Pendekatan Ganda dan Kontradiktif AS terhadap JCPOA
Pada hari Senin (09/01/2023), Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price dalam konferensi persnya, menggambarkan penarikan sepihak pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump dari JCPOA sebagai kesalahan strategis terbesar kebijakan luar negeri Washington dalam beberapa tahun terakhir.
Mengkritik kebijakan pemerintahan Trump terkait masalah nuklir Iran, Price menyatakan, Pemerintahan ini (Joe Biden) menganggap keputusan pemerintahan sebelumnya untuk menarik diri dari JCPOA sebagai salah satu kesalahan terbesar kebijakan luar negeri Amerika dalam beberapa tahun terakhir.
Sambil mengkritik kebijakan tekanan maksimum pemerintahan Trump terhadap Iran, Price mengatakan, Tindakan ini jelas tidak berhasil. Sejarah telah mengajarkan kita bahwa tekanan ekonomi paling efektif bila dikoordinasikan dengan mitra dan sekutu lain. Oleh karena itu, kami menghargai kerja sama dengan sekutu dan mitra Eropa, terutama Troika Eropa.

Terlepas dari pengakuan juru bicara Departemen Luar Negeri AS tentang kesalahan besar Washington dalam menarik diri dari perjanjian nuklir JCPOA, masalah yang menunjukkan pendekatan kontradiktif AS dalam JCPOA adalah desakan untuk meninggalkan negosiasi Wina.
Dalam hal ini, Ned Price sembari membenarkan penangguhan negosiasi untuk menghidupkan kembali JCPOA dalam konferensi persnya pada hari Rabu (04/01), mengatakan, Karena represi pengunjuk rasa di Iran, saat ini, perhatian pemerintahan Joe Biden adalah berfokus untuk mendukung rakyat Iran.
Dia mengklaim bahwa September lalu, perjanjian untuk menghidupkan JCPOA telah siap dan dapat ditandatangani, tetapi pihak Iran menolak untuk menerima ketentuan dan tanda tangan terakhirnya. Karenanya, dalam beberapa bulan terakhir, JCPOA telah dihapus dari agenda Amerika Serikat, dan sekarang kita semua telah memfokuskan upaya untuk mendukung hak-hak internasional rakyat Iran dan menghadapi hubungan militer yang berkembang antara Iran dan Rusia.
Menekankan kesalahan strategis Trump dalam menarik diri dari JCPOA di satu sisi dan menjatuhkan bola penghentian negosiasi Wina di tanah Iran serta menyatakan bahwa JCPOA tidak lagi menjadi agenda dan prioritas Amerika Serikat, menunjukkan sikap ganda pemerintah Biden terhadap perjanjian nuklir JCPOA.
Terlepas dari penekanan berulang kali dari Presiden AS Joe Biden dan pejabat senior pemerintahnya tentang perlunya melestarikan JCPOA dan mencoba untuk menghidupkannya kembali, tetapi dengan kerusuhan baru-baru ini di Iran, Washington, bersama dengan mitra Eropanya, melihatnya sebagai kesempatan yang tidak terulang untuk melemahkan Republik Islam Iran dan mereka percaya bahwa sistem Republik Islam sedang runtuh.
Pada hari Senin (09/01/2023), Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price dalam konferensi persnya, menggambarkan penarikan sepihak pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump dari JCPOA sebagai kesalahan strategis terbesar kebijakan luar negeri Washington dalam beberapa tahun terakhir.
Oleh karena itu, tidak ada upaya yang dilakukan untuk melanjutkan negosiasi Wina, dan sebaliknya, Washington mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mendukung kerusuhan dan perusuh di Iran, dan berusaha dengan segala cara untuk mengobarkan api kerusuhan dan ketidakamanan sebanyak mungkin.
Sebenarnya, pemerintah Biden, di satu sisi, mengklaim diplomasi terhadap Iran dalam masalah JCPOA, dan pada saat yang sama, dengan bertukar pesan tidak langsung dengan Tehran, bersikeras melakukan negosiasi langsung, mencampuri urusan dalam negeri Iran dan mencoba mendorong para pelaku kerusuhan.
Upaya yang terbukti menghadapi kegagalan memalukan dan pengakuan bahwa kerusuhan tersebut tidak mampu menimbulkan ketidakstabilan dalam sistem Republik Islam Iran.
Pada awal Desember 2022, mengacu pada kerusuhan di Iran, Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat, Avril Haines mengatakan bahwa Republik Islam Iran tidak melihat masalah ini sebagai ancaman terhadap stabilitasnya.
Poin penting dan sekaligus mengejutkan adalah bahwa, meskipun mengakui kesalahan penarikan AS dari JCPOA, pemerintah Biden telah melanjutkan kebijakan sanksi Trump yang gagal terhadap Iran, yang dikenal sebagai kampanye tekanan maksimum, dan dengan meninggalkan negosiasi untuk mencabut sanksi dan mengubahnya menjadi dukungan habis-habisan untuk kerusuhan di Iran demi mencapai tujuan batil mereka.

Washington masih membayangkan bahwa ia dapat mencapai tujuan batil dan ilusinya dengan mengintensifkan tekanan terhadap Tehran dan meningkatkan campur tangan dalam urusan internal Iran.
Sementara sikap Iran dalam bentuk kebijakan perlawanan maksimum telah menyebabkan kegagalan kebijakan sanksi AS dan kegagalan berulangnya terhadap Iran.(sl)