IYLEP, Strategi Infiltrasi Budaya AS (1)
-
Ilustrasi pasukan koalisi pimpinan AS di Irak.
Dennis Ross, seorang diplomat dan penulis Amerika yang bekerja selama bertahun-tahun di The Washington Institute for Near East Policy, menulis dalam sebuah artikel pada 24 Desember 2019, “Dalam situasi saat ini, metode kerja sama AS dan Irak adalah memperdalam komitmen tahun 2008 dalam Perjanjian Kerangka Kerja Strategis.”
Dalam artikel ini, Dennis Ross menyoroti peran Amerika Serikat di Irak dan pentingnya untuk mempertahankan peran itu. Dia juga menyatakan keprihatinan terhadap kehadiran dan pengaruh Iran di tengah rakyat Irak.
Pada dasarnya, intervensi AS di negara-negara kawasan selain dilakukan melalui cara-cara militer seperti serangan militer dan dukungan penuh terhadap teroris Zionis dan Daesh, juga dikejar lewat infiltrasi budaya dan media dengan tajuk berita yang menipu dan penuh kebohongan.
Salah satu bentuk intervensi ini adalah peluncuran kampanye The Iraqi Young Leaders Exchange Program (IYLEP), yang dirancang oleh Kedutaan Besar AS di Baghdad dan Kantor Kebudayaan Departemen Luar Negeri untuk dijalankan di tengah masyarakat Irak.
Program ini mengundang keprihatinan para pejabat dan ahli Irak, dan mereka sedang mencari jawaban atas pertanyaannya tentang tujuan di balik IYLEP. Mereka juga memperingatkan kerusakan nilai-nilai moral para peserta program ini. Program tersebut dikatakan sebagai bagian dari kesepakatan strategis yang ditandatangani antara Washington dan Baghdad.
Sebelum kita membahas secara detail program IYLEP, mari kita kembali ke belakang dan mencari akar penyebab munculnya kampanye tersebut.

Invasi Irak 2003 adalah salah satu peristiwa yang paling penting pada awal abad ke-21, dan merupakan awal dari penanaman pengaruh dan infiltrasi AS di negara itu. Para pemimpin AS mengumpulkan dokumen sejak Februari 2003 untuk memperoleh dukungan Dewan Keamanan PBB bagi invasi ke Irak.
Namun, AS gagal mencapai konsensus internasional untuk memulai perang melawan Irak, karena dokumen pendukung tidak kuat. Meski demikian, pada 20 Maret 2003, invasi ke Irak dimulai dengan partisipasi langsung pasukan Amerika, Inggris, dan Polandia, yang didukung oleh pasukan dari 29 negara lain.
Di tengah jalan dan untuk pertama kalinya, Presiden AS waktu itu George W. Bush menyatakan bahwa tujuannya sejak awal perang adalah mengubah rezim Irak. Pemerintahan Bush tidak memiliki program untuk Irak pasca pendudukan dan beberapa kali mengubah strateginya, karena tidak adanya pengenalan yang cukup tentang situasi sosial Irak. Aksi Bush bahkan ditentang oleh para politisi, elite dan rakyat Amerika serta banyak negara di kawasan dan dunia. Di sisi lain, tidak ditemukan bukti apapun yang menjadi dalih AS menginvasi Irak.
Setelah banjir kritik, Bush akhirnya mengakui pada 10 Januari 2007 bahwa strategi Amerika di Irak salah. Sejak tanggal itu, muncul pembahasan tentang perjanjian dan penarikan AS dari Irak serta perubahan pendekatan dari aksi militer ke diplomasi budaya dan kebijakan soft power di Irak.
Perjanjian itu didasarkan pada kerja sama antara Irak dan AS di bidang pertanian, ekonomi dan perdagangan, budaya, pendidikan, energi, kesehatan, keamanan teritorial, dalam negeri, keadilan, dan transportasi. Perjanjian ini disetujui oleh parlemen Irak pada 27 November 2008. Pendekatan baru diadopsi di Irak yang dimulai dengan penarikan sebagian besar pasukan AS pada 2011.
Diplomasi budaya diperkenalkan sebagai upaya untuk meningkatkan taraf interaksi antar-bangsa dalam rangka merancang dan membuat kesepahaman dan kesepakatan berdasarkan nilai-nilai kolektif. Menurut definisi yang lebih tepat, diplomasi budaya adalah pertukaran ide, informasi, seni, gaya hidup, sistem nilai, tradisi, dan kepercayaan untuk mencapai konsep bersama dan memperkuat toleransi antar-bangsa.

