Fungsi dan Peran Masjid (42)
Masjid pertama dalam Islam berdiri ketika Rasulullah Saw sedang memerangi kaum musyrik. Dengan demikian, masjid memainkan fungsinya sebagai pusat untuk perjuangan dan jihad melawan musuh-musuh Islam.
Masjid kurang-lebih tetap mempertahankan fungsinya ini di sepanjang sejarah. Menurut catatan sejarah, perlawanan Imam Ali as terhadap orang-orang yang melanggar janji (Nakitsin), Muawiyah dan pasukannya (Qasithin), dan para pembangkang/perusuh (Mariqin) dimulai dari dalam Masjid Kufah. Imam Ali pada akhirnya juga gugur syahid di dalam mihrab masjid ini.
Sebenarnya, banyak perjuangan dalam sejarah Islam dan gerakan mengusir penjajah oleh kaum Muslim dimulai dari balik dinding masjid. Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as melakukan perlawanan terhadap Yazid melalui khutbah yang berapi-api di Masjid Bani Umayyah, Syam. Masjid Goharshad di Mashad pernah menjadi basis perlawanan rakyat Iran menentang kebijakan anti-Islam Reza Khan.
Imam Khomeini ra memulai gerakan perlawanan terhadap rezim despotik di mimbar-mimbar masjid. Demikian juga dengan perlawanan rakyat Aljazair terhadap penjajahan Perancis dan rakyat Irak terhadap imperialisme Inggris. Ini semua mencerminkan salah satu dari fungsi masjid sebagai basis politik dan pergerakan.
Masjid memainkan fungsinya sebagai basis pendukung dan pusat kegiatan agama dan budaya di sepanjang sejarah Revolusi Islam Iran dan delapan tahun era Pertahanan Suci. Selama pecahnya kebangkitan Islam di negara-negara Muslim, masjid juga menjadi pusat kegiatan politik untuk memajukan gerakan revolusioner.
Dalam sejarah perjuangan, masjid senantiasa tampil sebagai basis pergerakan dan pengarahan gerakan-gerakan pembebasan dan penuntut keadilan. Ia menjadi benteng kokoh untuk menggagalkan agenda negara-negara imperialis. Jadi, tidak heran jika masjid selalu menjadi target untuk dihancurkan atau diubah fungsinya, seperti yang terjadi selama 70 tahun kekuasaan komunis di Uni Soviet.
Para penguasa Soviet telah menghancurkan banyak masjid dan membunuh para ulama dan tokoh agama pada masa itu. Namun, mereka tidak mampu memadamkan cahaya iman di wilayah kekuasaannya. Saat ini, budaya Islam kembali menemukan kekuatannya di wilayah bekas Uni Soviet, jumlah masjid bertambah banyak dan masyarakat menyambut antusias cahaya Islam.
Sejarah Masjid Bibi-Heybat di Baku, Azerbaijan
Masjid Bibi-Heybat adalah salah satu rumah ibadah tertua di Republik Azerbaijan, yang terletak sekitar 6 kilometer barat daya Baku, ibukota negara itu.
Masjid ini dibangun oleh Shirvanshah Farrukhzad II Ibn Ahsitan II pada abad ke-13 Masehi di daerah Shikhov, gerbang masuk ke Baku dan terletak di sisi selatan perbukitan yang menghadap ke Laut Kaspia. Perbukitan itu adalah pemakaman tua warga Syiah dan di sana bisa ditemukan batu nisan dengan tulisan bahasa Persia, Arab, dan Turki.
Dia membangun masjid tersebut untuk menyambut banyaknya jumlah pengunjung, yang datang menziarahi makam Sayidah Fatimah al-Sughra (terkenal dengan Bibi-Heybat). Tempo dulu, Sayidah Fatimah al-Sughra mendirikan sebuah masjid kecil di atas bukit berbatu di bibir pantai Laut Kaspia untuk keperluan ibadah.
Ketika ia wafat beberapa tahun kemudian, jasadnya dimakamkan di masjid tersebut. Beberapa tokoh lain keturunan Rasulullah Saw juga dimakamkan di masjid ini. Saat ini masjid dan makam berada dalam satu bangunan yang memiliki tiga kubah dan dua menara. Sayidah Fatimah al-Sughra adalah putri Imam Musa al-Kazim as dan saudari Imam Ali ar-Ridha.
Karena situs-situs keagamaan populer dengan sebutan Pir (tempat suci) di wilayah Kaukasus, penduduk Shikhov juga menyebut masjid tersebut sebagai Pir Bibi-Heybat. Mereka juga menyebut tempat suci ini Masjid Fatima al-Zahra.
