Bersama Imam Husein as; Hari Tasu’a (9)
Sudah beberapa hari di tenda-tenda kafilah Husein tidak ada tanda air, karena sejak hari ketujuh, Umar bin Saad menutup air bagi mereka.
Hari ini, hari kesembilan bulan Muharram dan dikenal dengan Hari Tasu’a. Imam Shadiq as berkata, “Tasu’a adalah hari di mana Husein dan pengikutnya dikepung di Padang Karbala, dan pasukan Syam mengelilinginya serta mencegahnya bergerak. Dan anak Marjanah (Ibnu Ziyad) dan Umar bin Saad di hari itu sangat gembira karena memiliki pasukan besar dan Husein serta pengikutnya lemah. Mereka yakin bahwa Husein tidak lagi memiliki penolong dan rakyat Irak tidak akan menolongnya.”
Sudah beberapa hari tidak ada air di tenda kafilah Husein, karena sejak hari ketujuh, Umar bin Saad menutup air bagi mereka. Anak-anak kehausan. Tekanan ini dimaksudkan supaya Husein terpaksa berbaiat kepada Yazid, khalifah yang tak layak dan fasiq, yang memberi kesesatan dan kesengsaraan kepada rakyat. Husein tidak pernah bersedia menerima baiat ini dan mengatakan, “Mati dengan hormat lebih baik dari hidup penuh kehinaan.”
Shimr ibn Dhi 'l-Jawshan dengan empat ribu pasukan bergabung dengan pasukan Umar bin Saad, dan memberikan surat Ibnu Ziyad kepada Umar. Di surat tersebut, kekejaman Yazid tidak lagi disembunyikan. Ia menulis, “Umar ! Aku tidak mengirimmu untuk berdamai dengan Husein. Kini ketika suratku tiba, jika Husein mengabaikan usulan kami, maka seranglah dia. Bunuh dia beserta pengikutnya. Setelah kamu bunuh, mutilasi mereka. Setelah kamu bunuh Husein dan pengikutnya, injak-injaklah tubuh mereka dengan kuda. Aku tahu bahwa setelah mati, mengirim kuda untuk menginjak-injak tubuh mereka tidak ada manfaatnya, tapi karena sudah terlanjur keluar dari mulutku, maka harus kamu lakukan dan jika kamu memperhatikan ucapanku ini, maka kamu terhormat disisiku.”
Menyusul surat ini, pergerakan pasukan Umar bin Saad di Padang Karbala meningkat drastis. Mereka karena tidak berhasil membuat Husein menyerah, maka mereka siap berperang. Imam Husein as mengirim saudaranya, Abbas kepada mereka. Ketika menyadari keinginan perang mereka, Imam kembali mengirim Abbas kepada mereka dan berkata, “Saudaraku, minta waktu satu malam kepada mereka. Allah mengetahui bahwa aku sangat mencintai shalat, membaca al-Quran, doa dan istighfar.”
Shimr dari kabilah Bani Kilab dan memiliki hubungan famili dengan ibu Abbas, saudara Imam Husein as. Ia mengirim surat pengampunan dan jaminan keamanan kepada Abbas dan saudaranya, sehingga mereka terpisah dari pasukan kebenaran. Abbas, sang pembawa bendera epik Karbala dan legenda keberanian dan kebijaksanaan serta sangat cinta kepada Husein, kepada Shimr berkata, “Aku tidak akan berpisah dari Husein! Sungguh celaka kamu! Celaka kamu dan persetan dengan surat jaminan keamananmu ! Semoga Allah melaknat kalian dan surat jaminanmu ! Kami aman, tapi anak putri Rasulullah tidak.”
Mentari di hari kesembilan bulan Muharram (Tasu’a) bersinar dan kemudian kegelapan malam tiba. Imam Husein as mendatangi sahabatnya untuk menyempurnakan hujjahnya bagi mereka. Setelah memuji Tuhan, Imam berkata, “Sadarilah bahwa aku mengijinkan kalian untuk pergi; Pergilah kalian dan aku lepas baiat dari pundak kalian dan aku tidak memiliki perjanjian denganmu tentang diriku sendiri. Kini malam telah tiba dan dapat menutupi diri kalian; Gunakan kegelapan malam untuk melarikan diri dan berpencarlah kalian.”
72 pahlawan pasukan Husein as yang memiliki pengetahuan dan kebaikan khusus, sangat mencintai Imam dan menunjukkan kesetiaan dan pengorbanan di jalan Imam.
Ketika Imam kembali ke tenda, dihadapan pandangan khawatir Sayidah Zainab berkata, “Aku bersumpah, aku menguji mereka dan aku menemukan mereka sebagai lelaki yang menjadikan dadanya sebagai perisai, seakan-akan mereka menyaksikan kematian di pelupuk mata dan kematian di jalanku seperti bayi yang menyusu.”
