Fungsi dan Peran Masjid (19)
Sebelumnya, kami telah menjelaskan secara singkat mengenai kegiatan dakwah dan ilmiah Nabi Muhammad Saw di masjid. Dalam berbagai kesempatan, beliau menyampaikan khutbah dan nasehat di tempat suci ini. Khutbah Nabi Saw umumnya tentang prinsip-prinsip pendidikan agama.
Ceramah-ceramah ini tentu saja sesuai dengan taraf pendidikan masyarakat, dan bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan meningkatkan pengetahuan mereka.
Rasulullah Saw sangat memperhatikan masalah pendidikan dan penyebaran ilmu pengetahuan dan perjuangan memberantas buta huruf. Begitu tiba di Madinah, beliau meminta orang-orang melek huruf untuk aktif di bidang pendidikan masyarakat. Oleh karena itu, Abdullah bin Sa'id dan Ubadah bin Samit – dua juru tulis yang hebat – mendirikan sebuah pusat yang mirip dengan pusat literasi pada masa sekarang. Selanjutnya, kaum Muslim mulai belajar membaca dan menulis.
Menarik untuk diketahui bahwa setelah Perang Badr, sesuai dengan peraturan perang, para tawanan dapat membebaskan dirinya dengan menyerahkan 4.000 dinar sebagai fidyah (tebusan untuk membebaskan seorang tahanan atau tawanan perang). Nabi Saw memerintahkan para tawanan yang tidak mampu membayar fidyah, untuk mengajari baca-tulis kepada 10 orang penduduk Madinah dan mereka akan dibebaskan.
Nabi Saw menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan kaum Muslim demi menyebarluaskan kalimat tauhid dan agama Islam. Beliau sendiri duduk di masjid di Madinah untuk mengajari para sahabat. Ubay bin Ka'ab berkisah, "Aku pergi ke masjid Nabi dan menyaksikan seorang pria sedang membaca al-Quran. Aku bertanya siapa yang mengajarimu membaca? Dia menjawab, Rasulullah." Safwan bin Ghassan juga berkata, "Aku datang menemui Rasulullah di masjid dan aku berkata, Wahai Rasulullah, aku datang untuk belajar. Beliau menjawab, "Terpujilah orang yang mencari ilmu."
Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, kegiatan belajar-mengajar terus berlanjut terutama pengajaran al-Quran dan tafsirnya. Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas'ud, dan beberapa sahabat lainnya mengajari tafsir al-Quran dan menjelaskan makna-maknanya di masjid-masjid di kota Madinah. Mereka adalah ahli tafsir generasi pertama, di mana menafsirkan makna-makna ayat al-Quran dengan menggunakan riwayat dan sunnah Nabi Saw kepada kaum Muslim.
Seiring berjalannya waktu dan penaklukan daerah-daerah lain, kota-kota besar mulai dibangun seperti Kufah dan Basrah di Irak dan Fustat di Mesir. Bangunan yang paling penting di kota-kota baru tersebut adalah masjid jami'. Masjid Jami' adalah masjid yang didirikan di setiap kota untuk kegiatan keagamaan masyarakat dan tempat untuk mendirikan shalat berjamaah, shalat Jumat, dan Idul Fitri dan semisalnya. Itu sebabnya dibangun lebih besar dari masjid-masjid lain. Masjid Kufah, misalnya, pada awal berdirinya, mampu menampung 40.000 orang.
Ilmu agama diajarkan di masjid selama abad pertama dan juga dekade-dekade pertama abad kedua Hijriyah. Sang guru duduk di sebuah sudut masjid dan para siswa mengelilingi dia, dan kemudian memunculkan istilah hauzah ilmiah. Banyak dan sedikitnya jumlah siswa tergantung pada tingkat keilmuan, metode pengajaran, dan akhlak seorang guru.
Jalaluddin as-Suyuthi, seorang ilmuwan besar Muslim asal Mesir, dalam bukunya Al Itqan fi Ulumul Quran menulis, "Abdullah bin Abbas duduk di Masjidil Haram, sementara orang-orang duduk mengitarinya dan ia menafsirkan al-Quran dan mengajari ilmu-ilmu agama." Setiap hari Jumat, Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as juga mengajarkan hadis, tafsir al-Quran, dan pelajaran akhlak kepada masyarakat di Masjid Nabawi. Beliau menggunakan masjid sebagai pusat kegiatan ilmiah dan kelas mengajar.
Imam Muhammad al-Baqir as juga mengajar di Masjid Nabawi, sementara para muridnya bertanya kepadanya tentang berbagai persoalan ilmiah. Imam Jakfar Shadiq as juga mengajarkan berbagai disiplin ilmu seperti, yurisprudensi, tafsir al-Quran, dan juga pelajaran-pelajaran lain yang dibutuhkan oleh kaum Muslim. Hauzah ilmiah Imam Shadiq adalah pusat pendidikan yang paling besar dan bergengsi pada zaman itu, di mana memiliki hampir 4.000 murid.
