Filosofi Hukum dalam Islam (19)
May 12, 2020 17:19 Asia/Jakarta
Waktu subuh di Masjid Kufah hari ini, pedang kebodohan dan fanatisme membabi buta milik kelompok orang berpikiran dangkal itu, menebas kepala suci Imam Ali as, manifestasi iman dan keadilan, kesucian dan keutamaan, jihad dan keberanian, pengetahuan dan kesadaran, sehingga ratusan kali penyesalan muncul akibat aliran pemikiran menyimpang, dan membahayakan mereka sepanjang sejarah.
Kebodohan itu juga telah memberikan pukulan telak ke tubuh Dunia Islam, yang salah satu bukti paling jelas di masa kini adalah kelompok Takfiri dan Daesh yang mengaku suci, dan mendapat dukungan musuh Islam, mereka melakukan semua kejahatan, dan menumpahkan darah ribuan manusia tak bersalah.
Sebagaimana diketahui dalam sistem ideal dan adil Islam, tidak boleh ada sedikitpun tanda-tanda ketidakadilan, diskriminasi, dan kesejangan sosial, tidak boleh ada sedikitpun jejak kemiskinan, dan kesengsaraan dari kelompok tidak mampu. Lalu mengapa justru yang kita saksikan bertolak belakang dengan program dan kebijakan makro serta strategis Islam, mengapa kita tidak melihat tujuan dan cita-cita luhur Ilahi dan manusiawi di dunia Islam ?
Untuk menjawab pertanyaan ini harus kita katakan bahwa dalam sistem ekonomi Islam yang adil, dengan sejumlah banyak aturan yang telah ditetapkan Allah Swt dalam hal kekayaan dan aset berlimpah orang-orang kaya, jika mereka mengamalkan kewajiban agama dan kemanusiaannya, dapat dipastikan tidak akan tampak sedikitpun jejak kemiskinan dalam masyarakat Islam.
Namun disayangkan hari ini, dikarenakan sifat menumpuk kekayaan yang dilakukan para konglomerat tak berperasaan, para penguasa otoriter yang menduduki kekuasaan secara tidak sah, melanggar hak kaum tertindas dan merampok aset publik, telah tercipta kesenjangan sosial yang dalam dan mengerikan di tengah masyarakat, sehingga menyebabkan segelintir orang berada di puncak kesejahteraan, dan kenikmatan materi, sementara mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan.
Pada kondisi mengenaskan, anti-Islam dan anti-kemanusiaan seperti ini, orang-orang beriman yang sedang berpuasa ingin membantu fakir miskin. Puncak kepedulian terhadap sesama ini muncul di bulan suci Ramadhan, ketika orang-orang yang berpuasa dengan sebenarnya merasakan tanggung jawab lebih besar dari sebelumya, dan terjun membantu orang-orang yang membutuhkan.
Agama Islam menggambarkan kewajiban praktis setiap manusia yang beriman sebagai berikut,
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَـٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Surat Al Baqarah ayat 177)
Oleh karena itu, perbuatan dan kewajiban ibadah akan bernilai ketika manusia merasa bertanggung jawab atas orang-orang lapar, orang-orang telanjang, orang-orang yang terlilit utang, dan tanpa perlindungan, bukan saja tidak tinggal diam, mereka juga membantu sesuai kemampuan. Jelas bahwa tanggung jawab ini berada di pundak orang-orang kaya, lebih dari kalangan masyarakat lainnya.
Jika seseorang tidak merasakan tanggung jawab agama dan kemanusiaan ini, maka ia tidak layak disebut Muslim. Sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad Saw, barangsiapa bangun dari tidur, dan tidak berpikir untuk menyelesaikan permasalahan umat Islam, maka ia bukan Muslim.
Benar bahwa berpuasa menahan lapar dan haus selama sebulan penuh juga harus merasakan penderitaan orang-orang yang kelaparan dengan segenap wujudnya, dan bersegera menolong mereka. Rasulullah Saw bersabda, pekerjaan paling terpuji di sisi Allah Swt ada tiga, mengenyangkan Muslim yang lapar, membayarkan utang orang-orang yang dililit utang, dan menyingkirkan kesedihan mereka. (Al Mahasin, 294)
Terlepas bahwa memenuhi kebutuhan orang-orang fakir terutama mereka yang hidup secara terhormat adalah kewajiban agama dan kemanusiaan setiap Muslim, namun bagi orang-orang kaya yang diberikan nikmat oleh Allah Swt, hal itu adalah ujian Ilahi, dan sebagai bentuk rasa syukur, mereka menginfakkan, menyedakahkan dan membantu orang-orang yang membutuhkan yang terpaksa mengulurkan tangannya kepada orang lain karena sulitnya kehidupan.
Dikutip dari Imam Baqir as, dalam sebuah munajat, Allah Swt berfirman kepada Nabi Musa as, Hai Musa hormatilah para peminta-minta dengan pemberian sedikit, dan perlakuan yang indah. Karena orang-orang yang memohon bantuan kepadamu, bukanlah manusia atau jin, mereka adalah para malaikat yang datang dari sisi Allah Swt, agar mereka mengujimu dengan apa yang sudah Kami berikan kepadamu, dan mereka meminta kepadamu sesuatu yang sudah Kami berikan. Maka dari itu wahai Putera Imran, berhati-hatilah bagaimana engkau memperlakukan mereka. (Al Kafi jilid 2 hlmn 15)
Salah satu bukti nyata dari munajat itu adalah kisah nazar Ahlul Bait as yang berpuasa selama tiga hari berturut-turut demi kesembuhan Imam Hassan dan Imam Hussein as. Dua hari pertama saat tiba waktu berbuka datang seorang miskin yang meminta bantuan. Saat itu Imam Ali, Sayidah Fatimah Zahra as dan kedua puteranya memberikan roti kepadanya, dan menjalani puasa dengan perut lapar.
Di hari kedua, saat tiba waktu berbuka, seorang yatim datang dan meminta bantuan, dan Ahul Bait as kembali memberikan roti yang akan mereka makan untuk berbuka, kepadanya. Hari ketiga kejadian serupa terjadi, seorang tawanan perang mendatangani Ahlul Bait as dan meminta bantuan saat berbuka, dan Ahlul Bait memberikan roti kepadanya.
Nabi Muhammad Saw di akhir peristiwa itu mendatangi Ahlul Bait as, dan menyaksikan mereka dalam keadaan yang sangat lapar sehingga tampak begitu pucat, saat itu turun Surat Al Insan kepada Rasulullah Saw, yang ayat 8-9 surat ini dikhususkan untuk kisah Ahlul Bait as yang memberikan makanan berbukanya kepada orang miskin, yatim dan tawanan perang.
Poin penting yang bisa kita petik dari ayat 9 surat Al Insan adalah Ahlul Bait as bersabda, kami memberikan makanan kepadamu hanya demi ridha Allah Swt, dan kami sama sekali tidak mengarapkan balasan atau terimakasih. (HS)
Tags