Mengenal Perempuan Dalam Al-Quran (19)
Sebelumnya, kita telah membahas tentang kelahiran penuh kebahagiaan dan berkah Sayidah Fathimah Zahra as, ketika dimulai dari surat al-Kautsar yang berarti kebaikan yang banyak yang dianugerahkan Nabi Muhammad Saw. Pada kesempatan ini akan disampaikan ayat-ayat lain dari al-Quran yang berbicara tentang Sayidah Fathimah Zahra as.
Al-Quran dalam ayat 33 surat al-Ahzab yang dikenal dengan ayat "Tathir" mengatakan kepada Nabi Saw bahwa Ahlul Bait telah disucikan dari segala dosa dan kesalahan dan dengan demikian telah ditekankan derajat keterjagaan (Ishmah) dan kesucian mereka termasuk Sayidah Fathimah as. "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."
Sahabat Nabi Saw, pengikut dan cendekiawan Islam semua sepakat bahwa ayat Tathir telah diturunkan kepada lima orang, bahkan Ummu Salamah dan Aisyah yang telah menyaksikan wahyu dari ayat tersebut dan berharap untuk dimasukkan di dalamnya mengatakan bahwa ayat ini merujuk pada Nabi, Imam Ali, Sayidah Zahra, Imam Hasan dan Imam Husein.
Dikutip dari Ummu Salamah, istri Nabi, "Suatu hari Fathimah as memasak makanan dan membawanya kepada Nabi Saw. Hari itu Nabi di rumah saya. Karena Fathimah telah membawa makanan, Nabi berkata, 'Wahai cahaya mataku! Ajak Ali dan dua anakmu untuk makan bersama aku. Karena mereka sudah datang, semua memakan hidangan itu. Setelah itu Nabi melepaskan pakaian penutup gamisnya dan melebarkannya untuk diduduki mereka lalu berkata, 'Ya Allah! Mereka ini semua Ahlul Baitku. Karenanya, jauhkan mereka dari kekejian dan kekotoran lalu sucikan mereka.' Pada waktu itu ayat 33 surat al-Ahzab diturunkan. Setelah itu saya berkata, 'Wahai Rasulullah! Apakah saya juga bersama kalian?' Nabi berkata, 'Engkau tidak memiliki derajat Ahlul Baitku, tetapi engkau perempuan yang berpeilaku baik dan memiliki sifat yang baik."
Pada hakikatnya, ayat ini menggambarkan hakikat manusia sempurna yang telah melewati segala faktor materi dan mencapai derajat kesucian dan kesempurnaan yang tinggi. Mereka berhasil menarik kegembiraan Allah dan memanifestasikan inti kemanusiaan dalam dirinya. Mereka adalah penafsir hakiki wahyu Allah dan Ahlul Bait Nabi as. Imam Muhammad Baqir as berkata, "Ayat ini diturunkan tentang Rasulullah Saw, Ali as, Fathimah as, Hasan as dan Husein as." Dalam buku Ihqaq al-Haq telah menyinggung lebih dari 70 hadis dari sumber-sumber Ahli Sunnah tentang kekhususan ayat ini kepada lima orang, yakni Nabi, Ali, Fathimah, Hasan dan Husein as. Sementara dalam buku Syawahid al-Tanzil menyebutkan lebih dari 130 hadis.
Dalam riwayat disebutkan bahwa setelah ayat Tathir diturunkan, Rasulullah untuk beberapa waktu ketika akan menunaikan shalat Subuh berdiri di depan pintu rumah Fathimah al-Zahra as dan meletakkan kedua tangannya di dua sisi bingkai pintu dan berkata, "Wahai Ahlul Bait! Semoga salam, rahmat dan berkah Allah kepada kalian. Bangkitlah untuk shalat. Saya memerangi orang yang memerangi kalian dan berdamai dengan mereka yang berdamai dengan kalian."
Satu lagi dari ayat-ayat al-Quran yang menyampaikan sisi spiritual, kesucian dan keagungan Fathimah as adalah ayat Mubahalah. Nabi Muhammad Saw dalam menjelaskan risalahnya dan menyampaikan pesan ilahi telah banyak menulis surat kepada raja-raja dan negara-negara atau mengirim utusan ke sana, sehingga suara kebenaran dan tauhid sampai ke seluruh dunia. Najran dengan 70 desa yang dimilikinya berada di perbatasan dengan Hijaz dan Yaman. Di awal munculnya Islam, daerah ini satu-satunya daerah di Hijaz yang ditinggali orang-orang Kristen. Warga daerah ini dulunya penyembah berhala dan kemudian memeluk agama Kristen.
