Berikut Isi Pertemuan Presiden RI dan PM Malaysia
(last modified Fri, 05 Feb 2021 08:59:11 GMT )
Feb 05, 2021 15:59 Asia/Jakarta
  • Presiden RI Joko Widodo (kanan) dan PM Malaysia Muhyiddin Yassin.
    Presiden RI Joko Widodo (kanan) dan PM Malaysia Muhyiddin Yassin.

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengatakan, stabilitas di Laut China Selatan akan tercipta apabila semua negara yang terlibat menghormati hukum internasional.

Hal itu diungkapkan Jokowi usai menggelar pertemuan dengan Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin di Istana Merdeka, Jumat (4/2/2021) seperti dilansir Kompas.com.

Dalam pertemuan itu dibahas sejumlah isu dunia, antara lain soal kudeta militer Myanmar, diskriminasi sawit di pasar Uni Eropa, persoalan Rohingnya hingga Laut China Selatan.

"Kita juga bertukar pikiran tentang stabilitas dan keamanan kawasan. Saya menekankan bahwa stabilitas akan tercipta, termasuk di Laut China Selatan jika semua negara menghormati hukum internasional," ujar Jokowi saat menyampaikan keterangan pers yang ditayangkan di YouTube Sekretariat Presiden, Jumat.

"Terutama (menghormati) UNCLOS 1982 (konvensi hukum laut PBB tahun 1982)," lanjutnya.

Sementara itu, Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin mengatakan, soal tuntutan maritim di perairan Laut China Selatan tersebut dan penyelesaiannya hendaklah dibuat secara aman berdasarkan prinsip-prinsip undang-undang antarabangsa yang disepakati secara universal. Termasuk di dalamnya UNCLOS 1982.

Menurut Muhyiddin, semua pihak perlu menghindari tindakan yang menimbulkan ketegangan dan bersifat provokatif (self–restraint) serta tindakan militer.

"Malaysia berkomitmen untuk menyelesaikan isu-isu berkaitan Laut China Selatan secara konstruktif, menggunakan forum dan saluran diplomatik yang sesuai," tutur Muhyiddin.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berkali-kali mengingatkan kepada semua negara, termasuk Amerika Serikat dan China, untuk menahan diri buat menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan. 

Konflik di Laut China Selatan dipicu oleh klaim atas pulau dan perairan oleh China, Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Wilayah menjadi sengketa ini termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.

Keenam negara pengklaim itu berkepentingan untuk menguasai hak untuk stok perikanan, eksplorasi dan ekploitasi terhadap cadangan minyak dan gas, serta mengontrol jalur pelayaran di Laut China Selatan.

Nilai komoditas perdagangan melewati Laut China Selatan saban tahun sebesar $3,37 triliun atau sepertiga dari total perdagangan maritim dunia. Sekitar 80 persen dari impor energi China dan 39,5 persen dari total perdagangan mereka melewati Laut China Selatan.

Sejak 2013, China mulai melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly dan Paracel. Tindakan tersebut mengundang kecaman internasional.

Mulai 2015, Amerika Serikat dan negara-negara lain, termasuk Perancis dan Inggris, melakukan apa yang disebut kebebasan operasi navigasi di Laut China Selatan.

Presiden RI Joko Widodo (kiri) dan PM Malaysia Muhyiddin Yassin 

 

Melawan Diskriminasi Sawit di Pasar Uni Eropa

Presiden Jokowi juga mengharapkan komitmen Malaysia untuk melawan diskriminasi sawit di pasar Uni Eropa. Ia menyebut, perjuangan akan lebih optimal jika dilakukan secara bersama-sama.

"Indonesia akan terus berjuang untuk melawan diskriminasi terhadap sawit," kata Jokowi melalui YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (5/2/2021), dikutip Kompas.com.

"Perjuangan tersebut akan lebih optimal jika dilakukan bersama dan Indonesia mengharapkan komitmen yang sama dengan Malaysia mengenai isu sawit ini," tuturnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Muhyiddin Yassin. Ia mengatakan, diskriminasi terhadap sawit tidak menggambarkan kelestarian industri sawit dunia. Hal ini juga kontradiktif dengan komitmen Uni Eropa kepada Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dalam hal perdagangan bebas.

