Krisis Venezuela dan Jejak Intervensi AS
Krisis politik yang melanda Venezuela saat ini dimulai sejak 10 Januari 2019, ketika Nicolas Maduro menyampaikan sumpah jabatan sebagai presiden kedua kalinya yang diboikot oleh oposisi.
Ketegangan meningkat ketika pemimpin oposisi Venezuela, Juan Guidou menyebut dirinya sebagai presiden pada 23 Januari, yang didukung Amerika Serikat serta sebagian besar negara-negara Eropa dan Amerika Latin. Tapi banyak negara, seperti Rusia, Cina, Iran, Turki, Bolivia, dan Meksiko tetap mendukung Nicolas Maduro, dan mengecam langkah kudeta yang dilakukan Guido.
Seiring berlanjutnya krisis politik di Venezuela, Juan Guido mempercepat dan mengintensifkan gerakan untuk memperburuk situasi demi kepentingannya. Pemimpin oposisi pemerintah Venezuela ini mengklaim dirinya telah memulai fase baru untuk menggulingkan pemerintah Nicolas Maduro, presiden sah negara itu.
Guido, yang mendapat dukungan langsung dari Amerika Serikat mengerahkan segala cara untuk menghadapi Maduro demi mengambil alih kekuasaan di Venezuela. John Bolton, penasihat keamanan nasional AS yang menjadi pendukung utama Guido pada 6 April di akun Twitternya menulis, "Maduro harus mendengarkan suara rakyat Venezuela yang semakin meningkat, menerima amnesti yang ditawarkan oleh Presiden Sementara Juan Guido, dan tidak menghalangi transisi kekuasaan secara demokratis di Venezuela,".
Presiden AS Donald Trump selama tiga tahun terakhir pemerintahannya melancarkan berbagai aksi untuk menggulingkan pemerintahan Venezuela. Washington mengancam Maduro dengankekuatan militer, yang dilakukan bersamaan dengan penggunaan instrumen sanksi ekonomi terhadap pemerintah Kiri Venezuela. Washington dengan Doktrin Monroe-nya, secara eksplisit menganggap Amerika Latin sebagai halaman belakang AS dan menekankan intervensi langsung dalam urusan internal negara-negara di kawasan itu, termasuk Venezuela.
Langkah konfrontatif Washington terhadap Caracas menyulut kritik keras dari para pejabat senior Venezuela. Menteri Luar Negeri Venezuela Jorge Arreaza mengatakan Amerika Serikat menggunakan segala cara untuk menggulingkan pemerintah Caracas karena sistem Bolivarian merupakan ancaman bagi Amerika Serikat dan alternatif bagi ketananegaraan Amerika Serikat yang membatalkan klaim sistem liberal, oleh karena itu AS akan mengerahkan segala cara untuk menggulingkan Revolusi Bolivarian di Venezuela. Washington dan oposisi yang didukung AS berusaha untuk mendominasi sumber daya alam Venezuela, terutama minyaknya. Sebab, Venezuela termasuk pemiliki salah satu cadangan minyak terbesar di dunia.
Pendekatan dominan Amerika Serikat terhadap Venezuela berpijak pada unilateralisme dan penggunaan kekuatan dalam kebijakan luar negerinya di tingkat dunia. Dari sudut pandang negara-negara penentang AS seperti Rusia, pemerintah Trump berencana untuk mengakhiri pekerjaan rumahnya di Venezuela, dan kemudian sesegera mungkin dengan menggulingkan pemerintah sayap kiri Amerika Latin lainnya, terutama Nikaragua dan Kuba.
Nikolai Patrushev, Sekretaris Dewan Keamanan Rusia berkeyakinan bahwa tindakan Washington terhadap Venezuela bertujuan untuk menguasai pasar energi global. "Tindakan AS terhadap Venezuela adalah program politik yang sejalan dengan kepentingan ekonominya ," kata Patroshov dalam sebuah wawancara.
Dari sudut pandang Moskow, tujuan strategis Washington menekan Venezuela demi meraih pasokan minyak negaranya sehingga dapat merebut kepemimpinan ekspor minyak di tahun-tahun mendatang, dan mendiktekan tuntutannya terhadap OPEC. Pejabat senior Rusia yakin bahwa pemerintah Trump akan menggunakan Guido dan pemimpin oposisi di Venezuela untuk mencapai tujuannya.
