Pohon Kenari, Saksi Tragedi Getir Serangan Senjata Kimia Sardasht
Perang dan tragedi getir yang melambarinya menorehkan luka yang tidak mudah untuk dihapus. Berbagai peristiwa ini ditulis kembali dalam berbagai sarana, termasuk sinema untuk mengambil pelajaran dari peristiwa itu.
Baru-baru ini dirilis sebuah film berjudul pohon Kenari menyuguhkan peristiwa serangan kimia yang dilakukan rezim Saddam terhadap warga Kurdi Irak dan Iran.
Tanggal 16 Maret 1988, Saddam menginstruksikan puluhan unit jet tempur untuk membombardir kota Halabcheh dengan senjata kimia. Tragedi pengeboman pukul dua siang itu menewaskan lebih dari 5000 orang warga kota Halabcheh.
Tidak hanya itu, serangan militer rezim Saddam dengan bahan kimia yang dipasok negara-negara Barat itu melukai sekitar lebih dari 10.000 orang. Saddam telah melakukan sebuah kejahatan anti kemanusiaan yang paling keji dalam sejarah. Kota ini mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengan kota Nagasaki, Hiroshima, serta kota-kota di Vietnam.
Sebelum serangan kimia Halabche yang lebih dikenal dengan sebutan Halabja terjadi, kota Sardasht di Iran yang menjadi sasaran serangan kimia rezim Baath. Pemboman senjata kimia di Sardasht terjadi pada 24 Juni 1988 yang menyebabkan lebih dari seratus warga sipil tewas, dan 8.000 orang mengalami gangguan fisik dan mental fatal akibat racun senjata kimia tersebut.
Bagaimana rezim Baath Irak memiliki senjata kimia dan yang lebih penting lagi, bagaimana rezim ini punya keberanian menggunakannya? Merunut ke tahun 1980, ada pemindahan bahan baku senjata kimia milik Uni Soviet ke Irak. Setelah itu Irak mulai membeli persenjataan khusus dari negara-negara eropa dan Amerika untuk memproduksi sendiri senjata kimia. Pada 1982, rezim Baath menandatangani kontrak dengan Karl Kolb of The City of Dreieich, perusahaan Jerman, sebagai penyedia alat-alat teknis kimia. Irak dengan cerdik memproduksi gas saraf dengan membeli bahan baku kimia dari sumber-sumber Barat, seperti Amerika, Jerman Barat dan Belanda.
Dalam perang 8 tahun Iran-Irak, Rezim Baath pada 1983 mulai menggunakan senjata kimia. Awalnya mereka menggunakan sulfur mustard secara terbatas untuk mengalahkan pasukan Iran di malam hari. Setahun berikutnya Irak menggunakan senjata kimia saat menyerang Piran Shahr sekitar kota Panjovin. Waktu itu Iran menyebut serangan itu sebagai kejahatan perang. Tahun 1984 Irak tidak menggunakan senjata kimia untuk sementara waktu, tapi dua tahun berikutnya, rezim Baath Irak justru menggunakannya secara luas. Namun serangan ke Halabcheh merupakan yang paling brutal dan biadab.
Masih ada hal lain yang mengusik dalam kejahatan rezim Baath Irak ini. Mengapa Saddam Husein memerintahkan untuk membombardir kota Halabcheh yang jelas merupakan bagian dari Irak dengan senjata kimia? Sekaitan dengan hal ini, Wafiq al-Samarrai, Kepala Intelijen Militer Irak mengatakan, “Kejahatan yang terjadi di Halabcheh dilakukan oleh 50 jet tempur Irak. Setiap pesawat membawa empat bom kimia. Saddam Husein yang langsung mengeluarkan perintah serangan tersebut. Serangan itu dilakukan setelah Saddam merasa putus asa. Karena pada 10 dan 11 Maret 1988, pasukan Iran telah menguasai daerah Darbandikhan, Halabcheh dan kawasan di sekelilingnya.
Saddam telah berberapa kali mengirim pasukan ke sana agar dapat menghalangi pergerakan pasukan Iran ke Irak, tapi tidak berhasil, bahkan kerugian besar justru menimpa pasukannya. Sebagai bentuk balas dendam, Saddam memerintahkan agar dilakukan serangan kimia luas ke kota Halabcheh. Diktator Irak ini sangat membenci warga Kurdi dan mencari kesempatan untuk memusnahkan mereka. Selain itu, kebanyakan para pemimpin oposisi berasal dari kota ini. Untuk itulah ia memerintahkan untuk mengebom kota ini dengan bom kimia. 50 pilot mengetahui benar bahwa pesawatnya membawa bom kimia.”
Robert Fisk, seorang wartawan terkenal asal Inggris, dalam artikelnya yang ditulis beberapa tahun lalu usai perang Irak-Iran, mengatakan, "Dalam sebuah dokumen rahasia yang tak dipublikasikan, disebutkan adanya pengiriman senjata-senjata kimia dan biologi yang berfungsi ganda dari AS ke Irak. Sebelum dan setelah tahun 1985, perusahaan-perusahaan AS mengirimkan senjata-senjata biologi ke Irak setelah diratifikasi oleh negara ini. Disebut-sebut juga bahwa pengirim senjata destruksi massal itu di antaranya adalah perusahaan yang memproduksi mikroba antraks dan sejumlah virus lainnya."
