Okt 20, 2018 10:25 Asia/Jakarta
  • Ruangan ini diperkirakan menjadi tempat tinggal Ashab al-Suffah di masa lalu.
    Ruangan ini diperkirakan menjadi tempat tinggal Ashab al-Suffah di masa lalu.

Masjid adalah tempat yang tepat untuk berbagai kegiatan keagamaan seperti, menyampaikan khutbah dan siraman rohani, membaca al-Quran, melaksanakan ritual-ritual agama, melakukan i'tikaf dan sebagainya.

Tempo dulu, masjid juga menjadi tempat berteduh bagi orang asing, orang miskin dan gelandangan. Setiap ada orang asing atau perantau masuk ke satu daerah, masjid akan menjadi tempat berteduh baginya. Pada permulaan Islam, kaum muslim yang hijrah ke Madinah dan tidak memiliki tempat tinggal, berlindung di masjid.

Mereka tinggal di sebelah utara Masjid Nabawi, di sebuah tempat yang luas dan beratap di luar masjid, namun masih terhubung ke masjid dengan nama al-Suffah, yaitu beranda atau tempat berteduh. Para muhajirin yang tinggal di sana kemudian dikenal sebagai Ashab al-Suffah, dan mereka menjadi teladan dari pola hidup sederhana dan meninggalkan kemegahan dunia demi akhirat.

Di siang hari, Ashab al-Suffah berlindung di bawah atap untuk menghindari teriknya matahari, tapi di malam hari mereka bisa tidur di mana saja di masjid. Tentu saja, sebagaimana kita tahu, masjid atau rumah Allah Swt memiliki kesucian, dan jika tidak darurat, kita tidak boleh tidur di tempat suci ini. Dalam sebuah hadis, Rasul Saw bersabda, "Siapa saja yang tidur di masjid tanpa uzur, Allah akan menimpanya sebuah penyakit, yang tidak memiliki penawar." (Mustadrak al-Wasail wa Mustanbat al-Masail, jilid 3. Bab ahkam al-Masjid, riwayat ke-3)

Tidur di tempat-tempat yang paling suci seperti Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, akan memiliki derajat makruh yang lebih besar. Namun, perlu dicatat bahwa kasus tidurnya Ashab al-Suffah di masjid, tidak bertentangan dengan hukum Islam ini, karena mereka termasuk dari golongan muslim yang telah kehilangan segalanya setelah hijrah ke Madinah. Mereka memilih masuk Islam dan menerima hidup miskin. Oleh karena itu, keberadaan Ashab al-Suffah di masjid memiliki uzur syar'i dan darurat.

Masjid adalah rumah berteduh bagi orang asing dan miskin. Tapi, bagaimana pun, ia bukan tempat untuk mengemis dan meminta-minta. Karena Rasulullah Saw melarang Ashab al-Suffah dan orang miskin untuk meminta-minta di masjid. Dalam banyak riwayat, Islam melarang keras perbuatan mengemis di masjid dan secara terang-terangan meminta sedekah kepada masyarakat, sebab masjid adalah tempat khusus untuk kegiatan ibadah dan ritual keagamaan.

Jadi mengemis di masjid ketika waktu shalat atau bukan, bertentangan dengan fungsi masjid itu sendiri. Namun, harus dibedakan antara hukum "mengemis dan meminta-minta" dengan hukum "bersedekah kepada peminta-minta." Dalam sebuah riwayat disebutkan, seorang fakir masuk ke masjid dan meminta-minta kepada orang yang ada di sana. Namun tak seorang pun memberikan sesuatu kepadanya. Waktu itu, Imam Ali as sedang melakukan shalat dan ketika sedang ruku', beliau memberikan cincin-nya kepada si fakir tersebut. Allah Swt kemudian menurunkan ayat 55 surat al-Maidah kepada Nabi Saw sebagai pujian atas perbuatan tersebut.

Selain itu, Islam juga tidak melarang kegiatan mengumpulkan bantuan, sedekah, dan infak masyarakat di masjid untuk membantu fakir-miskin, karena ini tidak termasuk kategori mengemis, tapi merupakan bentuk kepedulian dan bantuan kepada sesama.

Masjid Jami' al-Kabir Sana'a.

Sejarah Masjid Jami' al-Kabir Sana'a, Yaman

Pada kesempatan ini, kami akan mengenalkan Masjid Jami' al-Kabir di Ibukota Yaman, Sana'a. Menurut riwayat, Rasulullah Saw pada abad keenam Hijriyah (630 M), sebelum penaklukan Mekkah, memerintahkan pembangunan Masjid Jami' al-Kabir di Kota Tua Sana'a. Para sejarawan berkata, Nabi Saw sendiri telah menetapkan secara akurat batasan masjid dan arah kiblat.

