Sepak terjang pasukan Amerika Serikat dan para agen Dinas Intelijen CIA di Afghanistan, dari sudut pandang hukum pidana internasional patut untuk diselidiki, diusut, dan diadili.
Pembunuhan, penangkapan ilegal, penyiksaan, dan kekerasan fisik terhadap warga sipil Afghanistan, hanyalah sebagian dari kejahatan perang pasukan AS yang bisa disidangkan di Mahkamah Pidana Internasional, ICC. Dakwaan ini diajukan berlandaskan prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional, HHI, dan isi empat konvensi Jenewa, beserta protokol tambahan yang jaminan pelaksanaannya tercantum dalam Statuta Roma.
Proyek agresi militer ke Afghanistan dilakukan pada Oktober 2001. Saat itu, agresi militer AS ke Afghanistan dilancarkan untuk menumpas Al Qaeda dan Taliban, berdasarkan Pasal 51 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, PBB yang menjamin hak membela diri anggota PBB jika diserang. Akan tetapi agresi militer AS itu ternyata hanya menyebabkan puluhan ribu warga sipil Afghanistan tewas, terluka dan terusir dari tempat tinggalnya. Sepak terjang pasukan AS dan ages CIA di Afghanistan, adalah bukti implementasi kebijakan resmi pemerintah Washington, pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini.
Kala itu, Pakta Pertahanan Atlantik Utara, NATO menyebut serangan teror mencurigakan 11 September 2001, sebagai serangan bersenjata terhadap negara anggotanya, dan menganggap pengiriman bantuan anggota NATO untuk menghadapi aksi itu sebagai sesuatu yang mendesak. Dukungan NATO ini awalnya dianggap memberikan hasil positif. Di awal agresi militer AS ke Afghanistan, negara ini berhasil dibebaskan dari kontrol dan kekuasaan kelompok Taliban. Akan tetapi hasil ini diperoleh dengan pembunuhan, penangkapan, interogasi, dan penyiksaan sejumlah warga sipil Afghanistan.
Menurut data resmi, sekitar 500-600 orang ditangkap dalam operasi yang dilancarkan Departemen Pertahanan AS, Pentagon karena dituduh anggota Al Qaeda atau Taliban. Padahal penangkapan luas ini tidak memenuhi standar apa pun untuk menyaring anggota Al Qaeda dan Taliban dari warga Afghanistan lainnya. Oleh karena itu sejumlah warga sipil Afghanistan ditangkap, dan disiksa karena dituduh sebagai anggota Taliban atau Al Qaeda, padahal bukan.
Kemudian, penangkapan dan penahanan anggota Taliban dan Al Qaeda di penjara AS di Guantanamo dengan dalih keamanan AS dan masyarakat internasional dari serangan mereka di masa depan, menimbulkan masalah baru. Awalnya langkah ini diambil karena diperkirakan bisa membuka kesempatan diadilinya para tahanan di komisi militer dalam kerangka perintah militer Presiden AS.
Akan tetapi di kemudian hari para perwira militer AS menyadari bahwa pengadilan para tahanan melalui cara ini tidak mungkin dilakukan karena tidak adanya bukti yang cukup. Maka dari itu Dephan AS melanggar empat konvensi Jenewa, dengan mengeluarkan perintah penangkapan warga Afghanistan tanpa bukti kejahatan, dan hal itu terus dilakukan selama mereka dianggap sebagai pasukan musuh. Realitasnya banyak warga Afghanistan yang ditangkap AS ternyata terbukti bukan anggota Taliban atau Al Qaeda, dan tidak pernah terlibat dalam perang.
Orang-orang yang seharusnya tidak boleh ditahan di penjara Guantanamo dan pangkalan udara AS di Bagram, Afghanistan memiliki hak sipil dalam konflik bersenjata dalam negeri sebagaimana diatur dalam Hukum Humaniter Internasional, HHI dan empat konvensi Jenewa beserta protokol tambahannya.
Akan tetapi kebijakan resmi pemerintah AS dalam masalah ini adalah pelanggaran nyata terhadap ketentuan HHI. Kebijakan ini sejak 20 tahun lalu sampai sekarang terus berlanjut ditandai dengan terjadinya ratusan serangan drone oleh AS terhadap pemukiman warga sipil, acara pernikahan dan acara duka. Dengan memperhatikan berlanjutnya pembunuhan terhadap warga Afghanistan, dan dengan memperhatikan Statuta Roma sebagai dasar dari Mahkamah Pidana Internasional, ICC, maka AS sebenarnya sudah masuk kategori pihak yang melakukan kejahatan perang di Afghanistan.
Pembunuhan terhadap warga sipil yang dilakukan AS di Afghanistan, penangkapan luas, penyiksaan dan kekerasan fisik terhadap mereka atas tuduhan yang tak pernah terbukti sebagai anggota Taliban atau Al Qaeda, bertentangan dengan Pasal 3 Konvensi Jenewa terkait perlakuan manusiawi terhadap tawanan perang.
Padahal pemerintah AS dan Afghanistan merupakan penandatangan empat konvensi Jenewa tersebut, dan berkewajiban untuk mematuhinya. Pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 1949 berdasarkan ketentuan Statuta Roma yang menjadi dasar ICC tahun 1998 dianggap sebagai bentuk kejahatan sehingga pelakunya, termasuk pemberi perintah dan pelaksana kejahatan, bisa diseret ke Mahkamah Pidana Internasional, ICC. Oleh karena itu penyelidikan tentang kejahatan perang AS di Afghanistan sudah dibahas di ICC meski mendapat penentangan Washington.