"Malaysia akan terus bekerja sama dengan pihak Indonesia dalam isu diskriminasi minyak sawit, terutama memperkasakan Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC)," kata Muhyiddin Yassin.

"Ini bagi memastikan kita dapat melindungi industri sawit, terutamanya bagi menyelamatkan berjuta-juta pekebun-pekebun kecil yang bergantung hidup sepenuhnya kepada industri sawit di Malaysia dan Indonesia," ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah berencana menggugat Uni Eropa ke WTO terkait arahan energi terbarukan II atau Renewable Energy Directives II (RED II) yang dinilai mendiskriminasi.

Kepala Subdirektorat Produk Agro Direktorat Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Donny Tamtama mengatakan, gugatan rencananya akan dilayangkan ke WTO pada awal 2021.

"Kemudian akan diikuti dengan hearing, sidang, penyampaian dokumen gugatan kedua, sidang kedua, sampai nanti keluar final report mungkin awal 2022," kata Donny dalam sebuah diskusi virtual, Kamis (17/12/2020).

Namun, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket menampik isu diskriminasi tersebut. Pernyataan itu disampaikannya dalam acara virtual bertajuk EU and Indonesia: A Look Back at 2020 & Look Ahead to 2021, pada Rabu (13/1/2021).

Piket memaparkan bahwa nilai ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa pada 10 bulan pertama 2020 tercatat naik 27 persen.

"Sedangkan untuk volume (ekspor) minyak sawit dari Indonesia ke Uni Eropa naik sekitar 10 persen," kata Piket.

Dengan adanya kenaikan ekspor minyak sawit tersebut, Piket menilai hal itu sebagai bukti kalau Uni Eropa tetap membuka pintu bagi Indonesia.

"Ini merupakan bukti bahwa pintu Uni Eropa tetap terbuka untuk sumber daya alam asal Indonesia," tutur Piket.

Kendati demikian, ia tidak menampik adanya berbagai isu yang menerpa minyak sawit asal Indonesia dan Malaysia. Oleh karena itu, pihaknya mendorong Uni Eropa, Indonesia, dan Malaysia untuk membicarakan isu tersebut agar dapat dicari jalan tengahnya.

 

Mendorong Pertemuan ASEAN untuk Bahas Kudeta Myanmar

Di bagian lain pernyataannya, Presiden Jokowi mengatakan, Indonesia dengan Malaysia mendorong digelarnya pertemuan menteri luar negeri (menlu) negara-negara ASEAN. Pertemuan ini bertujuan membahas kudeta militer di Myanmar.

"Sebagai satu keluarga (ASEAN), kami minta dua Menlu (Indonesia dan Malaysia) untuk berbicara dengan Chair of ASEAN," kata Jokowi dalam keterangan pers yang ditayangkan kanal YouTube Sekretariat Presiden, Jumat.

"Guna menjajaki dilakukannya pertemuan khusus Menlu ASEAN mengenai perkembangan Myanmar. Secara detiail kami juga telah berbicara dengan Bapak Perdana Menteri (Malaysia) mengenai ini," tuturnya.

Jokowi menuturkan, Indonesia dan Malaysia menyampaikan rasa prihatin dengan perkembangan politik di Myanmar.

Kedua negara pun berharap perbedaan politik di negara tersebut itu dapat diselesaikan sesuai hukum yang berlaku.

"Dan untuk mewujudkan visi komunitas ASEAN penting bagi kita semua untuk terus menghormati prinsip-prinsip piagam ASEAN," kata Jokowi.

"Terutama prinsip rule of laws, good governance, demokrasi, HAM dan pemerintahan yang konstitusional," ucapnya.

Diberitakan, Militer Myanmar mengklaim harus melakukan kudeta, karena menuduh ada kecurangan di pemilu November tahun lalu.

Pemilu Myanmar 2020 dimenangkan oleh Aung San Suu Kyi dan partainya, National League for Democracy (NLD), secara telak.

Kondisi darurat di Myanmar lalu ditetapkan selama setahun, dan militer akan mengadakan pemilu baru. (RA)

Tags