Para Musafir Arbain Imam Husein as (3)
Samarra adalah salah satu dari empat kota ziarah di Irak. Kota ini terletak di utara Baghdad dan di sisi timur Sungai Tigris. Kota ini berada di Provinsi Salahuddin antara Tikrit dan Baghdad. Samarra berbatasan dengan Kirkuk di bagian timur, dengan Nainawa di utara, dan dengan Provinsi al-Anbar di bagian barat, dan dengan Baghdad di selatan.
Menurut catatan sejarah, kota Samarra dibangun sebelum era Islam pada masa Dinasti Ashkanid dan Sassanid oleh Shapur II. Yaqut al-Hamawi mengatakan, “Samarra dibangun oleh Sam bin Nuh dan ia disebut Sam Rah yang berarti jalan yang dilewati Sam, putra Nabi Nuh as.” Pendapat lain mengatakan nama asli kota ini adalah Syam Rah yang berarti jalan menuju ke Syam (Suriah). Orang-orang menyebutnya Syam Rah karena terletak di jalur dari Irak ke Syam.
Beberapa penulis mengklaim bahwa kata Samarra berasal dari kata Romawi kuno "Sumira." Nama lain kota tersebut adalah Samarrah, Samirah, Sara', Surra Man Ra'a, Surur Man Ra'a, Sa'a Man Ra'a’, Askar, dan Tirhan.
Pada tahun 221 Hijriyah, Mu'tasim Abbasi – putra Harun al-Rashid – memindahkan pusat kekhalifahan dari Baghdad ke Samarra dan berlangsung sampai tahun 276 H. Keputusan ini diambil setelah pasukan Turki dalam jumlah besar disiagakan di Baghdad untuk menjaga kekuasaan Mu'tasim Abbasi.
Namun, Baghdad tidak mampu menampung jumlah mereka dan masyarakat juga merasa terganggu. Akhirnya, Mu’tasim memutuskan pemindahan ibukota pemerintahannya ke Samarra dan membawa serta bala tentara Turki ke kota tersebut.
Selama periode itu, Samarra menyaksikan perkembangan pesat yang ditandai pembangunan sejumlah istana, pusat perbelanjaan, tempat wisata, dan masjid-masjid. Perkembangan ini berlangsung hingga zaman al-Mu'tamid Abbasi yang memilih Baghdad sebagai ibukota pemerintahannya.
Kota Samarra menjadi pusat perhatian Muslim Syiah karena keberadaan dua makam suci yaitu: Imam Ali al-Hadi dan Imam Hasan Askari as serta tempat lahirnya Imam Mahdi as.
Pada tahun 233 Hijriyah, Mutawakkil Abbasi memutuskan untuk memindahkan Imam Hadi as dari Madinah ke Samarra, karena ia telah menerima laporan bahwa penduduk Madinah sangat mengidolakan beliau. Mutawakkil memindahkan Imam Hadi as dari Madinah ke Baghdad dan dari sana ke Samarra.
Imam al-Hadi as menetap di sana selama 20 tahun 9 bulan sampai ia diracuni dan gugur syahid pada periode Mu'taz Abbasi dan dimakamkan di kota itu juga.
Imam Hasan Askari as juga dibawa ke Samarra bersama dengan ayahnya pada tahun 233 H dan menetap di sana sepanjang hayatnya. Beliau menderita sakit pada 1 Rabiul Awwal tahun 260 H dan meninggal dunia pada usia 28 tahun di Samarra. Ia dimakamkan di sana di rumah ayahnya. Al-Thabrisi menulis, “Mayoritas ulama Syiah percaya bahwa Imam Askari gugur syahid karena diracun.”
Kota Samarra sempat dikepung oleh para teroris takfiri selama berbulan-bulan dan kubah serta komplek makam kedua imam maksum ini berkali-kali menjadi sasaran serangan mortir dan roket. Meski demikian, para peziarah tidak pernah takut terhadap ancaman teroris dan mereka tetap mendatangi tempat suci itu.
Di dalam zarih (pagar makam), makam Imam Hadi as di sebelah selatan dan kemudian di sampingnya terletak pusara Imam Askari as atau di sisi utara zarih. Dua makam lain yang juga berada di dalam zarih tersebut adalah milik Hakimah Khatun (putri Imam Muhammad at-Taqi dan bibi Imam Askari as), dan makam keempat adalah Nargis Khatun, istri Imam Askari dan ibu dari Imam Mahdi as.
Di komplek ini juga terdapat sebuah ruang bawah tanah atau yang biasa disebut Sirdab. Ia dipakai sebagai tempat ibadah oleh Imam Hadi dan Imam Askari sekaligus sebagai rumah kediaman mereka. Imam Mahdi as diyakini menghilang dan menjalani fase keghaiban dari Sirdab ini. Oleh karena itu, iardab dianggap sebagai tempat suci dan ia bisa dikunjungi oleh para peziarah.
Para peziarah selalu memadati komplek makam suci ini dan mereka datang dari berbagai negara. Mereka datang dengan niat yang tulus dan berharap memperoleh keberkahan dari para imam maksum.
Menjelang peringatan hari Arbain Imam Husein as di Karbala, pemerintah Irak telah mengambil langkah-langkah untuk menjamu para peziarah Arbain yang juga akan mendatangi tempat-tempat suci Syiah di Irak.
Menteri Dalam Negeri Irak Qasim al-Araji pada 17 Oktober lalu mengatakan negaranya sepenuhnya siap untuk menjamu para peziarah Arbain. Dia menambahkan, "Para pejabat Irak dan Iran bekerja sama untuk memastikan keamanan peziarah. Menjamu peziarah Arbain dan memberikan layanan kepada mereka adalah suatu kehormatan bagi bangsa Irak dan pemerintah."
Salah satu bagian dari ziarah yang akan membuat setiap pengunjung bingung adalah keberadaan ribuan tenda dengan dapur seadanya. Tenda-tenda ini didirikan oleh penduduk setempat yang tinggal di sekitar jalur para peziarah.
Tenda yang disebut mawkib ini akan menyediakan semua kebutuhan para peziarah. Di mawkib tersebut, para peziarah bisa memperoleh makanan secara gratis, tempat istirahat, sarana komunikasi cuma-cuma, kebutuhan balita, dan semua kemudahan lainnya. Peziarah bahkan tidak perlu membawa apapun dalam perjalanan mereka kecuali pakaian pribadi.
Uniknya lagi, para peziarah diundang untuk mampir makan dan minum di tenda-tenda itu. Para pemilik mawkib mencegat para peziarah dan memohon agar menerima hidangan milik mereka. Para peziarah akan dilayani seperti raja: pertama mereka mendapat layanan pijat kaki, kemudian ditawari makanan panas yang lezat, lalu diberikan tempat istirahat. Tentu saja semua pelayanan ini gratis.
Orang-orang pergi ke Karbala bukan karena mengagumi pemandangan kotanya, bangunan haram yang indah, atau untuk berbelanja, dan mengunjungi situs-situs kuno. Mereka datang karena rasa cinta, mereka menangis, berkabung, dan menghayati pengorbanan terbesar yang pernah disaksikan sejarah.
Setiap peziarah seakan telah menjalin hubungan personal dengan pria yang belum pernah mereka lihat (Imam Husein as). Mereka berbicara dengannya dan memanggil namanya; mereka menggenggam erat zarih makamnya dan menyentuh dinding haram dengan penuh kerinduan. (RM)