Menyambut Kelahiran Sang Putra Ka’bah
(last modified Tue, 31 Jan 2023 09:30:00 GMT )
Jan 31, 2023 16:30 Asia/Jakarta
  • Menyambut Kelahiran  Sang Putra Ka’bah

Dinding Ka’bah terbelah dan Fatimah putri Asad masuk. Kemudian dinding tersebut kembai rapat. Orang-orang di sekitar Ka’bah berusaha membuka kunci pintu Baitullah untuk menjadi saksi yang terjadi di dalam Ka’bah, tapi mereka tidak bisa. Dengan demikian mereka manyadari keagungan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Besar di balik dinding tersebut.

Hari ini tanggal 13 Rajab, hari kelahiran tokoh besar Islam setelah Rasulullah Saw, yakni Ali bin Abi Thalib.

Imam Ali putra Abu Thalib anak Abdul Muthalib. Ibunya Fatimah, putri Asad bin Hasyim bin Abdul Manaf. Ketika Fatimah membawa bayinya kepada Muhammad, Rasulullah langsung mencintai bayi tersebut. Kecintaan Rasulullah kepada Ali kerap diperbicangkan banyak orang. Bertahun-tahun kemudian, Imam Ali mengenang kecintaan Rasul tersebut dan berkata, “Kalian wahai sahabat Nabi sepenuhnya mengetahui posisi khusus Saya di mata Rasulullah, dan kalian menyadari bahwa Aku tumbuh besar di bawah bimbingannya. Ketika aku bayi, Rasul selalu menggendongku dan melindungiku serta menyuapiku makanan.”

Imam Ali hidup bersama ayah dan ibunyak selama tiga tahun. Ia selalu dihormati dan dicintai kedua orang tunya, karena di samping ia adalah anaknya, Imam Ali juga memiliki kemuliaan karena dilahirkan di dalam Ka’bah. Dengan demikian Imam Ali sangat dihormati dan dicintai oleh masyarakat dan khususnya keluarganya.

Tak lama kemudian terjadi musim paceklik dan kekeringan berkepanjangan di Mekah. Abu Thalib, paman Nabi, bersama keluarganya menghadapi kondisi yang sulit. Nabi berunding dengan pamannya yang lain, Abbas yang lebih kaya dari Abu Thalib dan mencapai kesepakatan bahwa masing-masing akan membawa anak Abu Thalib ke rumahnya sehingga di hari-hari yang sulit tersebut beban Abu Thalib akan menjadi ringan.

Dengan demikian Abbas mengambil Jakfar, sementara Nabi mengambil Ali dan membawanya ke rumahnya. Untuk selanjutnya Ali di usia keenam secara penuh berada di bawah bimbingan dan asuhan Nabi. Imam Ali as di ucapanya ketika menyebutkan hari-hari tersebut berkata,”Saya seperti anak kecil yang mengikuti ibunya, saya terus mengikuti Nabi. Ia setiap hari mengajarkanku satu keutamaan akhlaknya dan menyuruhku untuk mengikutinya.”

Imam Ali as di urusan kebaikan adalah termasuk terdepan. Setelah Nabi menerima wahyu pertamanya dan Mohammad resmi diangkat sebagai Rasul, Ali adalah lelaki pertama yang beriman. Setelah tiga tahun dakwah rahasia, peringat untuk berdakwa secara terang-terangan diturunkan kepada Nabi. Untuk menyeru keluarganya memeluk Islam, nabi mengadakan perjamuan keluarga.

Selama perjamuan ini, Rasul bertanya kepada mereka yang hadir, siapakah di antara kalian yang bersedia membantuku di jalan ini serta menjadi saudara, washi dan wakilku di antara kalian. Ali adalah satu-satunya di antara yang hadir yang berdiri dan menjawab, Wahai Rasulullah, Aku bersedia membantumu di jalan ini. Setelah tiga kali mengulang pertanyaannya dan mendapat jawaban serupa dai Ali, Nabi bersabda, wahai keluargaku! Ketahuilah bahwa Ali adalah saudara, washi danh khalifahku di antara kalian.

 

 

Ali sejak kanak-kanak hingga detik-detik akhir usia Rasul senantiasa menyertai beliau dan paling banyak yang menerima ilmu dari Nabi. Ia mendapat kehormatan sebagai sahabat Nabi paling mengerti hakikat tersembunyi dan rahasia al-Quran. Ia senantiasa berdialog dan melakukan tanya jawab dengan Nabi. Setelah bertahun-tahun pasca meninggalnya Rasul, Imam Ali berkata, “Tidak seluruh sahabat yang bertanya kepada Nabi dan mencapai pemahaman, sebagian sahabat lebih suka mengirim utusan dan bangsa Arab untuk bertanya kepada nabi dan mendapat jawabannya. Tapi Aku setiap kali terlintas sesuatu di benakku langsung bertanya kepada nabi dan mengingat jawabannya.”

