Karena Pelecehan, Banyak Gadis Kurangi Penggunaan Medsos
Pada awal Oktober 2020, sebuah survei kelompok hak asasi perempuan, Plan International, menunjukkan bahwa satu dari lima gadis dan wanita muda telah meninggalkan atau mengurangi penggunaan platform media sosial setelah menjadi target pelecehan.
Beberapa dari mereka mengatakan, pelecehan dimulai ketika mereka berusia delapan tahun. Pelecehan online mendorong para gadis untuk keluar dari platform media sosial termasuk Facebook, Instagram dan Twitter, di mana hampir 60% mengalami pelecehan.
"Anak perempuan dibungkam oleh tingkat pelecehan yang beracun," kata Kepala Eksekutif Plan International Anne-Birgitte Albrectsen.
Pelecehan paling umum terjadi di Facebook, di mana 39% anak perempuan yang disurvei mengatakan bahwa mereka telah dilecehkan, diikuti oleh Instagram (23%), WhatsApp (14%), Snapchat (10%), Twitter (9%) dan TikTok (6%) .
Plan International meminta perusahaan media sosial untuk mengambil tindakan segera untuk mengatasi masalah ini dan mendesak pemerintah untuk mengeluarkan undang-undang guna menangani pelecehan online.
Studi tersebut menemukan bahwa alat pelaporan tidak efektif dalam menghentikan penyalahgunaan, termasuk pesan eksplisit, foto porno, dan cyberstalking.
Menurut jajak pendapat tersebut, hampir setengah dari anak perempuan yang menjadi target diancam dengan kekerasan fisik atau seksual. Banyak yang mengatakan pelecehan itu menimbulkan korban jiwa, dan seperempatnya merasa tidak aman secara fisik.
"Ini saatnya berhenti," tegas laporan itu.
Facebook dan Instagram mengatakan bahwa mereka menggunakan kecerdasan buatan untuk mencari konten bullying dan memantau laporan pelecehan pengguna serta selalu menghapus ancaman pemerkosaan.
Twitter mengatakan pihaknya juga menggunakan teknologi untuk menangkap konten yang menyinggung dan telah meluncurkan alat untuk meningkatkan kendali pengguna atas percakapan mereka.
Plan International mensurvei 14.000 gadis dan wanita muda berusia 15-25 tahun di 22 negara termasuk Brasil, India, Nigeria, Spanyol, Thailand, dan Amerika Serikat.
Dalam surat terbuka ke Facebook, Instagram, TikTok dan Twitter, gadis-gadis dari seluruh dunia meminta perusahaan media sosial ini untuk menciptakan cara yang lebih efektif untuk melaporkan pelecehan.
Mereka menulis, kami menggunakan (platform Anda) tidak hanya untuk terhubung dengan teman, tetapi untuk memimpin dan menciptakan perubahan. Tapi mereka (platform) ini tidak aman untuk kita. Kami dilecehkan.
"Saat pandemi global ini membuat hidup kita online, kita lebih berisiko daripada sebelumnya" tegas mereka.
Plan International juga mendesak perusahaan untuk berbuat lebih banyak untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang berada di balik penyalahgunaan tersebut, dan untuk mengumpulkan data tentang skala masalahnya. (RA)