Sanksi Baru UE dan Inggris terhadap Iran; Kontradiksi Slogan dan Tindakan
Uni Eropa (UE) dan Inggris Senin (14/11/2022) menjatuhkan sanksi baru terhadap Republik Islam Iran.
London melanggar hukum internasional terkait keharusan untuk tidak mengintervensi urusan internal negara-negara independen. Inggris dalam hal ini dengan dalih pelanggaran HAM di Iran dan demi mendukung para perusuh, menjatuhkan sanksi terhadap 24 individu dan lembaga Iran. Menteri Informasi dan Telekomunikasi Iran, Issa Zarepour juga berada di list sanksi London.
Uni Eropa juga dilaporkan menambahkan 29 individu dan 3 lembaga Iran ke list sanksi. Di antara individu yang disanksi UE terhadap nama empat staf militer Iran, sejumlah komandan provinsi militer dan IRGC, serta Komandan Angkatan Darat Militer Iran, Kioumars Heydari dengan alasan melawan para perusuh dan merusak keamanan rakyat Iran.
Vahid Majid, ketua polisi siber dan Ahmad Vahidi, menteri dalam negeri Iran juga termasuk individu yang dicantumkan di list sanksi baru ini. Uni Eropa juga menempatkan Press TV di list sanksinya. Sanksi ini mencakup larangan bepergian dan membekukan aset individu dan lembaga tersebut, serta melarang perusahaan dan warga Eropa melakukan pembayaran finansial kepada mereka.
Dengan resolusi baru Uni Eropa, jumlah individu dan institusi Iran yang tampaknya dijatuhkan sanksi HAM Brussel akan meningkat menjadi 126 individu dan 11 institusi. Kanselir Jerman Olaf Schultz, sejalan dengan posisi intervensionis Barat dalam urusan dalam negeri Iran dan sambil mendukung kerusuhan di Iran, menggambarkan tindakan subversif para perusuh sebagai "perjuangan yang berani" dan mengklaim: "Sanksi adalah jalan yang harus kita tempuh untuk meningkatkan tekanan terhadap Iran."
Di antara sanksi baru Eropa terhadap Iran ini yang paling menarik adalah sanksi terhadap jaringan televisi satelit berbahasa Inggris, Press TV. Televisi ini telah aktif selama bertahun-tahun dalam menyebarkan berita dan laporan untuk mematahkan monopolis media-media Barat yang senantiasa merefleksikan fakta dan peristiwa dengan orientasi khusus dan demi kepentingannya. Hal ini senantiasa membuat geram pemerintah Barat, dan dengan demikian terkadang mereka melakukan langkah seperti membatasi Press TV di jaringan sosial dan dunia maya seperti You Tube, Instagram, dan semisalnya. Mereka juga berulang kali memberi takanan untuk mencegah berlanjutnya siaran Press TV melalui satelit.
Sekarang, orang-orang Eropa, bersama dengan Amerika, bertentangan dengan slogan kebebasan berbicara dan kebebasan media, dan dengan gagasan untuk mencegah kelanjutan penyebaran pandangan Republik Islam Iran, terutama tentang pencerahan terkait esensi kerusuhan dan instabilitas di Iran dan peran Barat di bidang ini, memboikot Press TV. Sementara semua jenis media dan saluran satelit Persia beroperasi di negara-negara Eropa, terutama Inggris, dengan uang Barat dan negara-negara reaksioner regional, khususnya Arab Saudi. Dalam hal ini jaringan satelit Iran Internasional merupakan salah satu contoh media inim yang dengan uang Saudi dan arahan London aktif melancarkan beragam kebohongan dan aktivitas destruktif lainnya.
Media-media seperti ini yang memiliki kebebasan penuh, selain mendukung kerusuhan dan perusuh di Iran, serta menyebarkan berita palsi untuk mendorong anasir ini melanjutkan kerusuhan, bahkan aktif memberi pelatihan kepada perusuh seperti pembuatan bom molotov dan beragam sarana merusak lainnya serta cara-cara melakukan aksi kekerasan.
Pertanyaannya di sini, Eropa yang senantiasa berbicara mengenai hak asasi manusia dan dukungan terhadap kebebasan termasuk kebebasan berekspresi serta media, apakah mereka akan mengijinkan media atau jaringan satelit di negara-negara aktif ketika menyebarkan kerusuhan dan pembuatan senjata perang kepada warganya ? Pastinya jawabannya adalah tidak, dan Eropa yang mengklaim pembela HAM tidak akan pernah mengijinkan aktivitas media atau jaringan setelit seperti ini.
Sementara mereka karena Iranphobia, dan karena pendekatan permusuhan mereka terhadap Tehran, dengan mudah mengijinkan media-media anti-Iran untuk beraktivitas. Hal ini sejatinya bukti lain dari pendekatan bias Barat termasuk negara-negara Eropa terkait isu-isu seperti terorisme dan HAM serta kebebasan berekspresi dan media. (MF)