Eskalasi Tantangan Ekonomi Israel dengan Berlanjutnya Perang Gaza
Badai Al Aqsa dan serangan Israel ke Gaza memiliki dampak yang beragam, dan salah satu yang terpenting adalah meningkatnya tantangan ekonomi rezim ilegal ini.
Perang Israel terhadap Gaza telah berlangsung selama 23 hari. Badai Al Aqsa dan perang terhadap Gaza dimulai ketika Israel sebelumnya banyak menghadapi kendala internal, termasuk tantangan ekonomi. Perang Gaza juga menambah kesulitan ekonomi Israel saat ini dan akan memiliki dampak jangka panjang. Seperti yang diakui oleh sumber Israel sendiri, dalam dua pekan ini ekonomi Israel mengalami kerugian sekitar dua miliar dolar. Angka ini sangat berat dan banyak bagi sebuah ekonomi kecil seperti Israel, dan akan mamiliki dampak luas bagi Tel Aviv.
David Rosenberg, kolomnis ekonomi Koran Haaretz dalam sebuah catatannya di Foreign Policy merujuk berbagai krisis Badai Al Aqsa bagi rezim Israel dan menulis, pengerahan lebih dari 360 ribu pasukan cadangan untuk hadir di militer, di mana mungkin banyak dari mereka akan dipekerjakan untuk waktu yang lama, akan melumpuhkan tenaga kerja muda dan pria. Ia menilai solusi Israel untuk keluar dari krisis saat ini bergantung pada diakhirinya perang dan konfrontasi. Ia mengatakan, "Berlanjutnya konflik akan menyebabkan banyak angkatan kerja Israel, yang dipanggil berperang sebagai pasukan cadangan, akan terlibat dalam perang ini dalam jangka waktu yang lama. Di sisi lain, meningkatnya kerusuhan di Tepi Barat akan mengganggu aktivitas perekonomian dan menghancurkan kepercayaan dunia usaha dan konsumen."
Hal lainnya adalah perang melawan Gaza telah memberikan pukulan telak terhadap industri pariwisata rezim Zionis sebagai salah satu sumber perekonomian terpentingnya. Menurut statistik yang diumumkan, pendapatan pariwisata Israel lebih dari 5,5 miliar dolar tahun lalu, yang akan mengalami tren penurunan tajam tahun ini karena konflik dan tentu saja masalah politik di wilayah pendudukan.
Hal lainnya adalah nilai shekel, mata uang Israel, telah menurun hampir lima persen sejak awal Oktober. Perkiraan pertumbuhan ekonomi Israel tahun ini juga mengalami penurunan dari 3 persen menjadi 2,3 persen. Laporan The Economist, perekonomian Israel menghadapi tiga tantangan dalam menghadapi perang. Yang pertama adalah lapangan kerja. Tidak ada angkatan kerja yang dapat digunakan secara bersamaan dalam perekonomian dan perang. Sejak 7 Oktober tahun ini, angkatan bersenjata telah mengerahkan lebih dari 360.000 pasukan cadangan atau 8 persen dari angkatan kerja negara tersebut; Sebuah seruan yang lebih besar dari seruan perang tahun 1973. Sebagian besar pasukan cadangan ini telah meninggalkan pekerjaannya dan masalah ini telah menciptakan lubang besar dalam perekonomian. Yang lebih buruk lagi, para wajib militer tersebut merupakan pekerja paling produktif di Israel.
Tantangan kedua bagi pembuat kebijakan adalah mengurangi konsumsi swasta. Penutupan toko dan kepanikan masyarakat untuk keluar rumah, serta melemahnya industri pariwisata, menjadi faktor terpenting melemahnya konsumsi swasta di Israel. Namun tantangan utama perekonomian Israel adalah membiayai perang dalam situasi seperti ini. Mendukung bisnis dan rumah tangga yang terkena dampak perang serta belanja militer telah membuat para pembuat kebijakan Israel berada dalam situasi yang sulit. Kini, sebagian besar sumber daya keuangan perekonomian Israel harus dibelanjakan untuk masalah keamanan dan mesin perangnya dengan Hamas. (MF)