Melalui laporan tersebut dapat disimpulkan bahwa AS telah terbukti mengirimkan bahan-bahan senjata dwifungsi kepada Irak, yang disetujui oleh pemerintah Washington dalam rangka membantu pembuatan instalasi-instalasi senjata kimia di Irak.
Muhammad Salam, seorang wartawan Associated Press yang menyaksikan langsung serangan-serangan senjata kimia Irak terhadap tentara Iran di timur Basrah mengatakan, "Pasukan Irak untuk pertama kalinya mengunakan gas-gas kimia, yang sebagaimana gas Mustard, dapat merusak syaraf manusia." Muhammad Salam juga menyatakan, "Sejak awal, Iran sudah menyatakan bahwa AS telah mengirimkan senjata kimia ke Irak, namun Washington terus menepis tudingan tersebut."
Koran San Fransisco Chronicle edisi 12 November 2006 menulis, AS mengirimkan 14 bahan berbahaya yang dapat digunakan untuk produksi senjata kimia ke Irak, dan hal ini sengaja dilakukan semata-mata untuk mengalahkan Iran. Koran ini seperti media-media massa lainnya, juga menyinggung kunjungan Donald Rumsfeld ke Irak dan pertemuannya dengan Saddam Husein. Rumsfeld datang ke Irak pada bulan Desember 1983 dan pada tanggal 24 Maret 1984. Menurut koran ini, "Rumsfeld menemui Saddam di saat PBB dalam laporannya mengumumkan bahwa Irak dinyatakan sebagai pelaku kejahatan perang karena menggunakan gas Mustard dalam menyerang tentara-tentara Iran."
Sepanjang perang delapan tahun Irak-Iran, pasukan rezim Baath Irak telah membombardir Iran dengan senjata kimia sebanyak 350 kali. Berdasarkan laporan investigator PBB, Juan Mack, sepanjang perang Iran-Irak, pasukan Saddam telah menggunakan 1800 ton gas Mustard, 600 ton gas Sarin, dan berbagai jenis senjata kimia lainnya.
Bahan kimia yang mematikan ini, terutama gas Mustard akan mengkontaminasi semua permukaan, termasuk tanah. Itulah sebabnya, semburan gas ini menjatuhkan korban yang sangat banyak. Gas ini akan merusak sistem pernafasan, mata, dan kulit. Setiap bagian tubuh yang terkontaminasi gas Mustard ini secara bertahap akan terbakar dan sistem kekebalan tubuh akan rusak. Gas ini juga akan menyebabkan kerusakan DNA dan kemungkinan menyebabkan kanker.
AS dan sejumlah negara Barat lainnya yang mengetahui kejahatan Saddam terhadap bangsa Iran, alih-alih mengecam aksi brutal tersebut justru melanjutkan pengiriman senjata kimia terhadap rezim Baath. Namun ironisnya, setelah 16 tahun AS menyuplai senjata kimia bagi rezim Baath, Washington menyerang Irak dengan dalih memusnahkan senjata kimia di Negeri Kisah 1001 Malam itu.
Dalam laporan yang disampaikan kepada Konferensi Perlucutan Senjata Nuklir, Republik Islam Iran menyatakan bahwa jumlah serangan senjata kimia yang dilakukan Irak antara tahun1981 hingga 1988 adalah sebanyak 242 kali dan menelan korban sebanyak 44 ribu orang. Disebutkan juga, Baghdad mengakui bahwa pihaknya dalam perang Irak menggunakan enam ribu unit bom kimia yang disampaikan kepada ketua tim inspeksi senjata destruksi massal PBB.
Berdasarkan laporan yang disusun oleh tim penyidik PBB terkait senjata nuklir Irak, Irak mendapatkan fasilitas militer dan senjata kimia dari 150 perusahaan Barat. Koran Al-Qais, terbitan Kuwait, yang mengutip pernyataan para pakar dan inspektur senjata destruksi Irak, pada bulan November 2006 menulis, "Perusahaan-perusahaan pemasok utama untuk Irak terdiri atas 22 perusahaan AS, 23 perusahaan Italia, dan 13 perusahaan Swiss."
Sangat ironis, AS yang di masa lampau menjadi pendukung Saddam kini mengklaim diri sebagai penentang senjata pembunuh massal. Bahkan, AS kini menduduki Irak dengan alasan untuk membasmi senjata pembunuh massal. AS juga terus-menerus menekan Iran yang sedang berupaya mendayagunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai. Padahal di saat yang sama, AS sendiri tengah memproduksi senjata nuklir generasi baru yang merupakan ancaman besar bagi keselamatan umat manusia.
Lebih dari tiga dekade setelah kejahatan kimia rezim Baath di Sardasht dan Halabja, bencana tragis ini belum berakhir. Sejatinya, satu-satunya cara untuk mencegah terulangnya bencana ini adalah keseriusan untuk bersikap tegas terhadap pelaku dan pendukungnya dari organisasi internasional, terutama komisi kejahatan kemanusiaan dan senjata pemusnah massal. (PH)