Untuk itu, masjid tersebut dianggap sebagai tempat ibadah tertua di era Islam, dan merupakan masjid pertama yang dibangun di Yaman. Penggalian arkeologi menemukan beberapa sisa peninggalan masjid yang masih utuh dan tidak berubah. Beberapa arkeolog percaya bahwa masjid tersebut dibangun di samping reruntuhan Istana Ghumdan. Istana ini dianggap sebagai salah satu ikon paling populer di Yaman, di mana para perawi berbeda pendapat tentang pendiri Istana Ghumdan. Sekelompok orang percaya istana ini dibangun oleh Sulaiman Ibn Daud untuk Ratu Balqis.

Walid Ibn Abdul Malik, dari Khalifah Umayyah, memperluas Masjid Jami' Sana'a pada tahun 79 Hijriyah (707 M). Selanjutnya, bagian-bagian baru ditambahkan ke bangunan asli masjid dari waktu ke waktu. Seperti bangunan lainnya di Kota Tua, dinding masjid ini dibangun dari batu bata berwarna cokelat dengan jendela qamariya dan dengan pinggiran berwarna putih.

Masjid Jami' al-Kabir ini memiliki dua menara yang terletak di sisi timur dan barat, dan keduanya direnovasi pada abad ke-12 Masehi. Masjid ini juga memiliki tiga perpustakaan besar. Perpustakaan pertama disebut al-Maktabah al-Sharqiyah dan dibangun pada masa pemerintahan Yahya Hamiduddin, pemimpin Zaidiyah Yaman yang paling kuat, pada abad ke-20. Yang kedua adalah perpustakaan al-Maktabah al-Gharbiyah untuk menyimpan berbagai manuskrip. Kedua perpustakaan ini berada di sudut selatan masjid.

Perpustakaan ketiga atau yang terbaru disebut Maktabah al-Auqaf, untuk menyimpan manuskrip Islam yang paling langka di dunia dan beberapa naskah al-Quran tertua. Manuskrip-manuskrip ini meliputi teologi, yurisprudensi, ulumul Quran, tafsir, hadis, sejarah, kamus bahasa Arab, kitab-kitab sastra, sejarah, politik, filsafat, mantik, astronomi, kedokteran dan pertanian.

manuskrip.

Masjid tua ini menyimpan sekitar 15.000 keping kulit yang bertuliskan 950 naskah Quran kuno. Harta karun ini diperoleh pada tahun 1972 ketika merenovasi sisi barat Masjid Jami' Sana'a yang hancur akibat diterjang banjir hebat. Pada 1972, pekerja yang merenovasi dinding di loteng masjid, menemukan sejumlah besar manuskrip kuno. Mereka tidak menyadari apa yang mereka temukan dan mengumpulkan dokumen-dokumen tersebut, dan memasukkannya ke dalam 20 karung kentang, kemudian meninggalkannya di salah satu tangga menara masjid.

Beberapa manuskrip tersebut merupakan contoh langka yang ditulis dalam bahasa Arab Hijazi awal. Walaupun bagian-bagian yang ditemukan ini berasal dari sebuah al-Quran tertua yang pernah ditemukan, bagian-bagian ini juga merupakan sebuah palimpsest, dengan tulisan-tulisan baru yang menggantikan versi al-Quran yang bahkan lebih tua lagi.

Khat yang digunakan populer dengan nama Hijazi, karena Mekkah dan Madinah – sebagai pusat penulisan al-Quran – berada di Tanah Hijaz. Khat Hijazi sudah digunakan pada saat kemunculan Islam. Hijazi ialah skrip melengkung, mudah, dan biasanya tanpa tanda diakritik (tanda baca tambahan). Khat Hijazi sudah sangat langka dan beberapa museum di seluruh dunia masih menyimpan beberapa lembar dari model khat ini.

Ada beberapa peninggalan dengan khat Hijazi yang ditemukan di Masjid Agung Sana'a. Tentu saja, sebagian besar manuskrip di masjid tersebut menggunakan khat Kufi. Di antara koleksi manuskrip di Masjid Agung Sana'a, ditemukan sebuah salinan Quran dengan tulisan tangan Imam Ali ibn Abi Thalib as, Zaid ibn Tsabit, dan Salman al-Farisi dalam dua bagian, masing-masing terdiri dari 150 halaman dengan khat Kufi yang besar dan tanpa tanda baca.

UNESCO telah merilis sebuah CD berisi beberapa manuskrip kuno Sana'a sebagai bagian dari program Memory of the World. CD ini memperkenalkan lebih dari 40 manuskrip al-Qur'an dari abad pertama Hijriyah baik khat Hijazi maupun khat Kufi. Perlu dicatat bahwa para orientalis – yang mengklaim al-Quran telah berubah sepanjang sejarah – dengan mengamati manuskrip ini, mereka akan memahami bahwa al-Quran tetap terjaga sepanjang sejarah tanpa perubahan sedikit pun. (RM)