Di ranah hubungan internasional, pertukaran ini dilakukan untuk mempengaruhi politik luar negeri, dan dapat dianggap sebagai contoh nyata dari penggunaan kekuatan lunak untuk menanamkan pengaruh kepada bangsa lain.
AS memperkuat kehadirannya di Irak dan kemudian di Asia Barat dengan membangun sebuah model negara Arab yang pro-budaya Barat. Mereka ingin mempengaruhi lingkungan sosial-budaya dan mengubah budaya bangsa Irak. Bersamaan dengan kehadiran militer di Irak, AS menyiapkan kondisi untuk menerjunkan tim kekuatan lunak dan menjalankan diplomasi budaya dengan hadirnya lembaga-lembaga Amerika yang beragam di Negeri Kisah 1001 Malam ini.
Sejak 2011 dan setelah penarikan pasukan AS dari Irak, para aktivis dan lembaga diplomasi budaya dan soft power Amerika tetap berada di Irak untuk melakukan kegiatan secara luas.
“Bersamaan dengan berkurangnya kehadiran militer kami, para relawan sipil, diplomat, pekerja bantuan, dan penasihat kami datang untuk mendukung Irak,” kata Presiden Barack Obama dalam pidatonya pada 31 Agustus 2011.
Setelah AS mengakhiri kehadiran militernya di Irak, Washington pada pertengahan 2008 mengusulkan sebuah perjanjian keamanan kepada pemerintah Baghdad. Pada November 2007, Presiden George W. Bush dan Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki menandatangani nota kesepahaman tentang kerja sama jangka panjang, yang mencakup tiga pilar yaitu keamanan, politik, dan ekonomi.

Perjanjian keamanan ini – sebagai kelanjutan dari kebijakan hegemonik AS di Asia Barat – tidak hanya menempatkan Irak di bawah pengaruh langsung AS untuk waktu yang lama, tetapi juga meliputi tujuan-tujuan lain Paman Sam di kawasan.
Misalnya, Pasal 19 Perjanjian Keamanan Baghdad-Washington mencantumkan layanan dukungan yang meliputi: Pasukan militer dan sipil AS dan perwakilan mereka, serta perusahaan-perusahaan yang terikat kontrak dengan mereka, dapat mendirikan kantor dan pusat layanan, termasuk kantor pos, bank, toko sembako, apotek, dan barang lainnya, serta pusat telekomunikasi, tanpa memerlukan izin untuk mendirikan pusat-pusat tersebut.
Pasal 4 Perjanjian Keamanan Baghdad-Washington menekankan bahwa semua lembaga dan pusat layanan untuk pasukan AS, dibebaskan dari undang-undang perpajakan, termasuk pengecualian pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan 16 perjanjian. Kegiatan dan pengelolaan pusat-pusat layanan ini dilakukan menurut undang-undang Amerika.
Kajian yang cermat atas perjanjian ini menunjukkan bahwa AS telah menggantikan peran PBB di Irak, dan isi Bab VII Piagam PBB yang mengatur masalah Irak, akan langsung dilaksanakan oleh Washington. Dengan kata lain, status Irak telah menjadi salah satu dari negara bagian AS.
Pada tahun 2007, Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) secara resmi menjadi badan mitra dengan Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan AS sebagai bagian dari rencana kegiatan strategis. Sebagai salah satu instrumen utama diplomasi budaya AS, USAID setiap tahun melakukan aktivitas ekstensif di Irak untuk mempengaruhi masyarakat di bidang intelektual, budaya, ekonomi, dan politik.
Hasil riset tentang pendekatan budaya AS di Irak pada 2014 mengungkap hal-hal menarik seputar kegiatan USAID di Irak. Analisis terhadap kegiatan lembaga ini menunjukkan bahwa perwakilan USAID telah bekerja di semua bulan sepanjang tahun dan dalam berbagai format kegiatan.

Tetapi intensitas kegiatan mereka terjadi pada Februari dan Maret 2014. Sebagian besar kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk lokakarya pelatihan dan dukungan serta konsultasi. USAID memberikan perhatian khusus pada pelatihan dan pembelajaran keterampilan eksekutif serta konsultasi untuk memulai kegiatan baru.
Menariknya, fokus khusus USAID tertuju pada reformasi sistem administrasi dan eksekutif serta pemerintahan di Irak. Jadi, sasaran utama program mereka ditujukan kepada pejabat Irak. Kebijakan USAID berpijak pada sebuah prinsip bahwa untuk menciptakan pengalaman pendidikan, ia membutuhkan dukungan dari badan-badan dan lembaga Irak dalam pelaksanaan programnya. Di sini, mereka memerlukan koordinasi tingkat tinggi dengan lembaga-lembaga pemerintah di Irak.
Dalam beberapa tahun terakhir, USAID fokus memberikan pelatihan dan penguatan di bidang politik serta pelatihan keterampilan manajerial terhadap para pejabat Irak, dan lebih sedikit perhatian yang diberikan pada masalah umum seperti kesehatan. Dari sini dapat diketahui tentang prioritas-prioritas pemerintah AS di Irak. (RM)