Kompleks Masjid Bibi-Heybat dibangun pada masa Dinasti Safawi, tetapi hancur total ketika Stalin menaklukkan wilayah Shikhov dan tempat pemakaman diratakan dengan tanah. Setelah Uni Soviet bubar dan Azerbaijan merdeka, presiden negara itu memerintahkan pembangunan kembali kompleks masjid itu.
Keturunan para imam maksum selalu dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat dan penguasa di sepanjang sejarah. Para raja Safawi menaruh perhatian besar dengan mewakafkan tanah dan kebun untuk masjid. Shah Tahmasp I memberi perintah agar hak-hak masjid ini dijaga termasuk tanah wakaf lainnya.
Masjid Bibi-Heybat dihormati oleh masyarakat Kaukasus pada zaman Tsar. Seorang penyair lokal, Khurshidbanu Natavan yang sering mengunjungi masjid ini, membangun jalan bebatuan dari Baku ke daerah Shikhov. Jalan ini kemudian dilebarkan oleh seorang pria dermawan bernama, Haj Zain al-Abidin Taqiov.
Hoseini Farahani, yang pernah mengunjungi tempat itu pada era Naseri menuturkan, “Penduduk setempat menganggap makam Bibi-Heybat sebagai tempat suci dan mereka selalu menziarahinya.” Farhad Mirza, salah satu penguasa Qajar juga berbicara tentang penghormatan dan kepercayaan penduduk lokal terhadap keturunan imam maksum.
Seorang ulama besar, Muhammad Baqir al-Majlisi percaya Sayidah Fatimah al-Sughra, putri Imam Musa al-Kazim as dimakamkan di Masjid Bibi-Heybat. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketika Imam Ridha as gugur syahid di Thus (Mashad), para kerabatnya tersebar dan melarikan diri ke berbagai daerah.
Sayidah Fatimah al-Sughra yang terpisah dari saudara perempuannya, Sayidah Fatimah al-Ma'sumah, melarikan diri ke Rasht di utara Iran, dan kemudian berangkat dengan perahu ke Shikhov di pinggiran Baku, dan tinggal di sana sampai akhir hayatnya.
Pada tahun 1900, salah satu orang kaya Baku, Dadashov membangun sebuah masjid megah lengkap dengan perpustakaan di sebelah bangunan tua makam Bibi-Heybat. Pada 1930-an, Stalin memulai kampanyenya untuk melarang praktik-praktik keagamaan dan memerintahkan penghancuran situs-situs keagamaan.
Kompleks makam Bibi-Heybat termasuk situs suci pertama di Baku yang dihancurkan atas perintahnya. Tentara Soviet meledakkan makam ini dengan dinamit dan membangun jalan raya di atasnya. Pada masa itu, masyarakat Muslim menolak melintas di atas makam Bibi-Heybat dan membuat belokan untuk menghindari makam. Rezim Komunis kemudian menancapkan tiang-tiang beton di belokan itu sebagai upaya untuk memaksa warga agar melintas di atas makam, namun mereka rela mengantri panjang demi melewati jalan kecil untuk menghormati Bibi-Heybat.
Setelah Azerbaijan merdeka pada tahun 1994, Presiden Heydar Aliyev memerintahkan untuk memperbaiki kompleks makam Bibi-Heybat. Gedung baru dibangun di lokasi yang sama dan diresmikan oleh Aliyev pada 11 Juli 1997.
Masjid direkonstruksi dan dipugar melalui Keputusan Presiden pada tahun 2005. Ruang-ruang baru dibangun untuk memastikan kenyamanan para peziarah. Masjid ini dirancang oleh arsitek terkenal Azerbaijan, Sanan Sultanov.
Masjid Bibi-Heybat hasil renovasi adalah sebuah model klasik dari arsitektur gaya Shirvan. Masjid ini memiliki tiga kubah dan dua menara setinggi 20 meter. Interior kubah-kubah ini dihiasi dengan cermin mosaik warna hijau dan pirus, yang dipercantik dengan kaligrafi ayat-ayat al-Qur'an. Ruang shalat pria terletak di sisi selatan masjid, sementara wanita di sisi utara, dan makam terletak di antara dua ruang tersebut.
Interior masjid ini di dekorasi dengan ubin bewarna biru. Sebuah lampu kristal besar mengantung di ruang utama. Ketika angin berembus, kristal-kristal ini akan bergesekan satu sama lain dan mengeluarkan bunyi. Ada 40 anak tangga dari batu yang menghubungkan masjid ini dengan pelabuhan kecil terdekat di pantai Laut Kaspia sebagai tempat pengunjung menambatkan perahu atau kapal mereka.
Masjid Bibi-Heybat adalah pusat spiritual bagi kaum Muslim di wilayah tersebut dan salah satu monumen arsitektur Islam di Azerbaijan. Ia dikenal sebagai salah satu bangunan modern terindah di Baku dan selalu dipadati oleh pengunjung lokal dan mancanegara. (RM)