Genosida Muslim Rohingya di Myanmar (18)
Aung San Suu Kyi, putri Jend. Aung San, pejuang kemerdekaan Myanmar dari penjajahan Inggris dan Jepang selama perang dunia kedua. Jend. Aung San memantapkan posisinya sebagai pemimpin kemerdekaan.
Aung San Suu Kyi tumbuh besar di keluarga semacam ini dan di rentang waktu tertentu, ketika para jenderal berkuasa di Myanmar melalui kudeta, ia bangkit melawan para jenderal demi kebebasan dan setelah lebih dari dua dekade berjuang, dipenjara dan menjadi tahanan rumah, akhirnya ia mendapat penghargaan hadiah Novel Perdamaian kerena perjuangannya menuntut kebebasan di Myanmar.
Namun demikian sikap Suu Kyi terkait pembantaian Muslim Rohingya tidak selaras dengan gelarnya sebagai pejuang kebebasan, baik dari sisi keluarga maupun pribadinya. Ada berbagai alasan mengapa Sochi jatuh ke dalam jurang yang sangat tidak sesuai dengan ekspektasi dunia, dan pada akhirnya dia menghadapi kudeta di Myanmar pada tahun 2021 dan dilengserkan dari kekuasaan. Kehidupan kampanye Suu Kyi dapat dibagi menjadi dua bagian, terkait dengan dua periode perjuangan pembebasan, pemenjaraan dan tahanan rumah di mana dia dianugerahi Hadiah Nobel, dan periode setelah sebagian hasil perjuangannya.
Bahkan dapat dikatakan bahwa pada periode kedua kehidupan Suu Kyi perilakunya dalam menghadapi pembantaian Rohingya menjadi dipertanyakan dan sangat mempengaruhi opini publik di dunia. Pada periode kedua inilah Suu Kyi tidak lagi menjadi pejuang untuk pembebasan negaranya, dan dalam kaitannya dengan bagian masyarakat di mana dia menghabiskan dua puluh dua tahun di bawah tahanan rumah, yakni Muslim Rohingya, ia memilih sebuah posisi yang harmonis dengan etnis Buddha garis keras dan jenderal Militer serta dari sisi, ia telah jatuh. Kejatuhan dari nilai-nilai kemanusiaan ini memiliki alasan politik tersendiri dan berkaitan langsung dengan kekuasaan.
Pada tahun 2016, Suu Kyi memenangkan pemilihan parlemen sebagai ketua Partai Liga Nasional untuk Demokrasi dan berkuasa. Tetapi karena suaminya adalah orang asing, dia tidak dapat secara hukum menjadi perdana menteri, tetapi partainya mengambil alih kekuasaan. Periode kedua kehidupan politik Suu Kyi sebenarnya dimulai saat ini, dan dia tidak dapat mencegah genosida Rohingya di Negara Bagian Arakan, bertentangan dengan harapan dunia, yang menganggapnya seorang libertarian dan mendapat dukungan dari opini publik pada awalnya. Ini adalah tren bahwa pada tahun 2017, ketika tentara mengintensifkan pembersihan etnis dan kebijakan genosida terhadap Muslim Rohingya, Suu Kyi memihak militer dan bahkan tidak tinggal diam dan mendukung pembunuhan tersebut.
Semua orang di masa lalu yang mendukung perjuangan pembebasan Suu Kyi tiba-tiba terkejut dan benar-benar kecewa. Namun, kenyataannya adalah bahwa ia memiliki perhitungan politiknya sendiri mengenai mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Menurut dia, mayoritas agama Buddha menjamin terpeliharanya kekuasaan, bukan dukungan minoritas Muslim Rohingya yang dianggap etnis Bangladesh oleh militer dan ekstrimis Budha dan menafikan Rohingya sebagai salah satu dari 144 kelompok etnis Myanmar lainnya. Suu Kyi memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian karena mengklaim bahwa dia berjuang untuk kebebasan rakyatnya, tanpa memandang ras, agama, atau warna kulit.
Namun, tampaknya sikap anti-Rohingya Suu Kyi tidak dapat dijelaskan dengan perhitungan politik, mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan saja. Dia sendiri adalah seorang Buddhis dan telah dipengaruhi oleh aliran radikal Buddhisme. Arus ekstremis yang secara signifikan bertentangan dengan ide-ide pasifis Buddhisme dan telah jelas mengambil bentuk kebencian terhadap Muslim dan pembunuhan minoritas Muslim. Ironisnya, arus sesat ini merupakan salah satu ide damai Buddhisme, yang meski minoritas, namun memiliki tingkat pengaruh yang tinggi. Suu Kyi telah menemukan minatnya dalam komunitas Buddhis ini.
Pendekatan ini menuai kritik di seluruh dunia. Kenneth Roth, direktur Human Rights Watch, mengungkapkan ketidakpuasannya dengan sikap Suu Kyi dalam mendukung pembunuhan Muslim Rohingya dan mengatakan, “Ketika Suu Kyi memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian atas perlawanannya terhadap penindasan, Kami mengaguminya. Tapi sekarang, dengan mendukung genosida Muslim Rohingya, itu telah menjadi simbol partisipasi dalam kejahatan militer dan ekstremis Buddha serta anti-Muslim Rohingya.”
The New York Times, dalam sebuah artikel analitis yang mengacu pada pembantaian Rohingya pada tahun 2017, menggambarkan posisi pendukung Suu Kyi sebagai hal yang memalukan dan menyatakan penyesalan bahwa dia telah mendukungnya selama perjuangan pembebasannya. Kami dulu bangga mendukung Anda, tapi sekarang apa ? Sungguh memalukan bahwa Anda sekarang menjauhkan diri dari nilai-nilai dan standar manusia dan berdiri di samping mereka yang membunuh orang. Anda menggunakan kebebasan Anda untuk mengabaikan pembunuhan orang.
Reaksi dunia terhadap perlakuan tidak manusiawi Suu Kyi begitu kuat sehingga mereka menuntut agar Hadiah Nobel Perdamaiannya dicabut. Sebanyak 400.000 orang menandatangani petisi online yang menyerukan Suu Kyi mengembalikan Hadiah Nobel Perdamaian. Sejumlah pemenang Hadiah Nobel Perdamaian juga menghimbau kepada penerima perdamaian Suu Kyi mengembalikan hadiah tersebut. Kenneth Roth, direktur Human Rights Watch, menyebut sikap Suu Kyi terhadap Muslim Rohingya pengecut dan bergabung dengan barisan mereka yang mencari penarikan Hadiah Nobel Perdamaian dari Suu Kyi. Tekanan publik meningkat sedemikian rupa sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta Suu Kyi untuk mengembalikan Hadiah Nobel Perdamaiannya.
Faktanya Suu Kyi berubah dari politikus pejuang kebebasan yang bersedia menanggung berbagai kesulitan menjadi politikus yang mengekor kebijakan dan program ilegal militer serta kubu ekstrimis Budha. Namun pendekatan ini bahkan tidak mampu menyelamatkan pemerintahannya dari kemarahan militer dan ia di tahun 2021 menghadapi kudeta militer. Suu Kyi menyimpang dari tolok ukur moral untuk menyelamatkan dirinya dan telah membayar biaya yang sangat mahal. Bahkan Desmond Tutu, uskup Afrika Selatan di surat protesnya kepada Suu Kyi menulis, “Jika biaya untuk naik kekuasaan di Myanmar adalah bungkam, maka saya harus katakan bahwa harga ini sangat berlebihan.”