Hubungan menakjubkan pengikut Imam Husein dengan beliua yang ditulis dengan tinta emas di sejarah adalah hasil dari sikap konsisten terhadap janji dan pakta ilahi serta iman mereka terhadap pilihan jalan dan tujuannya. Memenuhi dan konsisten dengan janji indikasi keagungan ruh dan hal ini meningkatkan kelezatan hidup sejati manusia. Konsisten dengan janji adalah bawaan murni dan berharga di epik Huseini. Bawaan yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan lalai akan hal ini akan membuat kejatuhan manusia.
Allah Swt di ayat ke-23 dan 24 Surah al-Ahzab menyebutkan salah satu indikasi iman adalah komitmen dengan janji dan pakta. Allah berfirman yang artinya, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya), supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Imam Husein as membaca ayat ini di hari Asyura saat menyebutkan sifat para sahabat dan pengikutnya.
Kepastian dan keyakinan yang teguh pada janji dan imbalan ilahi juga merupakan hak istimewa para sahabat Imam Husein as. Mereka yakin bahwa mereka telah mengambil langkah menuju kemakmuran dan keselamatan, dan bahwa posisi tinggi menanti mereka. "Kepastian" disebut sebagai rukun iman dan sebagai ciri utama para sahabat Imam Husein as dalam insiden Karbala dan mengabadikan penciptaan epik ini. Apa yang ada di gurun Karbala juga di medan perang lainnya, tetapi unsur kepastian dalam diri para sahabat Husein membuat semua orang menyaksikan semua keindahan dan pengorbanan diri di Karbala ini.
Pada hari Asyura, Amr ibn Khalid berkata kepada dirinya sendiri selama pertempuran: "Hai jiwa, pindah ke Yang Maha Penyayang, beri Anda kabar baik kemudahan dan kehidupan yang mudah, pada hari itu (kebangkitan) Anda akan dibalas dengan kebaikan."
Di antara pengikut Imam, Sayidina Abbas terkenal dengan sifat pengorbanan dan kesetiaannya. Orang-orang ketika hari Tasu’a tiba, mereka teringat keagungan dan sifat ksatria Abbas. Sosok yang terdidik dengan keberanian di bawah pendidikan ayahnya dan unggul di bidang kebaikan dan sifat mulia. Di Karbala, ia pembawa bendera pasukan Husein. Di pasukan ini, ia bertugas mengawal dan melindungi saudaranya, penjaga tenda dan sandaran pasukan Husein. Ia juga bertanggung jawab menjaga keamanan dan kesejahteraan keluarga Ahlul Bait as. Selama Abbas hidup, wanita dan anak-anak di tenda akan merasa aman, karena musuh ketika melihat Abbas mereka ketakutan serta tidak berani mendekati tenda kafilah Husein.
Sayidina Abbas terlepas dari hubungan persaudaraan, meyakini Imam Husein as sebagai pemimpin dan imamnya, dan dengan iman terhadap kebenaran jalan dan tujuan Imam, ia tidak pernah lalai menyertai junjungannya ini dan membelanya. Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei terkait kesetiaan Sayidina Abbas mengatakan, “Kesetiaan Abul Fadh Abbas semakin terkuak di kasus ini, di Furat dan sikapnya yang tidak bersedia meminum air meski air Furat ada didepannya...Seperti diriwayatkan bahwa saat ini dan di detik-detik terakhir, anak-anak kecil, anak perempuan serta penghuni tenda Husein sangat kehausan...Rasa dahaga ini memaksa mereka meminta air kepada Imam Husein dan Abbas..Imam dan Abbas pergi ke sungai Furat untuk mengambil air. Kedua saudara pemberani ini saling melindungi dan berperang.....
“....Satu sisi Imam yang mendekati usia 60 tahun, tapi dari sisi keberanian dan kekuatan, ia sangat terkenal. Dan yang lainnya, seorang pemuda 30 tahun lebih, Abul Fadhl Abbas dengan karakteristik yang dikenal semua orang. Kedua saudara ini saling melindungi dan menyerang pasukan musuh serta membongkar blokade musuh untuk pergi ke sungai Furat dan mengambil air. Di kondisi seperti ini, Abbas semakin dekat dengan air dan sampai ke pantai. Seperti disebutkan diriwayat, Abbas memenuhi tempat air untuk anak-anak dan wanita di tenda Husein. Di sana pasti tidak ada yang mencela jika ia meminum seteguk air, karena ini adalah haknya dan ia sangat kehausan juga. Tapi di kondisi, Abbas menunjukkan kesetiaannya. Abbas ketika mengambil air, saat matanya memandang air, ia memikirkan saudaranya Husein yang tengah kehausan, ia ingat bibir kering Husein, mungkin ia ingat teriakan kehausan anak perempuan dan anak-anak lain di tenda, mungkin juga ia teringat tangisan kehausan Ali Asghar (anak Imam Husein yang baru berusia enam bulan), dan hatinya tidak ingin meminum air. Ia menumpahkan air di tangannya. Saat itulah tragedi terjadi pada Abbas hingga guhur syahid.”