Nov 25, 2019 16:28 Asia/Jakarta

Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence mengunjungi pasukan negara ini di Irak secara mendadak pada hari Sabtu, 23 November 2019. Dia juga bertemu dengan pemimpin Kurdi untuk menegaskan kembali dukungan AS.

Tak lama setelah mendarat di Pangkalan Udara Ayn al-Asad di Irak barat, Pence yang didampingi isterinya Karen Pence, bertemu dengan para perwira AS yang bertugas di Irak.

Mereka kemudian mengunjungi pasukan AS yang ditempatkan di Bandara Internasional Erbil, dan Pence bertemu dengan  pemimpin otonomi Kurdistan Nechirvan Barzani.

AS pasca agresi militer ke Irak dan pendudukan negara ini pada 2003 selalu berusaha intervensi urusan internal Baghdad dan mempertahankan pasukannya di Irak. Pendekatan Amerika ini mendapat respon negatif dari rakyat Irak.

Seperti kebiasaan pejabat Amerika sebelumnya, kunjungan Pence ke Irak juga dilakukan secara mendadak tanpa  pemberitahuan sebelumnya. Tentu saja lawatan ini memicu protes dari para pejabat pemerintah dan partai Irak.

Koalisi al-Nasr yang berafiliasi dengan mantan Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi mereaksi kunjungan wapres AS ke wilayah Kurdistan tanpa mengunjungi Baghdad dan menekankan bahwa Baghdad adalah ibukota Irak bukan Arbil (Erbil).

"Kami menentang kesepakatan pemerintah Irak dengan persiapan kunjungan ini yang hanya terbatas di pangkalan Ayn al-Assad dan Arbil. Alasan penentangan kami adalah kedaulatan Irak tidak diperhatikan," tegas pernyataan Koalisi al-Nasr.

Salah satu langkah inkonvensional Pence adalah dia tidak berkunjung ke Baghdad dan bertemu secara langsung dengan Adil Abdul-Mahdi, tapi dia hanya mengontak PM Irak ini dari Ayn al-Assad untuk membahas kondisi dalam negeri Irak. Hal ini telah memicu protes keras.

Pence berharap Adil Abdul-Mahdi datang ke pangkalan Ayn al-Assad. Tentunya permintaan seperti ini langsung ditolak oleh PM Irak ini. Terlepas dari indikasi pendekatan sombong dan pandangan pejabat pemerntahan Donald Trump yang melecehkan pejabat negara lain, perilaku Pence itu menunjukkan bahwa AS menganggap dirinya sebagai segalanya dan melalui pendekatan intervensifnya, dia dengan berani mendikte mekanisme dan merekomendasi urusan internal Irak.

Pence mengatakan bahwa dirinya telah berbicara dengan Abdul-Mahdi terkait instabilitas di Irak dan Abdul-Mahdi  telah meyakinkan Pence bahwa pemerintah Baghdad berusaha untuk mencegah kekerasan.

"Saya memiliki permintaan kepada semua pihak di Irak untuk mendengarkan permintaan para demonstran dan merealisasikan reformasi yang mereka tuntut," kata Pence.

Wapres AS selanjutnya berkunjung ke Erbil untuk bertemu dengan pemimpin otonomi Kurdistan. Nechirvan Barzani saat menyambut Pence mengatakan, kunjungan ini bukti dukungan AS kepada Irak dan wilayah otonomi Kurdistan.

Meski Gedung Putih mengumumkan bahwa tujuan dari kunjungan Pence ke Irak adalah untuk meyakinkan sekutu AS dalam perang melawan Daesh (ISIS), namun sepertinya kunjungan Pence ke Arbil dan utara Irak ditujukan untuk mendukung Kurdi di negara ini. Hal ini mengingat sikap Trump yang mengkhianati Kurdi Suriah dan memberi lampu hijau kepada Turki untuk menyerang Suriah utara telah memicu kekhawatiran para pejabat daerah otonomi Kurdistan.

Pence kepada para pejabat Kurdistan Irak meyakinkan bahwa AS tidak akan mengkhianati janjinya. Meski demikian, langkah Pence, yakni berkunjung ke Erbil dan tidak ke Baghdad adalah indikasi pengabaian Amerika terhadap pemerintah pusat Irak dan sebuah bentuk dukungan atas klaim pemisahan diri Kurdistan Irak.

Sejatinya tujuan AS adalah melemahkan pemerintah Baghada yang menurut anggapan Washington, Irak adalah memiliki hubungan dengan Iran. Hal ini seperti yang diklaim Pence bahwa AS menghormati kedaulatan Irak dan mengaku khawatir atas pengaruh tetangga Irak. Selain itu, rekomendasi Pence adalah sebuah intervensi nyata dalam urusan internal Irak dan langkah yang melanggar kedaulatan serta independensi negara ini. (RA)