Nabi Saw pada tahun 10 Hijrah menulis surat kepada Uskup Najran Abu Haritsah untuk mengajak kelompok ini memeluk agama Islam. Pada tahun 9 Hijrah, menyusul ajakan Nabi agar memeluk Islam, delegasi dari Kristen Najran mendatangi Najran dan berdebat dan berdialog dengan Nabi. Setiap kali Rasulullah memberikan jawaban yang tidak dapat dibantah, mereka tetap tidak mau beriman. Pada waktu itu, Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk melakukan mubahalah dengan mereka. Yakni, kedua pihak membawa keluarga mereka dan dengan memohon kepada Allah agar siapa yang berbohong akan binasa.
Proses mubahalah termasuk kejadian sensitif dan penting dalam sejarah Islam. Hadir dalam peristiwa ini membutuhkan iman dan keyakinan khusus. Dalam doa dan permohonan ini, hak dan batil hanya akan menjadi jelas ketika mereka yang benar meyakini dengan kuat kebenaran dirinya dan tidak sedikitpun ada keraguan. Orang Kristen Najran menerima mubahalah. Tetapi ulama mereka memperingatkan bahwa bila Muhammad datang bersama kaumnya untuk bermubahalah, maka lakukan mubahalah dengannya, tetapi bila hanya keluarganya yang bersamanya, jangan bermubahalah dengannya. Karena ia tidak akan membahayakan Ahlul Baitnya, keculai nabi yang benar dan jujur.
Zamakhsyari, penulis tafsir al-Kassyaf menyebut ayat mubahalah sebagai ayat terkuat dalam mengargumentasikan keutamaan Ahlul Bait Nabi as dan mengomentarinya bahwa hari yang telah disepakati, ketika orang-orang Kristen menyaksikan Nabi dengan tenang dan teguh berjalan menuju mereka, sementara putrinya Fathimah yang merupakan bagian jiwanya, Ali, Hasan dan Husein as mengiringinya, segera mereka memahami kebenarannya dan membatalkan mubahalah.
Rasulullah memilih Fathimah dari sekian perempuan muslim dan menjadikannya bukti kebenaran dirinya dengan sendirinya menjadi bukti derajat Fathimah. Padahal Nabi dapat memilih perempuan lainnya untuk bersamanya. Di sisi lain, Sayidah Fathimah as menjadi teladan bagi seluruh perempuan jujur dan pencari kebenaran dalam sebuah peristiwa penting akidah-sosial, dimana mengikuti perempuan berani dan mulia ini dalam membela kebenaran dan hakikat menjadi kehadiran yang konstruktif.
Tidak diragukan lagi bahwa apa yang menyebabkan al-Quran memposisikan Fathimah dengan derajat tinggi ini, karena semua sifat mulia dan inti kemanusiaan termanifestasikan dalam dirinya. Disebutkan bahwa ketika Fathimah as berdiri melaksanakan shalat, di sekelilingnya ada cahaya dan ketika berbicara, ucapannya penuh dengan ilmu dan makrifat. Ketika Rasulullah Saw melaksanakan risalahnya, Fathimah selalu menyertainya bersama suaminya, Ali dan dengan kehadiran konstruktifnya mampu membuat hangat keluarga dan memperkokohnya. Fathimah pendidik anak-anak yang bebas, membangun sejarah dan pada saat yang sama, perempuan yang bertanggung jawab akan nasib masyarakatnya.
Fathimah adalah teladan tinggi seorang perempuan yang transenden, yang tidak mengorbankan satu dari dimensi kepribadiannya dan menunjukkan betapa perempuan memiliki kapasitas yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan. Fathimah adalah manusia sempurna dan tidak boleh menutup satu dari dimensi sosial-politik atau kemanusiaannya. Fathimah al-Zahra as berada di puncak keagunan manusia dan takwa, welas asih kepada semua perempuan di dunia dan mengajak mereka untuk melewati jalan dan gaya hidup ini.