Washington telah memulai kebijakan sanksi dan tekanan komprehensif untuk menggulingkan pemerintah sayap kiri Venezuela. Wakil Presiden AS Mike Pence menekankan eskalasi tekanan terhadap Venezuela. Pence mengatakan tekanan terhadap industri minyak Venezuela, serta negara-negara pendukung pemerintah Venezuela akan terus berlanjut.
Statemen Pence tersebut menunjukkan perpanjangan sanksi terhadap Venezuela dan ancaman sanksi terhadap Rusia sebagai sponsor utama Maduro. Di awal April lalu, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo juga menekankan bahwa negaranya akan membentuk koalisi anti-pemerintahan Maduro di tingkat internasional supaya memaksanya mundur.
Pernyataan pejabat tinggi AS tersebut jejak kelamnya dapat dibaca dalam skenario buruk AS dan sekutu Eropa dan di Suriah sejak 2011 untuk menggulingkan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Tapi, Washington dan para mitranya gagal mewujudkan ambisinya tersebut.
Presiden AS Donald Trump, yang menunjuk Elliott Abrams sebagai duta besar AS di Caracas demi menyulut perang saudara sipil di Venezuela. Plot AS mengirimkan pasukan oposisi Venezuela di Kolombia memasuki negara itu untuk menyulut kerusuhan dan selanjutnya, Juan Guido menjadi presiden Venezuela. Tapi pemerintahan Maduro memahami dengan baik skenario tersebut dan menyatakan siap unt5uk menangkalnya.
Rival internasional AS, Rusia dan Cina menyatakan penentangan mereka terhadap rencana AS melawan Maduro. Moskow menekankan dukungan penuh terhadap pemerintahan berdaulat Venezuela. Cina sebagai kompetitor internasional Amerika Serikat, bersama dengan Rusia menyatakan dukungan penuhnya terhadap Maduro, dan menyatakan penolakannya yang jelas terhadap upaya asing untuk menggulingkannya.
Pada 2 April, dua pesawat Cina membawa lebih dari 120 orang tentara memasuki Pulau Margarita di Venezuela untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan militer kepada pasukan pemerintahan Maduro. Sebelumnya, Rusia juga mengirim beberapa pesawat angkut dan militer ke Venezuela. Pada 24 Maret, dua pesawat angkut Rusia membawa sekitar 100 tentara dan 35 ton pasokan medis mendarat di bandara Internasional Simon Bolivar di Caracas utara.
Krisis Venezuela saat ini menjadi konflik internasional sebagai akibat dari krisis internal, dan polarisasi global antara oposisi dan pemerintah Venezuela. Di awal krisis, Washington mengira dapat menggulingkan pemerintah Venezuela yang berhaluan kiri dengan kekerasan dan konfrontasi, tetapi pemain internasional terutama Rusia, dan Cina berupaya menangkalnya dengan mengirimkan pasukan mereka ke Venezuela untuk mendukung Maduro.
Pesan Moskow dan Beijing terhadap Washington cukup jelas. Dengan mengirimkan pasukan, Rusia dan Cina telah memberikan pesan kuat ini kepada pemerintah Trump supaya meninjau ulang skenarionya di Venezuela.
Langkah Rusia dan Cina telah menyebabkan kemarahan dari pihak pemerintah AS. Pada 4 April lalu, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo di akhir pertemuan Menteri Luar Negeri NATO mengangkat masalah kehadiran pasukan Rusia di Venezuela, dan Amerika Serikat mengulangi posisinya tentang perlunya penarikan Rusia dari Venezuela.
Pernyataan Pompeo mencerminkan reaksi pemerintah Trump terhadap krisis Venezuela dan kemarahan besar dari Amerika terhadap dukungan aktif Rusia dan China kepada Maduro. Namun, Moskow dan Beijing mengabaikan ancaman Washington, dan percaya bahwa periode dominasi Amerika atas Amerika Latin telah berakhir. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang memperingatkan menanggapi seruan Washington kepada Beijing dan Moskow supaya menarik pasukannya dari Venezuela, dengan mangatakan bahwa Amerika Latin bukan lagi halaman belakang AS.
Dari sudut pandang Moskow dan Beijing, tindakan Amerika Serikat saat ini bukan hanya terhadap Venezuela, tetapi Washington telah mengambil pendekatan subversif yang serius terhadap pemerintah-pemerintah lain yang cenderung berhaluan kiri di Amerika Latin, terutama Kuba dan Nikaragua. Pendekatan Amerika ini jelas bertentangan dengan aturan internasional, khususnya prinsip larangan campur tangan dalam urusan internal negara lain. Oleh karena itu masyarakat internasional harus menghadapinya dengan serius.(PH)