May 26, 2024 11:28 Asia/Jakarta
  • Melawan Kolonialisme Prancis, Pemberontakan di Kaledonia Baru

Demonstrasi-demonstrasi anti-pemerintah Prancis, setelah penerapan undang-undang baru pemungutan suara di Kaledonia Baru, berubah menjadi aksi kekerasan mematikan yang belum pernah terjadi sejak dekade 1980, di negara bekas jajahan Prancis, di Samudra Pasifik itu.

Kerusuhan di Kaledonia Baru, mengungkap dengan jelas konflik-konflik yang selama ini terpendam di tengah masyarakat antara penduduk asli, anak-cucu penjajah, dan orang-orang yang baru memasuki negara itu.
 
Demonstrasi-demonstrasi luas di Kaledonia Baru, pecah setelah disahkannya perubahan aturan pemilu wilayah ini oleh Parlemen Prancis. Perubahan dimaksud, telah menyebabkan orang-orang Prancis, yang telah menetap di Kaledonia Baru, selama 10 tahun atau lebih, memiliki hak pilih.
 
 
Dimana Letak Kaledonia Baru?
 
Kaledonia Baru, termasuk satu dari lima pulau di Samudra Hindia, dan Samudra Pasifik, yang dikuasai oleh Prancis, dan merupakan salah satu wilayah jajahan Prancis, terbesar, dan bagian penting dari klaim Paris, terkait kekuatan di Samudra Pasifik.
 
Negara berpenduduk sektiar 300.000 jiwa ini terletak di antara Australia dan Fiji, dan merupakan salah satu wilayah luar Prancis, yang terbesar. Meskipun demikian, penduduk asli Kaledonia Baru, Kanak, sejak lama sudah mengumumkan protes atas pendudukan Prancis, dan berusaha keras untuk mengubah status negaranya.
 
Kaledonia Baru, yang termasuk satu dari lima wilayah kepulauan di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, dan berada di bawah jajahan Prancis, memiliki sumber daya alam yang melimpah, serta menjadi prioritas program kerja Presiden Emmanuel Macron, untuk meningkatkan pengaruh di Samudra Pasifik.
 
Pada kenyataannya, setelah menduduki Kaledonia Baru, pada tahun 1853, Prancis, secara terstuktur memenuhi negara itu dengan penduduknya sendiri. Oleh karena itu ketegangan di Kaledonia Baru, yang disebabkan oleh tuntutan pemisahan diri dari Prancis, sudah panas sejak lama.
 
 
Mengapa Kaledonia Baru Penting bagi Prancis?
 
Prancis secara kontinu meningkatkan pengaruhnya di negara-negara bekas jajahan di Afrika, mempertahankan benteng kokoh di Kaledonia Baru, dan realitasnya Prancis, menganggap bagian lain selain laut di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, sebagai posisi kunci bagi visi yang lebih besar yaitu menjaga cakupan pengaruhnya di kawasan.
 
Paris menganggap kepentingan korporasi Prancis, dapat membantu menjaga kekuatan negara ini di kawasan, dan menjamin akses ke jalur-jalur pelayaran penting. Pada saat yang sama, Prancis, menganggap dirinya sebagai sebuah kekuatan penyeimbang dalam mengelola ketegangan antara Cina dan Amerika Serikat.
 
Hal ini terutama terkait dengan masalah Taiwan, dan Laut Cina Selatan, dan dengan kehadiran militernya secara permanen di kawasan ini, Prancis, berada pada posisi yang bisa langsung merespons jika sampai terjadi sebuah konfrontasi maritim serius.
 
French Polynesia, Wallis, Futuna, dan Clipperton adalah wilayah lintas-maritim Prancis, lain yang terletak di Samudra Pasifik, sementara Mayotte dan Reunion, bersama sejumlah negara lain, berada di Samudra Hindia. Wilayah-wilayah ini berpenduduk 1,65 juta jiwa.
 
Rakyat Kaledonia Baru, memprotes kebijakan ekspanionis Prancis, dengan mengubah konstitusi sehingga menguntungkan negara itu secara sepihak, dan protes-protes ini berubah menjadi aksi kekerasan mematikan yang terus meluas.
 
Ketegangan-ketegangan yang terjadi di Kaledonia Baru, dipicu oleh tuntutan merdeka warga pribumi, Kanak, dan keinginan keturunan para penjajah untuk menjadikan negara ini tetap bagian dari Prancis.
 
Tujuan perubahan undang-undang pemilu Kaledonia Baru, adalah menambah jumlah suara pemilih dalam pemilu provinsi yang akan berlangsung, dan ini dikecam oleh gerakan pendukung kemerdekaan.
 
Seorang pengajar sosiologi terkemuka mengatakan, ada marah, dan ketidakadilan yang dirasakan publik, selain rasa takut akan punahnya populasi penduduk asli Kanak, atau hilangnya mereka seiring dengan pertumbuhan pesat penduduk lain.
 
Salah satu pemimpin demonstrasi di Kaledonia Baru, meyakini bahwa jika sekarang muncul kekerasan di negara ini, pada kenyataannya itu adalah jawaban atas kekerasan yang dipaksakan terhadap rakyat selama era penjajahan Prancis, sampai saat ini.
 
Bagi para pemuda Kaledonia Baru, penjajahan bukan hanya terjadi di masa lalu, mereka menganggap Prancis, sebagai penyebab hilangnya kesempatan serta peluang. Intensitas protes di Kaledonia Baru, yang telah menyebabkan sejumlah orang terbunuh, telah memaksa Presiden Prancis, mengumumkan situasi darurat di negara ini.
 
Sebagaimana disinggung sebelumnya, Kaledonia Baru, pada dekade 1860 menjadi koloni Prancis, dan demonstrasi pertama memprotes penjajahan Prancis, di negara ini terjadi pada tahun 1878 yang menewaskan sedikitnya 800 orang, dan menyebabkan ribuan orang diasingkan. Beberapa kaum pribumi Kaledonia Baru, memainkan peran signifikan dalam protes itu.
 
Janji memberikan otonomi kepada Kaledonia Baru, adalah janji yang selalu diberikan oleh para pejabat Prancis, tapi semuanya berujung dengan penumpasan aksi-aksi protes. Pada akhirnya, di tahun 1998, Prancis, dalam sebuah penandatanganan kontrak dengan Kaledonia Baru, menetapkan penghentian penjajahan 20 tahun, dan ini didukung oleh rakyat Kaledonia Baru.
 
Negara kaya nikel yang bisa menjadi Eldorado-nya Prancis ini sekarang berubah menjadi bom waktu bagi Paris. Kaledonia Baru, menyimpan 30 persen cadangan nikel dunia, bahan yang sangat diperlukan untuk memproduksi logam anti-karat, dan baterai yang dibutuhkan oleh alat-alat elektronik.
 
Berdasarkan sensus tahun 2019, lebih dari 41 persen penduduk Kaledonia Baru, adalah warga pribumi Kanak, dan 24 persennya warga Eropa, tapi meski mayoritas dan penduduk asli, tapi mereka menghadapi masalah ekonomi yang lebih besar, seperti upah yang lebih rendah, dan tingkat kemiskinan tinggi. Sementara perjanjian nikel Prancis, dianggap oleh warga pribumi Kaledonia Baru, sebagai perjanjian kolonialisme. (HS)