Feb 13, 2021 15:44 Asia/Jakarta
  • Muslim Rohingya
    Muslim Rohingya

Persaingan politik, ekonomi dan militer antara Amerika Serikat dan Cina di Myanmar ternyata memiliki dimensi yang luas.

Tingkat rivalitas ini bahkan jauh melampaui teritorial Myanmar sendiri, dan menjangkau seluruh wilayah Asia Timur dan Tenggara. Namun yang sangat disesalkan, konsentrasi persaingan Amerika-Cina terpusat di Myanmar tepatnya di negara bagian Rakhine, tempat tinggal warga Muslim Rohingya.
 
Secara langsung rivalitas Amerika-Cina di Rakhine mempengaruhi nasib etnis Muslim Rohingya, serta pembunuhan dan pengusiran mereka. Alasannya karena posisi Rakhine yang strategis. Negara bagian ini terletak di sebuah wilayah yang dianggap vital bagi Amerika dan Cina, siapapun yang bisa menguasai wilayah sensitif ini memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan persaingan.
 
Pandangan Cina terhadap Myanmar secara umum, dan Rakhine secara khusus, selain bermuatan kepentingan ekonomi, sumber daya alam terutama minyak dan gas, juga kepentingan yang lebih besar di bidang politik dan militer. Amerika kurang lebih memiliki pandangan yang sama terhadap Rakhine, yang tidak lepas dari kepentingan politik, ekonomi dan militer.
 
Pasokan 80 persen kebutuhan energi Cina dari Teluk Persia, melewati Selat Malaka yang dekat ke Rakhine di Myanmar. Cina sangat khawatir dengan pengaruh Amerika di Myanmar, terutama Rakhine yang bertetangga dengan Selat Malaka. Jika Amerika menguasai Selat Malaka, maka ia bisa menutup jalur pasokan minyak Cina dari Timur Tengah. Tujuan strategis Amerika menduduki Rakhine adalah menutup jalur pasokan energi Cina. 
 
Di tengah persaingan inilah, Amerika dan Cina mendukung dua kekuatan politik berbeda di Myanmar. Cina mendukung Kepala Staf Angkatan Bersenjata Myanmar yang sekarang juga menjabat Kepala Dewan Administrasi Negara, Jenderal Min Aung Hlaing, sementara Amerika mendukung gerakan politik pimpinan Aung San Suu Kyi.
 
warga Muslim Rohingya

 

Lokasi persaingan dan pertarungan Amerika-Cina ini adalah wilayah tinggal warga Muslim Rohingya di Rakhine, dan alasan dikorbankannya etnis Rohingya juga realitas pahit ini. Direktur Institute for Advanced Sustainability Studies (IASS) Rusia, Alexander Gusev menyebut campur tangan Amerika di Myanmar dilakukan untuk memukul Cina di kawasan.
 
Alexander Gusev menambahkan, kondisi Myanmar saat ini tercipta karena masalah dalam negeri, tapi semua tahu beberapa kekuatan ingin Amerika mengontrol negara ini, pasalnya Myanmar merupakan sekutu strategis dan serius Cina, dan Beijing menanamkan investasi besar di bidang ekonomi Myanmar. Dalam hal ini, Gusev menyinggung partisipasi Cina dalam proyek pembangunan jalan dan dua bandara di Myanmar.
 
Menurutnya, jelas bahwa Amerika tidak suka dengan penguatan pengaruh regional Beijing. Amerika akan berusaha menciptakan konflik di Myanmar dan negara Asia Tenggara lain untuk mencapai tujuannya. Dalam gelombang baru kekerasan di Myanmar yang pecah beberapa waktu lalu dan menewaskan serta melukai puluhan ribu orang, dapat ditemukan jejak dukungan di balik layar Amerika di sana.
 
Amerika sedang mengejar kepentingan strategisnya di Myanmar lewat jalur politik yang dibingkai dalam upaya demokratisasi negara itu. Di sisi lain Cina berusaha mencegah pengaruh Amerika di Myanmar, dengan mendukung kekuatan militer yang merupakan salah satu bagian kekuatan nasional. Maka dari itu Cina menempatkan Myanmar dalam jaringan koneksinya.
 
