Genosida Muslim Rohingya di Myanmar (7)
Warga Muslim Rohingnya kerap mendapat tekanan dari ekstrimis Budha, militer dan aparat keamanan Myanmar terpaksa meninggalkan rumah dan tempat kelahiran mereka serta menjadi pengungsi.
Namun begitu arus pengungsian ini sangat menyedihkan di tahun 2011 dan 2017 di mana hanya sebagian kecil informasi yang dirilis dari kondisi ini. Di rentang waktu tersebut kita menyaksikan tiga level pengungsian. Pengungsi di dalam negeri yang berusaha mencari tempat lebih aman dan lebih jauh dari zona perang setelah militer menyerang desa-desa mereka. Kedua, pengungsi yang ingin memasuki dua negara tetangga, Bangladesh dan India melalui sungai. Dan ketiga, pengungsi yang menempuh jalur laut dengan perahu sederhana dan menghadapai ancaman tenggelam di laut.
Di tiga level pengungsian ini, mereka yang berlindung ke India menghadapi pasukan penjaga perbatasan negara tersebut dan mereka tidak dibiarkan memasui India. Alasannya adalah India memiliki hubungan dekat dengan pemerintah Myanmar dan tidak ingin terlibat di masalah ini. Sementara sejumlah pengungsi yang berhasil memasuki India, setelah berhasil diidentifikasi kemudian dikirim ke Bangladesh.
Dengan demikian, warga Rohingya tidak memiliki jalan kecuali, terbunuh oleh militer Myanmar dan ekstrimis Budha atau melarikan diri ke Bangladesh. Mereka terpaksa memasuki Bangladesh meski mengetahui resikonya yang tinggi. Kelompok ketiga memilih menempuh jalur laut menuju negara-negara di Asia Timur seperti Malaysia, Indonesia dan Thailand di mana nasib mereka bahkah lebih pahit dari yang lain.
Komposisi dan jumlah pengungsi yang ditempatkan di kamp-kamp di bawah naungan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) di Bangladesh sudah ada sejak sebelum pembantaian tahun 2017, dan setelahnya ketika mereka selamat dan tiba di Bangladesh. Mayoritas mereka adalah anak-anak, perempuan dan manula. Mereka menceritakan kisah mengerikan mulai dari pembantaian, pemerkosaan perempuan dan gadis serta pembakaran total desa-desa mereka. Informasi yang relatif cukup disusun oleh wartawan independen dan dipublikasikan di media melalui wawancara dengan pengungsi ini.
Data yang dirilis oleh pemerintah Banghladesh dan UNHCR menyebutkan jumlah pengungsi di kawasan ini sebelum tahun 2017 sekitar 300 ribu orang. Setelah tahun 2017 dan selanjutnya tercatat 700 ribu orang. Dengan demikian sekitar satu juta pengungsi Rohingya ditempatkan di Cox's Bazar dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan di 35 kamp sementara.
Para pengungsi ini ditempatkan dalam kondisi terisolasi dan pemerintah Bangladesh karena terlibat friksi dengan Myanmar soal kewarganegaraan Muslim Rohingya tidak mengijinkan pengungsi keluar dari kamp sehingga pengungsi ini tidak menarik warganya dan klaim Myanmar bahwa pengungsi ini warga Bangladesh tidak akan terbukti.
Sementara itu, kondisi kehidupan di kamp-kamp terisolasi di Cox's Bazar dilaporkan sangat mengerikan. Mayoritas pengungsi ini adalah perempuan, anak gadis atau anak-anak yang kedua orang tuanya atau salah satunya terbunuh oleh militer dan ekstrimis Budha. Mereka ini sama sekali tidak memiliki harapan.
Kepadatan penduduk di kamp-kamp kecil ini sangat besar di mana secara praktis pengungsi hidup saling berhimpitan. Kelanjutan hidup mereka tergantung pada bantuan makanan yang sangat kecil organisasi kemanusiaan dan relawan rakyat. Di kamp kecil dan padat ini, tidak ada yang namanya pelayanan kesehatan atu pendidikan. Pengungsi pada akhirnya harus hidup dalam kemiskinan.
Jika kita bandingkan kondisi pengungsi yang hidup di kamp-kamp Bangladesh dengan pengungsi yang menempuh jalur laut dengan harapan hidup lebih baik di negara-negara Asia Timur, maka pengungsi di kamp Bangladesh lebih beruntung karena paling tidak mereka memiliki tempat tinggal sementara meski sangat sederhana.
