmu sebagai salah seorang yang mengingat Allah."
Ketika dzuhur tiba, Imam Husein meminta sedikit waktu untuk bermunajat kepada Allah untuk terakhir kalinya. Musuh menolak permintaan itu, tetapi Imam tetap mendirikan shalat tanpa peduli dengan tekanan dan hujanan panah musuh, dua sahabatnya gugur syahid dalam peristiwa itu.
Kekhusyukan dan ketenangan Imam Husein dalam shalat membuat para sahabatnya menitikkan air mata. Fenomena ini mengingatkan mereka pada sosok ayahnya, Imam Ali yang tidak pernah melewatkan shalat dalam perang dan berkata, "Kita berperang untuk menegakkan shalat." (RA)