Ibnu Abil Hadid, sastrawan, teolog dan ahli fiqih dari mazhab Syafii di syarah ucapan Imam Ali menulis, “ketahuilah bahwa Amirul Mukmini memiliki posisi khusus di mata Nabi yang tidak dimiliki sahabat lain; Ia kerap berkhalwat bersama Nabi di mana tidak ada yang tahu apa yang terjadi saat itu di antara meraka. Ia selalu bertanya tentang makna al-Quran dan sabda Nabi, jika Ali tidak bertanya maka nabi akan mengajarinya. Sementara tidak ada satu pun sahabat nabi yang memilik kondisi seperti ini.”

Oleh karena itu, Ali memiliki pengetahuan luas dan tinggi, sama seperti yang berulang kali diungkapkan Amirul Mukmin di atas mimbar, “Bertanyalah kepadaku sebelum aku meninggalkan kalian. Aku bersumpah, tidak ada ayat al-Quran kecuali aku mengetahui untuk siapa, di mana diturunkannya di padang pasir atau gunung. Sesungguhnya Allah telah melimpahkanku hati yang bijaksana dan lidah yang fasih.”

Terkait hal ini Ibnu Abil Hadid menulis, “Seluruh masyarakat sepakat bahwa tidak ada sahabat nabi dan juga ilmuwan yang berani mengklaim (bertanyalah kepadaku apa yang ingin kalian tanyakan sebelum kalian kehilanganku), kecuali Ali bin Abi Thalib. Yang lebih penting Imam Ali adalah orang yang selalu mengamalkan ilmunya dan ia berkata, “Wahai manusia, aku bersumpah, aku tidak memaksa kalian untuk taat kecuali sebelum kalian aku telah mengamalkannya, dan aku tidak melarang kalian untuk melakukan maksiat kecuali sebelumnya aku telah menghindarinya.”

Imam Ali lahir di Baitullah dan tumbuh besar di rumah wahyu. Ia mencapai keyakinan penuh di keimanan kepada Tuhan. Ia meyakini bahwa Tuhan mengawasi setiap kondisi dan perilakunya dan meyaksikan Tuhan dengan mata hatinya. Dengan demikian ibadahnya adalah ibadah orang-orang merdeka dan bebas yang beribadah hanyak karena Tuhan bukan karena pahala.

 

 

Terkait dengan ini Imam Ali as bersabda, “Sekelompok orang beribadah kepada Allah karena mengharap surga, ini ibadah seorang pedagang dan pencari keuntungan. Sekelompok orang menyembah Tuhan karena takut dan ini ibadah budak. Sementara sekelompok lainnya meyakini Tuhan yang paling layak disembah  dan kemudian mereka menyembahnya, ini adalah ibadah orang yang merdeka.”

Terkait ibadahnya, Imam Ali as berkata, “Aku tidak pernah beribadah kepada Tuhan karena takut atau menghadap pahala., namun Aku menyembah Tuhan karea Ia paling layak untuk disembah.” Ali menilai shalat sebagai manifestasi ibadah terbesar dan paling mendasar simbol penghambaan kepada Tuhan. Oleh karena itu, di saat kondisi paling kritis dan sulit, ia tetap menunaikan shalat di awal waktu dan tidak menundanya.

Salah satu contohnya dalah ketika terjadi perang Sifin, ia sering memandang matahari dan berhati-hati supaya tidak kehilangan shalat awal waktu. Ibnu Abbas bertanya kepada Imam Ali as, Wahai Amirul Mukminin mengapa kamu terkadang menghentikan perang dan memandang langit. Imam menjawab, Aku memandang langit supaya tidak kehilangan shalat awal waktu. Dengan takjub Ibnu Abbas bertanya, apakah anda berpikir mengerjakan shalat awal waktu di tengah-tengah tebasan pedang? Imam berkata, Untuk apa kita memerangi mereka? Apakah kita tidak memerangi mereka untuk menunaikan shalat?

Putra Ka’bah ini senantiasa bergerak dengan poros kebenaran. Imam Ali dengan segenap wujudnya adalah taat hukum dan pelaksana hukum Ilahi serta tidak berat sebelah di masalah ini. Jika seseorang melanggar hukum, tanpa mengindahkan posisi dan jabatannya, ia akan melaksankaan hukum kepada pelaku dan ia tidak menerima mediator atau syafaat.

Di sisi lain, Imam Ali sangat teliti dan disiplin serta mencegah orang lain tidak disiplin. Di akhir umurnya, Imam Ali mewasiatkan pengikutnya untuk disiplin dan mengerjakan pekerjaan di waktunya. Imam Ali bersabda, “اوصیکُم بِتَقْوَی اللّه‏ وَ نَظمِ اَمْرِکُم”

 

 

Tags