Beijing berencana menghubungkan Rakhine dengan Cina melalui pintu perlintasan daerah pegunungan yang di masa lalu digunakan oleh para pedagang Iran dan Arab untuk masuk ke wilayah Barat Cina, dengan membangun jalur jalan raya dan rel kereta api. Pintu perlintasan itu akan mempermudah hubungan Cina dan Rakhine. Selain itu, pembangunan jalur pipa gas di lokasi yang sama, secara signifikan dapat memutus ketergantungan Cina pada Selat Malaka. 
 
warga Muslim Rohingya

 

Terlepas dari masalah rivalitas Amerika-Cina di Myanmar, kebijakan strategis Washington di Asia Timur dan Tenggara juga Selatan, tidak boleh diabaikan begitu saja. Inti kebijakan ini juga mencakup Myanmar, dan peningkatan hubungan Amerika dengan India yang merupakan tetangga Myanmar. Tujuan dari strategi ini adalah untuk membuka peluang memblokade Cina.
 
Strategi Amerika untuk menjinakkan Cina yang dilakukan lewat tangan negara-negara tetangganya, membuat posisi Myanmar menjadi penting dan strategis. Jika Amerika bisa mengeluarkan Myanmar dari pengaruh Cina dengan menjalin kerja sama dengan India, maka Washington akan mendapat keunggulan strategis dalam memblokade Cina.
 
Dengan demikian kita dapat menyaksikan persaingan Amerika dan Cina untuk menduduki Myanmar jauh lebih luas dari yang tampak di luar. Alasan utamanya karena Amerika mendukung kekacauan di Rakhine, dan diam menyaksikan pembantaian warga Muslim Rohingya, karena hal ini terkait dengan rivalitas Amerika-Cina.
 
Pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa semakin kacau dan bermasalah Rakhine, maka tingkat ketergantungan Aung San Suu Kyi terhadap Amerika akan semakin besar, dan peluang bagi Washington untuk masuk ke Myanmar semakin lebar. Ketergantungan dan kebutuhan sayap politik Myanmar untuk mendapat dukungan dari Amerika, menggambarkan rumitnya perebutan kekuatan di Myanmar, mengingat terus mendekatnya Jenderal Min Aung Hlaing ke Cina.
 
Dengan memperhatikan tujuan dan relitas ini, Amerika dan Cina telah mengubah Myanmar menjadi arena pertempuran terselubung. Artinya, dari satu sisi Amerika berharap bisa melemahkan sayap militer Myanmar dengan dalih melakukan demokratisasi di negara itu, dan membuat Myanmar tergantung pada kehadiran militernya, di sisi lain Cina akan memperkuat militer Myanmar untuk membendung pengaruh Amerika di negara itu. 
 
warga Muslim Rohingya

 

Di tengah rivalitas Amerika dan Cina di Myanmar, lagi-lagi warga Muslim Rohingya yang menjadi korban. Tanpa memperhatikan kenyataan ini, kita tidak akan bisa memahami dengan benar bencana kemanusiaan yang menimpa Muslim Rohingya. Realitasnya, dalam pandangan Amerika, pemanfaatan posisi geopolitik dan geostrategi Myanmar untuk bersaing dengan Cina, adalah prioritas, bukan nasib minoritas warga Muslim Rohingya di Rakhine.
 
Prioritas Amerika adalah memanfaatkan posisi Myanmar untuk mengucilkan dan menjinakkan Cina. Amerika berharap bisa menjadikan Myanmar sebagai sekutu yang bisa dipercaya. Dari sudut pandang ini Amerika menganggap pengusiran minoritas Muslim Rohingya sebagai kesempatan emas untuk memperkuat pengaruhnya di Myanmar. Jelas bahwa pandangan semacam ini tidak pernah menganggap penting nasib Muslim Rohingya.
 
Kenyataannya, Amerika sudah sejak lama mendesain kebijakan rumit di Myanmar yang hanya bisa dipahami dalam kerangka persaingan negara itu dengan Cina. Dengan demikian, meluasnya ketidakamanan dan pembantaian di Rakhine, terlepas dari dimensi kemanusiaannya, merupakan peluang bagi Amerika untuk menyebarkan kekacauan di Myanmar terutama Rakhine ke wilayah Barat Cina.
 
Di sisi lain, peluang kehadiran militer Amerika di Myanmar akan semakin terbuka. Usul Amerika untuk menempatkan pasukan penjaga perdamaian internasional di Rakhine, tidak lain adalah upaya untuk membuka kesempatan kehadiran militernya secara legal, guna menghadapi pengaruh Cina di Myanmar. (HS)