Para pengungsi yang menempuh jalur laut kondisinya lebih mengerikan. Banyak perempuan dan anak-anak meninggal dihadapan keluarganya karena kelaparan atau penyakit. Jenazah mereka pun ditenggelamkan ke laut.
Ambia Parveen, wakil Presiden Dewan Rohingya di Eropa meyakini bahwa kondisi kamp pengugsi Rohingya tidak dapat diterima dan masyarakat internasional tidak menyadari dengan benar kondisi mengerikan mereka yang selamat dari genosida dan keluarganya. Ratusan ribu orang mengalami gangguan mental dan fisik. Selain itu, landasan finansial mereka rusak serta mereka mengalami trauma berat.
Jika pengungsi Rohingya yang menempuh jalur laut berhasil mendekati pantai, mereka pasti dihentikan oleh patroli laut pemerintah Malaysia, Indonesia dan Thailand. Mereka juga sulit untuk diterima di negara tersebut. Kondisi ini membuka peluang bagi mafia penyelundupan manusia dan kelompok kriminal lainnya. Para mafia mengumbar janji dan menipu orang-orang tertindas ini. Pengungsi ini dibawa ke hutan-hutan dan kemudian diperjualbelikan sebagai budak.
Pejabat HRW untuk pencegahan genosida dan perlindungan menutut perhatian dunia terhadap kondisi Muslim Rohingya di kamp-kamp pengungsi Myanmar dan Bangladesh. Ia mengatakan, "Pengungsi ini mengalami putus asa di kamp-kamp yang sangat padat." 25 Agustus 2017, militer Myanmar mulai melakukan pemburuan, pengusiran dan pengasingan sekitar 700 ribu Muslim Rohingya.
Sejak saat itu dan selanjutnya, kondisi pengungsi Rohingya yang selamat semakin buruk. Pemerintah Myanmar mencabut kewarganegaraan, tanah air, properti, harga diri, dan bahkan kehidupan mereka. Sikap pemerintah Myanmar menolak memberi kewarganegaraan mereka dan menjamin keamanannya di negara mereka. Hal ini telah merenggut harapan pengungsi yang selamat atas masa depannya.
Namun, jika kita membandingkan nasib pahit pengungsi Rohingya yang berhasil lolos dari tembakan langsung tentara Myanmar dan umat Buddha yang fanatik dan meninggalkan Myanmar, dengan mereka yang tidak dapat meninggalkan negara mereka karena alasan apapun. Situasi mereka yang pindah di dalam negeri Myanmar dan mengungsi di daerah berisiko rendah sungguh sangat menyedihkan.
Para pengungsi ini setelah ditangkap jika tidak dibunuh, mereka dibawa ke kamp dan dijadikan budak. Di kamp tersebut mereka dikelilingi militer dan tidak ada yang mengetahui nasib buruk mereka. Para wartawan juga tidak diijinkan mendekati mereka atau mempublikasikan nasibnya. Jelas bahwa pengungsi Rohingya mendapat pengawasan ketat militer. Jumlah pengungsi ini ditaksir sekitar 140 ribu orang dan mayoritasnya tinggal di negara bagian Rakhine dan di kamp-kamp.
Mayoritas pengungsi di dalam negeri Myanmar adalah manula dan mereka yang tidak mampu bergerak menuju Bangladesh serta kondisinya lemah untuk menyeberangi sungai Naf. Mereka ini hatinya sangat terikat dengan tempat kelahiran dan desannya. Mereka bahkan rela terbunuh ketimbang meninggalkan tanahnya yang subur serta lokasi nenek moyangnya.
Faktanya mereka telah menyerahkan hidupnya kepada nasib dan tidak ada bedanya bagi mereka, tewas di tangan ekstrimis Budha ataupun militer Myanmar, terlebih meninggal secara wajar. Kini upaya masyarakat internasional dan berbagai organisasi bantuan kemanusiaan adalah mencari informasi atas nasib kelompok pengungsi ini di wilayah Myanmar dan menemukan cara untuk mengakses dan melindungi pengingsi Rohingya di wilayah Myanmar, namun upaya ini masih tetap gagal dan belum berhasil.