Terus Ditekan, Apakah Inggris Bersedia Membayar Ganti Rugi Kolonialisme?
Sep 24, 2024 16:27 Asia/Jakarta
Parstoday – Inggris tidak bisa mengaku diri sebagai pembela nilai-nilai hak asasi manusia, dan pada saat yang sama menolak tanggung jawab sejarah perdagangan budak dan kejahatan kolonialisme yang dilakukannya di masa lalu.
Pertemuan mendatang para pemimpin negara-negara persemakmuran Inggris, menjadi kesempatan untuk kembali mengajukan pertanyaan lama, apakah Inggris sebagai kekuatan kolonialis di masa lalu harus bertanggung jawab dan membayar ganti rugi kejahatan sejarah terutama perdagangan budak yang dilakukannya?
Pertanyaan ini sekarang semakin terasa urgensitasnya karena negara-negara persemakmuran, yang sebagian besar adalah negara-negara koloni Inggris, menuntut keras langkah serius London, dalam hal ini.
Dukungan atas Pembayaran Ganti Rugi semakin Keras
Tiga kandidat Sekjen Negara-Negara Persemakmuran Inggris, yang seluruhnya berasal dari negara Afrika, baru-baru ini dalam sebuah pertemuan di London, secara tegas mendukung pembayaran ganti rugi kolonialisme Inggris.
Menteri Luar Negeri Ghana, Shirley Ayorkor Botchwey, menegaskan bahwa ganti rugi dapat diberikan dalam berbagai bentuk, dan tidak hanya terbatas pada pembayaran secara finansial.
Ia mengatakan, "Ganti rugi finansial, bagus, akan tetapi saat ini negosiasi yang dilakukan juga mengarah pada pembayaran ganti rugi-ganti rugi non-finansial."
Pertanyaannya adalah mengapa Inggris, alih-alih lari dari tanggung jawab, tidak bersedia setidaknya ikut serta dalam negosiasi tersebut? Apakah Inggris tidak bisa menggunakan posisinya di Negara-Negara Persemakmuran untuk mendorong pembahasan yang lebih berbobot?
Raja Charles III, sebagai pemimpin Negara-Negara Persemakmuran, dalam pertemuan sebelumnya menyinggung penyesalan mendalam atas perdagangan budak di masa lalu, meski Inggris sampai sekarang tidak bersedia membayar ganti rugi dalam bentuk apa pun.
Apakah Inggris merasa cukup dengan mengucapkan penyesalan semata atau siap untuk mengkritik sejarahnya sendiri yang sarat kejahatan termasuk perdagangan budak, dan melangkah di jalan keadilan restoratif?
Kingsley Abbott, Direktur Institut Studi Persemakmuran di Universitas London, menyinggung pertumbuhan gerakan dunia menuntut ganti rugi, dan menegaskan bahwa masalah perbudakan serta kerugian yang diakibatkannya sudah tidak bisa diingkari.
Akan tetapi apakah Inggris, akan terus bersikukuh pada sikap lamanya atau tidak, dan bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk memimpin negosiasi serta dialog dunia yang tidak hanya terbatas pada ganti rugi finansial?
Mantan Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak, pada tahun 2023 berargumen bahwa upaya untuk meninjau kembali sejarah Inggris, bukan solusi yang tepat.
Apakah statemen ini bukan lari dari tanggung jawab? Mengapa kita harus menerima sejarah sebagai sebuah masalah yang tidak terselesaikan terutama ketika hal ini masih berdampak pada kehidupan jutaan orang?
Inggris tidak bisa mengaku sebagai pembela nilai-nilai hak asasi manusia, sementara pada saat yang sama menolak menerima tanggung jawab sejarah terkait perdagangan budak, dan kejahatan-kejahatan kolonialisme.
Masalah ganti rugi sebagaimana disinggung Kingsley Abbott, dapat dibayarkan dalam berbagai bentuk berbeda termasuk yang paling kecil adalah permintaan maaf yang berarti, pengakuan resmi secara umum, dan peringatan-peringatan.
Seiring dengan semakin dekatnya pertemuan para pemimpin Negara-Negara Persemakmuran Inggris, sepertinya tekanan atas London, semakin besar. Hal yang terpenting adalah menerima tanggung jawab sejarah oleh negara ini.
Apakah Inggris bisa memperlakukan negara-negara bekas koloninya yang sekarang menjadi anggota Persemakmuran, pada posisi yang setara, dan alih-alih lari dari tanggung jawab, memainkan peran aktif menebus kesalahan-kesalahannya di masa lalu?
Pertemuan Negara-Negara Persemakmuran, adalah peluang berharga bagi Inggris untuk membuktikan bahwa ia bisa menerima masa lalunya, dan berusaha untuk masa depan yang lebih adil, akan tetapi apakah Inggris akan kehilangan kesempatan ini atau pada akhirnya tunduk pada tuntutan-tuntutan keadilan yang terus meluas? (HS)