Pakar hukum internasional Iran. Dr. Javad Salehi mengatakan, “Pemerintah Afghanistan sejak tahun 2003 menjadi anggota ICC, dan kejahatan pasukan AS dan anggota CIA dilakukan di dalam wilayah negara ini. Meski AS merupakan negara yang paling gigih menentang ICC, dan sampai sekarang menolak menjadi anggotanya, namun hal ini tidak menghalangi pengusutan kejahatan perang AS, karena Afghanistan, lokasi terjadinya kejahatan AS, adalah anggota ICC. Dengan kata lain kejahatan perang AS di Afghanistan dapat diusut di ICC.
Kondisi ini membuka kesempatan dilaksanakannya proses peradilan terhadap para pelaku kejahatan perang di Afghanistan oleh ICC dengan bersandar pada keabsahan wilayah terjadinya kejahatan. Penyelidikan kejahatan perang yang dilakukan pasukan AS dan agen CIA di Afghanistan merupakan masalah yang sangat penting jika dilihat dari perspektif Hukum Humaniter Internasional, HHI dan kaitannya dengan kebijakan resmi AS.
Menurut Dr. Salehi, kejahatan yang dilakukan AS di Afghanistan dapat disidangkan di pengadilan ICC berdasarkan Pasal 17 dan 53 Statuta Roma. ICC berasaskan Pasal 8 Statuta Roma, berhak menangani kejahatan-kejahatan yang terjadi sepanjang konflik bersenjata internasional atau nasional. Pembunuhan, penangkapan, penyiksaan, penindasan, pemerkosaan dan kekerasan fisik lain terhadap warga sipil Afghanistan yang merupakan bagian dari kebijakan resmi pemerintah AS yang dilakukan pasukan negara itu, dan agen CIA di dalam maupun di luar wilayah Afghanistan, merupakan salah satu alasan utama dilakukannya penyelidikan oleh ICC terkait kondisi Afghanistan.
Pada kasus Afghanistan, pelanggaran berulang terhadap Pasal 8 Statuta Roma dalam bentuk perintah mantan Presiden AS George Bush. Dalam kerangka perintah eksekutif ini, penangkapan warga sipil dan teknik-teknik interogasi yang digunakan terhadap mereka, disertai pelanggaran luas atas hukum internasional. Perintah eksekutif ini diumumkan dengan nama “teknik canggih interogasi terhadap tahanan dalam perang melawan terorisme”. Kenyataannya perintah eksekutif George W. Bush ini melanggar banyak sekali Hukum Humaniter Internasional, dan Hukum Pidana Internasional termasuk pelarangan tindak penyiksaan.
Teknik interogasi yang diklaim canggih dan terus digunakan pasukan AS selama menduduki Afghanistan itu meliputi banyak cara, di antaranya penggunaan anjing dalam interogasi, memaksa tahanan telanjang, menciptakan kondisi stres dengan cara seperti menggantung kaki tahanan selama empat jam tanpa henti, menjebloskan tahanan ke sel isolasi selama 30 hari, interogasi selama 20 jam, mencegah masuknya cahaya ke kamar tahanan, menenggelamkan tahanan, menempatkan tahanan di bawah air atau udara dingin, melarang tahanan tidur, mengubah jam makan agar para tahanan kelaparan dan cara-cara yang lain. Penggunaan teknik-teknik ini jelas melanggara konvensi-konvensi Hak Asasi Manusia termasuk Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang dibuat pada tahun 1984.
Komite Palang Merah Internasional, ICRC mengonfirmasi penggunaan teknik-teknik interogasi semacam ini di pangkalan udara AS di Bagram, Afghanistan. Perilaku ini merupakan bukti penyiksaan, pelanggaran terhadap kemanusiaan, dan termasuk kategori pelanggaran atas Pasal 8 Statuta Roma. Perilaku ini oleh Committee against Torture, CAT dianggap sebagai bentuk penyiksaan, tindakan antikemanusiaan, dan pelecehan. Pendapat para anggota CAT turut membantu menyebarluaskan budaya hukum internasional terkait penyiksaan sebagai salah satu kejahatan internasional yang berdampak pada semangat menegakkan keadilan di tubuh ICC.
Teknik-teknik interogasi ini digunakan untuk memaksa para tahanan yang banyak dari mereka adalah sipil, untuk mengaku. Akibat penggunaan teknik-teknik interogasi antikemanusiaan semacam ini, lebih dari 200 orang meninggal dunia di penjara AS. Dalam laporan Jaksa Penuntut ICC disebutkan, pasukan AS sedikitnya terlibat dalam 61 kasus penyiksaan, perbuatan jahat, perilaku menindas, dan melanggar martabat kemanusiaan para tahanan di wilayah pemerintah Afghanistan mulai tanggal 1 Mei hingga 31 Desember 2014.
Masalah ini menunjukkan adanya pelanggaran tegas terhadap Hukum Pidana Internasional oleh pemerintah AS di Afghanistan. Dalam rangka melawan kekebalan hukum para pemberi perintah dan pelaku kejahatan ini, Jaksa Penuntut ICC menekankan pentingnya investigasi kejahatan perang AS di Afghanistan. (HS)