Sejarah Masjid Amru Ash dan Masjid Ibn Tulun di Mesir
Pada kesempatan ini, kami akan memperkenalkan masjid tertua di benua Afrika yaitu Masjid Amru Ash, dan kemudian Masjid Ibn Tulun. Masjid Amru Ash adalah nama sebuah masjid yang dibangun oleh Amru bin Ash tahun 21 Hijriyah di kota Fustat, Mesir. Ia adalah masjid tertua di benua Afrika dan disebut sebagai Taj al-Jawami. Masjid ini merupakan masjid ke-14 yang dibangun dalam Islam. Di antara para ulama yang mengajar dan menyampaikan khutbah di masjid ini adalah Imam Syafi'i, Layth Ibn Sa'd al-Fahmi, Abu Tahir Salafi dan Ibnu Hisyam.
Amru bin Ash menaklukkan Mesir atas perintah khalifah kedua. Sebelum menyerang kota Alexandria, di barat laut Sungai Nil, ia membangun tenda-tenda di pantai timur sungai tersebut. Menurut legenda, kesempatan itu digunakan oleh seekor burung merpati untuk bertelur di atas tenda Amru bin Ash, dan selama ia bertempur, tenda tersebut tidak tersentuh oleh musuh. Setelah kembali dari perang, ia menetapkan lokasi sarang merpati tadi sebagai pusat kota baru dan ibukota Mesir, dan menamakannya dengan Fustat atau kota tenda. Belakangan, Masjid Amru Ash dibangun di tempat bekas sarang merpati tersebut.
Bangunan utama masjid adalah sebuah persegi panjang yang sederhana. Pilar-pilarnya terbuat dari batang pohon kurma, sementara dindingnya dibangun dari batu dan tanah liat, dan atap masjid menggunakan daun kurma. Masjid ini begitu besar sehingga semua tentara Islam di Mesir mendirikan shalat di sana. Tentu saja, Masjid Amru Ash, seperti semua masjid yang dibangun sebelumnya, tidak memiliki menara. Tapi selama era Mu'awiyah, empat menara ditambahkan ke bangunan masjid ini dan diperluas hingga dua kali lipat.
Masjid Amru Ash untuk pertama kalinya pada tahun 853 M, rusak dan dibakar setelah serangan Byzantium. Tapi masyarakat Muslim membangunnya kembali dan memperluas bangunannya. Pemugaran selanjutnya kembali ke Dinasti Ayyubi. Salahudin al-Ayyubi membangun kembali masjid tersebut dari awal. Namun selama Perang Salib, masjid ini dijadikan sebagai gereja dan kembali difungsikan sebagai masjid setelah penaklukkan oleh umat Islam.
Masjid Amru Ash begitu banyak mendapat perhatian dari kalangan pemerintah, dari masa pemerintahan Khulafaul Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Ayubiyyah, Dinasti Mamalik, sampai Dinasti Usmaniyah. Masjid Amru Ash bukan hanya tempat untuk shalat, tetapi juga menjadi pusat pendidikan Islam pertama di benua Afrika.
Masjid lain yang kami perkenalkan pada sesi ini adalah Masjid Ibn Tulun di Kairo. Masjid ini setelah Masjid Amru Ash di Fustat, adalah masjid tertua di Mesir yang masih utuh dalam bentuk aslinya. Sejarawan al-Maqrizi mencantumkan tanggal mulai konstruksi masjid pada tahun 876 M, dan prasasti di masjid tersebut mencatat tanggal penyelesaiannya pada tahun 878 M.
Masjid Ahmad Ibn Tulun, yang populer sebagai Masjid Jami' Ahmad Ibn Tulun, adalah salah satu masjid tertua Mesir yang masih menyimpan tekstur kunonya. Masjid ini dianggap sebagai masjid ke-3 yang dibangun untuk seluruh masyarakat atau untuk kepentingan shalat Jumat. Ia adalah contoh langka dari seni dan arsitektur periode klasik Islam.
Menara masjid ini tersebut adalah satu-satunya menara tua di Mesir, yang berbentuk seperti siput, menyerupai menara besar di masjid Samarra, Irak. Abu al-Abbas Ahmad Ibn Tulun adalah penduduk Samarra. Dia menjadi gubernur Mesir pada masa pemerintahan Mu'taz Billah Abbasi, dan memerintahkan pembangunan masjid jami' di Mesir.
Masjid Ahmad Ibn Tulun dibangun di pinggiran Fustat di atas Jabal Yashkur. Menurut beberapa catatan, dia meminta para arsitek untuk membangun sebuah masjid yang tidak akan hancur oleh kobaran api atau banjir. Dan jika Mesir terbakar atau banjir, masjid itu akan tetap aman. Oleh karena itu, para arsitek menggunakan batu bata merah untuk membangun masjid ini. Mereka menggunakan tiang-tiang batu bata untuk menopang atap dan menaranya.
Di tengah halaman masjid, dibangun sebuah kubah dengan jendela-jendela yang dibiarkan terbuka, dan kubah ini ditopang oleh 10 tiang marmer. Di atas kubah ini dipasang sebuah jam matahari, sementara di sekitar kubah terdapat ventilasi udara kecil yang terbuat dari kayu. Masjid Ibn Tulun dianggap sebagai salah satu masjid terbesar di Mesir yang seluruh luas permukaannya melebihi 26.318 meter persegi, dan terbuat dari batu bata merah. (RM)