Penekanan Utama Agama pada Akal Manusia
Penelitian tentang agama di tingkat internasional selama empat dekade terakhir mendapat perhatian dan penerimaan yang lebih besar dibandingkan beberapa dekade sebelumnya dan secara bertahap berkembang dengan banyak cabang.
Agama
Sebagian mengatakan definisi agama sebagai berikut, Agama adalah seperangkat keyakinan, hukum, dan peraturan yang punya cara pandang terkait prinsip-prinsip pandangan manusia dan berbicara tentang prinsip-prinsip kecenderungan manusia serta meliputi akhlak dan urusan kehidupannya.
Dengan kata lain, agama adalah seperangkat keyakinan, moral, hukum dan peraturan yang berguna untuk mengatur individu dan masyarakat manusia serta mendidik manusia melalui wahyu dan akal” (Javadi Amoli, Din Shenasi, hal. 27).
Agama merupakan kekuatan yang kuat dalam kehidupan manusia, yang lahir sezaman dengan manusia dan mempunyai sejarah dalam kehidupan manusia sepanjang sejarah hidupnya. Saat ini telah diperoleh banyak bukti bahwa manusia pasti beragama dan para peneliti belum menemukan satu pun ras manusia yang tidak memiliki suatu jenis agama, dan seiring dengan peradaban paling primitif, agama-agama pun bermunculan dan masing-masing berkembang dengan cara yang sangat kompleks, kemudian menyempurna dan memberi pengaruh mendalam dalam kehidupan manusia.
Al-Qur'an mengatakan, Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS. Asy-Syura: 13)
Akal
Menurut kepercayaan banyak filosof, perbedaan utama antara manusia dengan makhluk hidup lain dan hewan adalah tingkat “kecerdasan” dan “kekuatan nalar dan berpikirnya”. Fakta bahwa “sejauh mana setiap orang menggunakan kecerdasannya di jalan kesempurnaan dan di jalan amal?” Ini adalah salah satu faktor dasar yang melaluinya manusia diuji dalam masyarakat manusia yang berbeda dan dievaluasi oleh orang lain.
Al-Qur’an telah memperkenalkan orang-orang yang tidak menggunakan daya akal, pikiran dan hikmah diperkenalkan sebagai “hewan berkaki empat bahkan lebih sesat”.
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-‘Araf: 179)
Dalam hadis Ahlul Bait Nabi as, akal diartikan sebagai “pembuktian batin” Allah atas manusia. “Inna Lillah ‘alan Naasi Hujjatain; Hujjah Zhahirah dan Hujjah Batinah. Sesungguhnya Allah memiliki dua hujjah atas manusia; hujjah lahiriah dan hujjah batin. Sementara hujjah lahiriah adalah para rasul, nabi dan imam. Adapun hujjah batin adalah akal. (Al-Kafi, jilid 1, hal. 16)
Agama dan Akal
Kesimpulan dari sudut pandang pemikiran Al-Qur’an dan apa yang ditegaskan oleh Rasulullah Sawadalah agama dan akal tidak dapat dipisahkan dan jika ada seseorang atau suatu aliran ingin meninggalkan rasionalitas dan pemikiran dengan adat-istiadat yang tampak religius, maka pada dasarnya ia tidak memahami agama dan tidak dapat menganggap dirinya berada di jalan Allah dan para nabi berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an.
Saat ini, para ulama dunia Islam, khususnya dunia Syiah, tidak menganggap gerakan seperti ISIS atau Al-Qaeda atau Boko Haram sebagai gerakan Islam dan menyebutnya sebagai penyimpangan yang dimanipulasi dan diselaraskan untuk kepentingan kolonialisme dan hidup berdampingan secara sosial tidak dapat menyetujui karakter dan gaya hidup seperti itu tanpa rasionalitas dan anti-kemanusiaan. Misalnya saja ISIS yang memerangi perempuan dan anak-anak Muslim di Irak dan Suriah, bukan dengan Israel sebagai musuh utama umat Islam.(sl)