Salip Indonesia, Malaysia Jadi Pilihan China untuk Investasi Semikonduktor
Malaysia menyalip Indonesia sebagai negara tujuan investasi China untuk memproduksi semikonduktor. China sedang gencar memindahkan industri semikonduktornya ke luar negeri, untuk mengantisipasi embargo dan sanksi perdagangan oleh Amerika Serikat (AS).
Dikutip dari Reuters, Senin (18/12), Malaysia semakin diminati sebagai tujuan investasi industri semikonduktor, oleh beberapa perusahaan asal China. Mereka memanfaatkan perusahaan-perusahaan Malaysia untuk merakit chip berteknologi tinggi.
"Perusahaan-perusahaan asal China tersebut meminta perusahaan produsen chip Malaysia untuk merakit jenis chip yang dikenal sebagai unit pemrosesan grafis (GPU)," tulis Reuters mengutip tiga orang yang mengetahui persoalan tersebut.
Sumber Reuters menyebutkan beberapa kontrak telah disepakati. Permintaan tersebut hanya mencakup perakitan yang disebut tidak bertentangan dengan batasan AS, dan bukan pembuatan wafer chip.
Meski demikian, sumber-sumber tersebut menolak untuk mengungkapkan perusahaan yang sudah memindahkan unit produksinya ke Malaysia, dengan alasan perjanjian kerahasiaan.
Adapun AS semakin membatasi penjualan pembuat chip yang canggih. Upaya membatasi akses China terhadap GPU kelas atas ini pun dapat mendorong terobosan kecerdasan buatan (AI) atau memberi daya pada superkomputer dan aplikasi militer.
Ketika sanksi-sanksi tersebut berlaku dan ada lonjakan permintaan AI, perusahaan-perusahaan desain semikonduktor China yang lebih kecil sedang berjuang untuk mendapatkan layanan pengemasan canggih yang memadai di dalam negeri.
Industri Semikonduktor di Malaysia Makin Kokoh
Malaysia yang merupakan pusat utama dalam rantai pasokan semikonduktor, dipandang berada dalam posisi yang tepat untuk meraih bisnis lebih lanjut karena perusahaan chip Tiongkok melakukan diversifikasi ke luar Tiongkok untuk kebutuhan perakitan.
Saat ini, Malaysia menguasai 13 persen pasar global untuk pengemasan, perakitan, dan pengujian semikonduktor dan bertujuan untuk menaikkannya menjadi 15 persen pada tahun 2030.
Menurut sumber Reuters, perusahaan China juga melihat Malaysia sebagai pilihan yang baik karena dianggap mempunyai hubungan baik dengan Negeri Tirai Bambu itu. Selain itu, Malaysia dinilai punya tenaga kerja terlatih dan teknologi canggih.
Perusahaan chip asal Malaysia, Unisem, akui mengalami peningkatan bisnis dan permintaan dari klien China. Perusahaan itu sendiri dimiliki mayoritas oleh Huatian Technology China. Kenaikan produksi juga dialami oleh perusahaan pengemasan chip Malaysia lainnya.
"Karena sanksi perdagangan dan masalah rantai pasokan, banyak perusahaan desain chip China datang ke Malaysia untuk membangun sumber pasokan tambahan di luar negara mereka," kata Chairman Unisem, John Chia.
Adapun beberapa perusahaan chip China yang mengumumkan rencana ekspansi di Malaysia adalah Xfusion yang pernah menjadi pemasok Huawei. Xfusion disebut akan bermitra dengan NationGate Malaysia untuk memproduksi server GPU.
StarFive yang berbasis di Shanghai juga membangun pusat desain di Penang. Selain itu perusahaan pengemasan dan pengujian chip TongFu Microelectronics, mengatakanmereka akan memperluas fasilitasnya di Malaysia, sebuah usaha dengan pembuat chip AS AMD.
Dengan menawarkan serangkaian insentif, Malaysia telah menarik investasi chip bernilai miliaran dolar. Infineon Jerman (IFXGn.DE) mengatakan bahwa pihaknya akan menginvestasikan USD 5,4 miliar untuk memperluas pabrik chip listriknya di sana.
Pembuat chip AS Intel (INTC.O) mengumumkan pada tahun 2021 bahwa mereka akan membangun pabrik pengemasan chip canggih senilai USD 7 miliar di Malaysia.
Mimpi Indonesia Bangun Industri Semikonduktor
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tengah mengusulkan agar Indonesia membuat kebijakan melarang ekspor silika. Kebijakan itu dilakukan untuk mendorong industri semikonduktor di dalam negeri.
Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin, Taufik Bawazier, mengatakan Indonesia sebenarnya pernah memiliki pabrik semikonduktor pada 1985.
Bahkan, pada tahun 1985-1986 Indonesia justru mampu mengekspor semikonduktor senilai USD 135 juta. Namun investor dari Amerika Serikat waktu itu memilih pindah ke Malaysia karena regulasi yang diterapkan ketika itu.
Namun, karena masalah ketenagakerjaan, investor pabrik semikonduktor memilih pindah ke Malaysia. Sehingga, saat ini dalam hal manufaktur semikonduktor Indonesia kalah dengan Malaysia.
"Tahun 85 kita sebenarnya sudah punya pabrik semikonduktor. Karena pada waktu itu tidak boleh otomatisasi, harus tenaga kerja, mereka (investor) pindah ke Malaysia. Makanya Malaysia kuat," kata Taufik saat ditemui di Gedung DPR RI, Rabu (9/11).
Saat ini, Kemenperin tengah berupaya membangun ekosistem industri microchip. Dalam wacana pemerintah meningkatkan jumlah kendaraan berbasis baterai, Taufik mengatakan bahwa komponen semikonduktor menjadi fundamentalnya. (Kumparan.com)