Buruh Tolak Kenaikan Upah 8% Tahun Depan
(last modified Thu, 18 Oct 2018 04:05:28 GMT )
Okt 18, 2018 11:05 Asia/Jakarta
  • Unjuk rasa para buruh di Jakarta. (dok)
    Unjuk rasa para buruh di Jakarta. (dok)

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak rencana kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2019 sebesar 8,03%. Kenaikan upah tersebut dianggap terlalu rendah di tengah meningkatnya biaya kebutuhan hidup.

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, alasan mendasar buruh menolak kenaikan UMP tersebut karena tidak setuju bila kenaikan upah mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan.

"Pertama KSPI dan mayoritas seluruh buruh menolak peraturan pemerintah nomor 78/2015 sebagai acuan formulasi kenaikan upah. Karena dasar hukum formulasi kita tolak, kenaikan upah 8,03% kita tolak juga," katanya kepada detikFinance, Rabu (17/10/2018).

Alasan kedua, pihaknya menolak karena berdasarkan hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL) yang mereka lakukan di Jakarta, Bekasi dan Tangerang, upah layak adalah Rp 4,2 juta sampai Rp 4,5 juta. Survei tersebut dilakukan selama 3 bulan berturut-turut hingga Oktober ini.

"Nah hasil survei kan menunjukkan bahwa misal Jakarta katakan UMP Rp 3,6 juta, ada selisih kan. Maka PP 78 memang kembali pada pada rezim upah murah, itu yang kita tolak," jelasnya.

Untuk menyuarakan aspirasi tersebut, dia mengatakan para buruh akan melakukan unjuk rasa di seluruh Indonesia. Mereka akan menyampaikan keberatan terhadap kenaikan UMP 8,03%.

"Ketiga akan ada aksi akhir Oktober di seluruh Indonesia untuk menolak kenaikan upah minimum itu," tambahnya.

Buruh Minta Upah Naik 25% Tahun Depan

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak rencana kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2019 sebesar 8,03%. Para buruh meminta kenaikan upah sebesar 20-25%.

"Yang kita minta kenaikannya 20-25%, akumulasi karena upah yang tahun-tahun sebelumnya rendah kan. Hasil survei kita Rp 4,2 juta, itu yang kita minta," kata Presiden KSPI Said Iqbal kepada detikFinance, Rabu (17/10/2018).

Usulan kenaikan upah 25%, menurutnya bukan dilakukan secara asal-asalan. Pihaknya telah mensurvei kebutuhan hidup layak (KHL) di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Hal itu dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup layak buruh yang harus ditingkatkan.

"Naik 20-25% dengan kisaran angka Rp 4,2 juta ampai Rp 4,5 juta ini hasil survei ya, bukan asal asalan, dengan meningkatkan kualitas item KHL, bukan menambah (item)," sebutnya.

Pihaknya juga meminta adanya perbaikan item yang jadi acuan pemerintah menaikkan upah buruh. Dalam PP 78 ada 60 item yang jadi acuan. Mereka meminta adanya peningkatan kualitas dari masing-masing item.

Perbaikan kualitas itu contohnya, dalam item yang jadi acuan pemerintah konsumsi daging berkisar 0,75 kg per bulan. Angka tersebut diminta mulai mengikuti standar WHO, yakni 1,2-1,5 kg per bulan.

Kemudian, dia meminta pemerintah memperhatikan biaya komunikasi melalui smartphone yang semakin mahal. Komunikasi via smartphone ini menurutnya penting untuk mengkomunikasikan pekerjaan antara perusahaan dengan pekerjanya.

"Yang ketiga misal rumah, ukurannya dulu pakainya cuma 1 kamar ukuran kecil. Sekarang kan sudah susah sekali didapat untuk kontrakan. Sekarang rata rata 3 petak, itu harus diperbaiki.

Terakhir adalah ongkos transportasi. Selama ini biaya transportasi para buruh dihitung dari jalan utama tempat tinggal ke lokasi pabrik.

"Tapi sekarang perumahan buruh jauh dari jalan utama sehingga menambah jumlah untuk pergi ke jalan utama, ada tambahan ongkos lagi," tambahnya. (Detik/RM)

Tags